Pemahaman Orangtua Rendah, Kasus Tengkes Masih Tinggi
Pemahaman orangtua terkait pola asuh, terutama tentang asupan gizi bagi anak, dinilai belum optimal. Hal inilah yang menyebabkan angka tengkes di Indonesia masih tinggi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pemahaman orangtua terkait kecukupan asupan gizi bagi anak dinilai masih rendah. Hal inilah yang menjadi penyebab angka tengkes (stunting) di Indonesia masih tinggi. Karena itu, perlu sosialisasi dan intervensi hingga ke akar rumput sehingga jumlah anak pendek karena kurang gizi kronis itu dapat ditekan.
Hal ini mengemuka dalam pertemuan webinar bertajuk ”Lindungi Anak Indonesia dari Stunting di Masa Pandemi” yang digelar Yayasan Abhipraya Insan Cendikia Indonesia (YAICI), Senin (22/6/2020). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2019, angka tengkes di Indonesia masih berada pada 27,7 persen. Angka itu masih jauh dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni di bawah 20 persen. Itu berarti, dari 23 juta anak balita di Indonesia, sekitar 6,3 juta mengalami tengkes.
Anggota Komisi IX DPR, Intan Fauzi, mengatakan, masih tingginya angka tengkes di Indonesia tidak lepas dari rendahnya pengetahuan orangtua terkait pola asuh anak. Masih banyak orangtua yang belum memiliki pengetahuan yang cukup terkait asupan gizi yang diberikan kepada anak, terutama di masa emas tumbuh kembang anak.
Hal ini diperparah dengan mewabahnya Covid-19 yang memengaruhi perekonomian keluarga sehingga kemampuan untuk memenuhi asupan gizi anak pun menurun. Akibat pandemi, sekitar 3 juta tenaga kerja di Indonesia mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Karena itu, perlu adanya intervensi pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Jika tidak segera diatasi, Intan khawatir, target pemerintah untuk menurunkan angka tengkes menjadi 14 persen pada tahun 2024 tidak tercapai.
Intan menuturkan, untuk program prioritas seperti percepatan pencegahan tengkes, tidak mengalami realokasi atau refocusing anggaran terkait Covid-19. Untuk intervensi paket gizi, pemerintah menganggarkan sekitar Rp 360 miliar. Selain itu, alokasi dana transfer untuk pencegahan tengkes di daerah dianggarkan Rp 92,5 miliar.
Sektor kesehatan hanya berkontribusi sekitar 30 persen terhadap pencegahan tengkes.
Meski begitu, Intan menyebutkan, pada sektor lain yang turut berperan dalam penanganan tengkes, ada penyesuaian anggaran. Hal ini membuat pelaksanaan program penanganan tengkes pun tidak maksimal.
”Perlu diketahui, sektor kesehatan hanya berkontribusi sekitar 30 persen terhadap pencegahan tengkes. Sisanya dibutuhkan peran dari kementerian atau institusi lain, seperti sektor pendidikan, penanggulangan kemiskinan, penanganan wilayah kumuh, dan lain-lain,” ungkap legislator dari Partai Amanat Nasional itu.
Dia mencontohkan, di daerah pemilihannya di Depok dan Bekasi, masih banyak warga yang tidak memiliki sarana sanitasi yang memadai. Bahkan, beberapa di antara mereka masih melakukan aktivitas mandi, cuci, dan kakus di sembarang tempat. Hal ini juga akan berpengaruh pada tumbuh kembang anak.
Ketua Majelis Kesehatan Pengurus Pusat Aisyiyah, Chairunissa, mengatakan, minimnya pemahaman orangtua terkait asupan gizi terlihat dalam contoh produk kental manis. Pada tahun 2019, pihaknya bersama YAICI melakukan survei terhadap 2.700 ibu yang memiliki anak balita yang tinggal di Aceh, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Utara.
Hasilnya, sekitar 37 persen responden beranggapan krimer kental manis (KKM) adalah susu yang menyehatkan. Para ibu ini mendapatkan informasi tersebut dari berbagai sumber, yakni media sebanyak 73 persen dan 27 persen dari informan lainnya, seperti petugas puskesmas, tenaga kesehatan, dan posyandu. Pemahaman yang keliru ini membuat 3 dari 10 anak di tiga provinsi itu masih minum KKM setiap hari.
Padahal, ungkap Chairunissa, jika dikonsumsi secara terus-menerus, KKM dapat membahayakan nyawa anak balita itu sendiri. ”Dalam beberapa kasus, penggunaan KKM yang berlebihan dapat menyebabkan obesitas, kurang gizi, atau bahkan kematian,” ucapnya.
Anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia, Tubagus Rachmat Sentika, menegaskan, KKM tidak untuk dikonsumsi oleh orang di bawah 18 tahun. ”KKM tidak memiliki kadar gizi sama sekali bagi anak,” ucapnya.
Terkait asupan gizi, Rachmat mengatakan, untuk usia antara 0-6 bulan, bayi harus diberi air susu ibu (ASI). Untuk rentang usia 6 bulan sampai 2 tahun, selain ASI, anak juga harus diberikan makanan pendamping yang mengandung glukosa dan asam amino.
Dengan asupan yang seimbang, risiko tengkes dapat dihindari.
Sementara itu, antara usia 2-5 tahun, anak diberikan asupan makanan dengan gizi seimbang yang mencakup 1/3 sayuran dan buah-buahan, 1/3 ikan, telur, atau makanan berprotein lainnya, dan 1/3 lainnya adalah karbohidrat. ”Dengan asupan yang seimbang, risiko tengkes dapat dihindari,” katanya.
Usia di bawah tiga tahun adalah masa emas tumbuh kembang anak. Jika di atas usia itu anak masih mengalami tengkes, pertumbuhan selanjutnya tidak akan optimal. Untuk itu, perlu ada sosialisasi dan intervensi secara masif agar kekeliruan pengetahuan seperti ini tidak terjadi lagi.
Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan Fery Fahrizal mengungkapkan, angka tengkes di Sumsel terus turun. Berdasarkan Studi Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2019, angka tengkes di Sumsel 28,98 persen. Angka itu menurun dibandingkan angka tengkes berdasarkan Riskesdas tahun 2018, yakni 31,70 persen.
Dalam proses menurunkan angka tengkes, pihaknya sudah menyusun kerangka pikir yang terintegrasi. Langkah yang dilakukan adalah perbaikan gizi dan pola asuh, terutama pemenuhan gizi di 1.000 hari pertama kehidupan, dan penurunan infeksi melalui peningkatan kesehatan lingkungan dan pelayanan kesehatan.
Fery mengakui, saat ini upaya itu terkendala adanya skema jaga jarak akibat pandemi Covid-19. Namun, kegiatan itu harus tetap berjalan walaupun dengan protokol yang ketat.