Saat Denyut Yogya Masih Kehilangan Mahasiswa Rantau
Banyak mahasiswa belum kembali lagi ke perantauan di Yogyakarta. Kompleks indekos dan tempat-tempat tongkrongan tampak sepi. Tersisa mereka yang sejak awal masa pandemi tidak ingin pulang kampung.
Kota Yogyakarta belum menggeliat lagi sejak dilanda pandemi. Lorong-lorong kampung dan jalanan sekitar kampus, yang biasanya disesaki para mahasiswa rantau, masih sunyi.
Menelusuri salah satu kompleks indekos di pedukuhan Klebengan, Desa Caturtunggal, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (19/6/2020), rumah-rumah sewa masih tampak lengang. Beberapa sepeda motor yang terparkir di rumah indekos berselimut debu tebal. Lebih dari dua bulan kendaraan itu ditinggal sang pemilik.
Banyak mahasiswa belum kembali lagi ke perantauan di Yogyakarta. Tersisa mereka yang sejak awal masa pandemi covid-19 tak berniat pulang.
Valens Tanasal (22), mahasiswa Universitas Sanata Dharma, baru saja bangun tidur di indekosnya di Klebengan, Jumat (19/6/2020) siang. Sekadar membunuh waktu, ia langsung menyalakan komputer jinjingnya dan segera berselancar di dunia maya. Rutinitas itu menjadi salah satu cara baginya menghabiskan waktu semasa wabah yang menuntut orang tak banyak keluar rumah.
Baca juga : Beban Uang Kuliah Mahasiswa Belum Teratasi
Valens, asal Makassar, Sulawesi Selatan, juga termasuk mahasiswa yang menunda pulang ke kampung halaman. Rindu keluarga tak terhindarkan. Tetapi, kesehatan seluruh anggota keluarga dinilainya lebih penting dari segalanya. Selain itu, ia juga masih menyelesaikan urusan administrasi dan menanti hasil dari ujian akhirnya.
”Memang, di awal-awal wabah itu merebak, orangtua meminta saya pulang kampung. Tetapi, saya pikir lebih baik saya tahan dulu agar tidak malah menjadi carrier atau penyebab penularan di sana. Saya juga masih mengurus skripsi di sini,” kata Valens.
Kebijakan kuliah daring tak dimungkiri membuat sebagian penghuni indekos memilih mengikuti kuliah jarak jauh dari kampung halaman masing-masing.
Di indekos yang ditinggali Valens, terdapat delapan kamar yang sudah terisi. Namun, banyak yang ditinggalkan penghuninya. Hanya tersisa tiga kamar yang penghuninya masih berada di tempat. Adanya kebijakan kuliah daring tak dimungkiri membuat sebagian penghuni indekos memilih mengikuti kuliah jarak jauh dari kampung halaman mereka.
”Hampir semua (anak indekos di sini) sudah pulang kampung. Kurang lebih mulai Maret, mereka mulai pulang ke kampung halaman masing-masing. Sampai sekarang belum ada yang pulang kembali ke kos. Tinggal ada tiga kamar ini yang terisi,” ujar Valens.
Ia pun menunjukkan sepeda motor jenis bebek warna biru milik temannya yang sudah ditinggal lebih dari dua bulan. Motor itu tampak kusam dan berdebu pertanda lama tak dipakai sang pemilik yang pulang kampung.
Baca juga : Nasib Mahasiswa Perantau Selama Pandemi Covid-19
Muhammad Arisani (20), mahasiswa Universitas Gadjah Mada asal Boyolali, Jawa Tengah, yang juga teman indekos Valens, juga menjadi salah seorang mahasiswa yang memutuskan tidak pulang kampung meski kuliah bisa dilakukan jarak jauh. Ia khawatir jika pulang justru menjadi pergunjingan tetangga.
”Teman-teman di sana (kampung halaman) sudah tanya. Saya pulang atau tidak. Nadanya seakan minta saya jangan pulang dulu. Saya juga tidak merasa ingin pulang. Virus ini tidak kelihatan. Tidak diketahui juga siapa yang bisa membawa,” kata Aris, sapaan akrabnya.
Aris menambahkan, sebagian besar waktunya lebih sering dihabiskan di indekos. Mulai dari mengikuti kuliah daring, menonton film, hingga bermain gim dari komputer jinjingnya. Ia sebisa mungkin membatasi diri pergi keluar.
”Keluar seperlunya saja. Beli makan atau beli kebutuhan yang sudah habis di kos. Lebih baik tidak ke mana-mana dulu,” ujarnya.
Aris mengungkapkan, masker dan hand sanitizer sudah menjadi barang lengkap yang mesti dibawa setiap keluar. Ia tidak bisa mengandalkan orang lain untuk menerapkan protokol kesehatan. Itu semua dimulai dari dirinya.
