”Food Estate” Dikhawatirkan Picu Masalah Sosial di Masyarakat Adat
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Tengah menolak proyek ”food estate” dan cetak sawah di lahan gambut. Mereka menilai proyek itu hanya akan menambah masalah sosial baru.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Tengah menolak proyek food estate dan cetak sawah di wilayah tersebut. Mereka menilai proyek itu berpotensi menambah masalah sosial baru. Terlebih, masyarakat adat setempat tidak dilibatkan dalam perencanaan program.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng Ferdi Kurnianto mengungkapkan, jauh sebelum proyek food estate dicanangkan di Kalteng, pemerintah era Orde Baru pernah menggarap program serupa pada 1995 dengan sebutan Proyek Lahan Gambut (PLG). Proyek itu tidak berlanjut dan menimbulkan masalah mulai dari kebakaran hutan dan lahan hingga persoalan sosial.
”Perubahan sosial masyarakat akibat perubahan lingkungan, kerentanan ekonomi, hingga kerusakan adat dan budaya masyarakat setempat dalam mengelola gambut masih terjadi hingga sekarang,” kata Ferdi di Palangkaraya, Jumat (19/6/2020).
Menurut Ferdi, masyarakat adat Dayak merupakan tipe peladang berpindah, bukan membuat sawah. Karena konsep food estate atau kawasan pangan skala luas terpadu menggunakan sawah dan membuka lahan baru, ia menilai akan banyak tenaga kerja yang sudah terbiasa dengan konsep bertani di sawah datang dari luar Kalimantan. Hal itu dikhawatirkan menimbulkan masalah sosial baru dengan petani lokal.
Masyarakat adat Dayak, kata Ferdi, tidak pernah mengeksploitasi gambut secara besar-besaran. Tanah bergambut atau lahan gambut dalam selalu menjadi tempat masyarakat adat membuat kolam atau dibiarkan sebagai tempat yang dikeramatkan. Orang Dayak menyebutnya tanah Pahewan.
”Ada cara pandang yang berbeda melihat gambut. Jika lahan yang luas itu dibuka dan mendatangkan tenaga kerja dari luar pun pasti bermasalah karena mereka tidak tahu karakteristik gambut,” kata Ferdi.
Satu hal yang penting yang dilupakan pemerintah, kata Ferdi, yakni soal persetujuan atau yang dikenal dengan standar free, prior, and informed consent (FPIC). Standar itu dikemukakan dalam deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang hak masyarakat dalam setiap proyek pembangunan dan investasi.
”Masyarakat, khususnya komunitas adat di daerah, tidak pernah dilibatkan atau minimal ditanya apakah mereka setuju dengan adanya proyek ini,” kata Ferdi.
Tanah bergambut atau lahan gambut dalam selalu menjadi tempat masyarakat adat membuat kolam atau dibiarkan sebagai tempat yang dikeramatkan. Orang Dayak menyebutnya tanah Pahewan.
Ferdi khawatir proyek food estate akan bernasib serupa dengan proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang dinilai menjadi ancaman masyarakat adat di Papua. ”Ini bukan kepentingan masyarakat, melainkan kepentingan pemodal,” ujarnya.
Penolakan serupa juga datang dari Pengurus Daerah AMAN di Kabupaten Kapuas yang menjadi salah satu sasaran wilayah food estate dan cetak sawah. Salah satu pengurus, Ewaldianson, menjelaskan, pihaknya tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
”Kami jelas menolak karena kerusakan gambut pada proyek masa orde baru saja belum dipulihkan. Sekarang malah mau ditambah,” kata Ewaldianson.
Program food esatet bakal dimulai tahun ini dengan estimasi pembangunan infrastruktur hingga 2022. Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas menjadi dua wilayah yang sudah siap untuk mencetak sawah.
Terdapat 164.598 hektar lahan di dua kabupaten tersebut yang sudah disiapkan dengan rincian 85.456 hektar lahan intensifikasi atau lahan yang sudah dikelola masyarakat dan 79.142 hektar lahan perluasan baru yang saat ini masih berupa rawa ataupun hutan sekunder.
Sebelumnya Gubernur Kalteng Sugianto Sabran menegaskan, proyek food estate akan menerapkan pertanian modern tanpa bakar yang justru mengurangi risiko kebakaran hutan dan lahan. Pihaknya juga berjanji akan mengutamakan masyarakat lokal dalam pengelolaan proyek itu.
Dalam rapat koordinasi persiapan food estate bersama dengan Bupati Kapuas Ben Brahim dan Bupati Pulang Pisau Edi Pratowo, Sugianto meminta agar masyarakat harus dilibatkan agar tak ada penolakan dari berbagai pihak.
”Mari bahu-membahu menyamakan visi misi. Kabupaten dan provinsi tidak boleh jalan sendiri-sendiri, harus bersinergi. Dibuang semua ego karena yang ada kepentingan nasional dan kepentingan Kalimantan Tengah karena kita dipilih untuk ketahanan pangan nasional,” ujar Sugianto.