Petani di Nusa Tenggara Timur kesulitan mengolah lahan pertanian karena kekeringan melanda daerah itu sejak Januari 2020. Memasuki bulan Juni 2020, mereka semakin tak berdaya.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Petani di Nusa Tenggara Timur kesulitan mengolah lahan pertanian karena kekeringan melanda daerah itu sejak Januari 2020. Memasuki Juni 2020, mereka semakin tak berdaya.
Agustinus Lemos (51), petani sawah tadah hujan di Oesao, Kabupaten Kupang, Kamis (18/6/2020), mengatakan, petani Oesao memanfaatkan air sisa dari sumur bor untuk menanam sawi, tomat, dan jagung di lahan sawah itu. Dengan ini ia bisa bertahan hidup.
”Sawah Oesao ini sekitar 100 hektar, dimiliki sekitar 50 petani. Kami kesulitan air sejak Januari 2020. Sawah ini tergantung dari air hujan. Kalau curah hujan terbatas, sawah kekeringan,” kata Lemos.
Markus Ceme (49), petani lahan kering Desa Oe Ekam, Timor Tengah Selatan, bertahan dengan menjual buah asam, kayu bakar, ikut dalam proyek padat karya desa, dan pekerjaan lain yang bisa menghasilkan uang. Saat ini, ada dana bantuan langsung tunai dan bantuan bahan pokok dari pemerintah, tetapi tidak rutin ia terima.
”Kami berjuang dengan berbagai cara menafkahi hidup. Ini kebetulan masa Covid-19 sehingga bantuan itu ada. Kalau bisa pemerintah tolong bantu sumur bor bagi beberapa petani di Oe Ekam sehingga kami bisa tanam sayur dan bumbu dapur. Kami bisa jual sayur-sayur itu ke Soe, atau untuk kebutuhan makan sehari-hari,” kata Markus.
Sekretaris Fraksi Demokrat DPRD Nusa Tenggara Timur Bonifasius Jebarus mengatakan, kekeringan di NTT bukan masalah baru. Setiap tahun selalu terjadi, tetapi tahun ini kekeringan datang lebih awal, yakni Januari, dan bakal parah lagi memasuki bulan Juli-November 2020.
Pemprov, pemkab, dan pemkot perlu membangun sumur bor secukupnya di setiap daerah rawan kekeringan. Supaya sumur bor itu tetap berfungsi, harus dibentuk unit pelaksana teknis (UPT) pembangunan dan perawatan sumur bor di masing-masing kabupaten/kota.
Selain itu, pemda menyediakan listrik dari sinar matahari sehingga tidak membebani petani membeli bahan bakar minyak untuk kebutuhan sumur bor itu, apalagi kalau lahan pertanian itu jauh dari jaringan listrik. Seluruh wilayah NTT memiliki sinar matahari yang sangat berpotensi. Ini dapat dimanfaatkan.
”Kasus kekeringan yang berdampak pada gagal tanam dan gagal panen ini selalu berulang setiap tahun, bukan hal baru bagi masyarakat, pemda, dan DPRD NTT. Ada upaya mengatasi hal ini, tetapi tidak terarah sehingga tidak bermanfaat dalam jangka panjang bagi masyarakat,” kata Jebarus.
Enam tahun terakhir pemerintah membangun tujuh unit waduk masing-masing berkapasitas 7 juta-18 juta metrik kubik air, dengan total dana lebih dari Rp 5 triliun. Dua unit bendungan sudah diresmikan Presiden Joko Widodo, yakni Raknamo di Kabupaten Kupang dan Rotiklot di Belu, tetapi kedua embung itu belum berfungsi sesuai rencana awal karena curah hujan terbatas.
Tiga bendungan masih dalam proses pembangunan, yakni Temef antara Timor Tengah Utara dan Timor Tengah Selatan, Manikin di Kabupaten Kupang, dan Bendungan Napung Gete di Sikka. Bendungan-bendungan itu pun bergantung dari air hujan. Jika curah hujan terbatas, air bendungan tidak terisi.
Sejak 2019-2020, musim hujan turun dua bulan saja, yakni Desember-Januari, itu pun tidak merata. Ada wilayah tertentu bahkan tidak mendapatkan hujan sama sekali seperti kawasan selatan Timor Tengah Selatan.
Meski demikian, ada wilayah tertentu yang kelimpahan air hujan seperti Manggarai Raya dan Ngada. Di wilayah ini sebagian besar kawasan mendapatkan curah hujan yang cukup, kecuali kawasan pesisir.
Pulau Timor, Sumba, Sabu Raijua, Rote Ndao, dan pantai utara Flores seperti Sikka, Flores Timur, dan Nagekeo menjadi kawasan rawan pangan karena rawan kekeringan. Kekeringan di kawasan itu mencapai 2,5 juta hektar, meliputi sawah tadah hujan. Jebarus mengatakan, DPRD selalu menyoroti masalah kekeringan dan tak berfungsinya embung, tetapi tidak pernah ada perubahan.
Sekitar 150.000 hektar sawah irigasi yang berada di sebagian besar wilayah Manggarai Barat, Manggarai, Manggari Timur, sebagian di Kabupaten Kupang, dan sebagian Sumba juga terancam kekeringan. Pasokan air irigasi di sawah sawah itu seret.
Kepala Biro Humas dan Protokol Setda NTT Marius Jelamu membenarkan kekeringan saat ini. Pemkab dan Pemkot didorong mengadakan sumur bor di daerah-daerah rawan kekeringan.
”Jangka pendek proyek padat karya diprogramkan sebanyak mungkin di desa-desa dengan dana desa yang ada. Jika memungkinkan, desa-desa itu mengadakan air baku untuk kebutuhan rumah tangga. Mereka bisa memanfaatkan air itu untuk tanam hortikultura di pekarangan rumah,” katanya.
Mengatasi rawan pangan, Jelamu mengatakan, setiap pemda memiliki beras cadangan. Beras itu didistribusi silang dari daerah surplus ke daerah gagal panen. Misalnya, Manggarai Raya surplus beras, mengirim beras ke daratan Timor, sebaliknya pemda di Timor mengirim ternak ke Manggarai Raya.
Ke depan dibangun lumbung desa di masing-masing desa, sesuai program Kementerian Pertanian. Lumbung desa ini wajib dimiliki setiap desa, malah setiap dusun, atau RT/RW memiliki lumbung pangan sendiri, sebagai buffer stock paling terakhir.