Aris juga merasa cukup tenang mengingat warga di sekitar tempat indekosnya juga saling mengawasi orang sekitar. Jalur masuk ke kampung itu dibatasi hanya satu akses. Ada pos penjagaan yang dijaga secara bergilir oleh warga. Setiap orang yang masuk akan diminta cuci tangan dan disemprot cairan disinfektan.
Lebih sepi
Berdasarkan pantauan, Jumat siang, pedukuhan Klebengan tampak lebih sepi dibandingkan dengan sebelum dilanda pandemi. Tidak banyak anak indekos yang lalu lalang dengan sepeda motornya seperti saat sebelum pandemi Covid-19.
”Kondisi sepi ini merata di kampung ini. Tidak hanya di kos kami. Jalan-jalan memang jauh lebih sepi dibandingkan biasanya. Warung burjo (akronim dari bubur kacang ijo) juga masih banyak yang tutup,” kata Valens.
Baca juga : Mahasiswa Menanti Kuliah di Era Normal Baru
Dari penelusuran, dari 10 warung burjo yang didapati di Klebengan, sedikitnya tujuh warung masih tutup. Biasanya, warung tersebut menjadi referensi ”tongkrongan” bagi mahasiswa selepas kuliah. Hanya ada satu-dua warung yang masih buka. Itu pun sepi pengunjung.
Teteh Ade (42), salah seorang pemilik warung burjo, menyampaikan, banyak rekan sesama penjual warung burjo pulang kampung saat awal pandemi. Ia memilih tidak pulang agar tetap bisa membuka warung. Ia khawatir, jika mengikuti rekan-rekannya itu, justru akan kesulitan kembali lagi ke Yogyakarta untuk berjualan.
Kalau dari segi penghasilan jelas menurun. Anjloknya sekitar 60 persen dari biasa. Banyak mahasiswa juga pulang kampung. Sekarang, kebanyakan pelanggannya warga sekitar. (Ade, penjual burjo)
”Kalau dari segi penghasilan jelas menurun. Anjloknya sekitar 60 persen dari biasa. Banyak mahasiswa juga pulang kampung. Sekarang, kebanyakan pelanggannya warga sekitar. Sedikit-sedikit yang penting tetap ada yang beli,” kata Ade.
Ade menyampaikan, sebelum pandemi, pembeli yang datang ke warung burjonya seperti tak putus-putus. Satu rombongan pergi, berganti rombongan tongkrongan yang lain. Beda halnya kali ini. Ia lebih sering menghabiskan waktu dengan bermain gim di ponselnya ketimbang memasak nasi telur, mi instan, atau sekadar membuatkan kopi hitam dan beragam minuman instan lain.
”Ya, saya berharap semua ini segera berakhir. Semuanya kembali seperti semula. Semuanya juga diberi kesehatan,” kata Ade.
Baca juga : Mahasiswa Menanti Kuliah di Era Normal Baru
Bawa surat sehat
Pemerintah Kabupaten Sleman mengharuskan mahasiswa dari luar daerah tersebut untuk membawa surat keterangan sehat dan melaporkan diri ke pengurus RT dan RW setempat. Khusus bagi warga yang berasal dari zona yang menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), mahasiswa itu diharuskan melampirkan bukti hasil tes cepat. Tes cepat juga bisa dilakukan langsung di fasilitas layanan kesehatan di Sleman.
”Itu sebagai antisipasi Pemerintah Kabupaten Sleman agar proses belajar-mengajar di perguruan tinggi nanti berjalan dengan baik,” kata Sekretaris Daerah Kabupaten Sleman Harda Kiswaya.
Hal serupa juga disampaikan Rektor UGM Panut Mulyono. Pihaknya meminta mahasiswa yang baru saja kembali dari kampung halaman untuk membawa surat keterangan sehat. Mereka juga akan dites ulang kesehatannya di fasilitas kesehatan milik UGM untuk mengonfirmasi isi surat keterangan sehat yang dibawa setiap mahasiswa.
”Tes kesehatan tersebut untuk mengonfirmasi surat keterangan sehat yang dibawa masing-masing mahasiswa. Setelah kondisi kesehatannya dites, nanti bakal ditentukan bentuk karantina seperti apa yang dilakukan mahasiswa tersebut,” kata Panut.
Selanjutnya, Panut menjelaskan, pihaknya juga telah merancang skema pembelajaran dengan berbagai pembatasan di tengah pandemi. Ada dua skema pembelajaran, yakni daring dan tatap muka. Pembelajaran tatap muka dilakukan di dalam kelas dengan jumlah mahasiswa yang terbatas bergantung ukuran kelas. Konsekuensi pembatasan itu adalah semakin banyaknya jumlah kelas. Hal ini ditempuh agar jaga jarak fisik bisa tetap diterapkan.
Kehadiran mahasiswa rantau tak dimungkiri memacu denyut aktivitas kota pendidikan seperti Yogyakarta. Sepinya kompleks-kompleks indekos seiring pulangnya para mahasiswa sejak pandemi melanda turut memangkas perekonomian warga setempat.