Banjir Bandang Berulang, Pemkab Morowali Utara Siapkan Normalisasi Sungai
Banjir bandang kembali melanda Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali Utara, Sulteng. Solusi permanen disiapkan pemerintah dengan normalisasi sungai.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
PALU, KOMPAS — Banjir bandang kembali melanda Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah, Kamis (18/6/2020). Pemerintah setempat menyiapkan solusi dengan melakukan normalisasi sejumlah sungai yang memicu banjir tersebut.
Banjir bandang itu melanda 21 dari 23 desa di Bungku Utara. Delapan desa terdampak cukup parah. Air menggenangi rumah warga hingga 2 meter. Desa-desa yang terdampak parah itu, antara lain, adalah Kalombang, Tirongon Atas, Pokean, Woomparingi, dan Uemasi.
Sungai-sungai di desa-desa tersebut, termasuk sungai besar Salato, meluap karena hujan lebat pada Rabu-Kamis (17-18/6/2020). Sungai-sungai yang menginduk ke Sungai Salato dan mengalir di dekat permukiman warga juga turut meluap.
Pada Jumat (19/6) sore, air di rumah-rumah warga sudah surut. Banjir setinggi sekitar 50 sentimeter hanya tersisa di beberapa titik di Desa Kalombang. Tak hanya menggenangi rumah warga, banjir juga merusak lahan pertanian sekitar 300 hektar. Padi sawah yang siap dipanen dan tanaman nilam di kebun rusak.
Wakil Bupati Morowali Utara, yang juga Pelaksana Harian Bupati, Asrar Abdul Samad menyatakan, satuan kerja teknis akan melihat kondisi di lapangan untuk melakukan normalisasi sungai-sungai yang meluap di Bungku Utara. ”Sungai yang mana nanti (perlu dinormalisasi), tim teknis harus ke lapangan untuk melihatnya,” katanya, saat dihubungi dari Palu, Jumat.
Banjir bandang tersebut bukanlah kejadian pertama di Bungku Utara. Banjir besar melanda daerah itu tiga kali pada 2007, 2017, dan 2019. Pada 2007, banjir disertai longsor menewaskan sekitar 30 orang, sebagian dinyatakan hilang. Kala itu, tiga desa hancur disapu banjir.
Warga di desa-desa terdampak banjir masih waspada.
Sepuluh tahun kemudian, banjir kembali merendam desa-desa di Bungku Utara ditambah dengan kerusakan sejumlah infrastruktur, seperti jembatan. Tanaman di sawah dan kebun seluas 60 hektar gagal panen. Adapun pada banjir tahun lalu, delapan desa terendam.
Camat Bungku Utara Syahdan Tiransyah menuturkan, warga di desa-desa terdampak banjir masih waspada. Mendung dan gerimis masih melanda wilayah Bungku Utara. Jika terjadi hujan dengan intensitas sedang dan lebat, banjir berpotensi terjadi lagi.
Berdasarkan laporan BMKG Stasiun Mutiara, Palu, hujan dengan intensitas sedang dan lebat berpotensi melanda seluruh wilayah Kabupaten Morowali Utara, Morowali, Palu, Sigi, Donggala, dan Tojo Una-una. Di Palu, pada pukul 15.30 Wita, mendung disertai gerimis melanda hampir seluruh wilayah kota.
Syahdan menuturkan, warga kebanyakan tak mengungsi karena air cepat surut. Mereka tetap di rumah dan membersihkan rumah. Ia menyatakan, banjir merupakan kejadian tahunan di Bungku Utara. Desa-desa yang terletak di pinggir sungai dan lembah memang rawan banjir saat hujan lebat melanda.
”Harapan kami, ya, situasi ini tidak boleh terus terjadi. Normalisasi sungai harus dilakukan secara masif, bukan hanya di titik-titik tertentu seperti selama ini. Intinya, jalur air (sungai) ditata,” katanya.
Terkait kemungkinan pembalakan liar di hutan-hutan di hulu sungai-sungai yang meluap, Syahdan menyatakan, dirinya tak mau berspekulasi. Pihaknya selama ini jarang mendengar adanya penebangan kayu liar di sekitar desa-desa tersebut.
Sebagian besar wilayah pegunungan Bungku Utara ”dikepung” kawasan konservasi Cagar Alam Morowali. Cagar alam itu seluas 225.000 hektar.
Bungku Utara berada di bagian utara Kolonodale, ibu kota Morowali Utara. Daerah itu sejauh ini hanya bisa dijangkau dengan kapal rakyat (kapal kayu) dan feri dari Kolonodale dan sebaliknya.
Akses jalur darat hanya terbuka dari Bungku Utara menuju Kecamatan Mamosalato dan sebaliknya, untuk selanjutnya terus ke Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai, Sulteng.