70 Persen Pengusaha Warteg Sudah Kembali ke Ibu Kota
Pengusaha warteg asal Kota Tegal dan Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, sudah kembali ke tempatnya merantau di DKI Jakarta dan sekitarnya. Aktivitas ekonomi informal yang mulai menggeliat mendorong mereka pulang ke Ibu Kota.
Oleh
KRISTI UTAMI
·3 menit baca
TEGAL, KOMPAS — Sedikitnya 70 persen pengusaha kuliner warteg asal Kota Tegal dan Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, sudah kembali ke Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi sejak pekan lalu. Aktivitas ekonomi informal yang mulai menggeliat selama masa pembatasan sosial berskala besar atau PSBB transisi di DKI Jakarta mendorong mereka kembali merantau setelah lebih kurang sebulan bertahan di kampung.
Ketua Asosiasi Pengusaha Warteg Mulyadi mengatakan, sekitar 700 dari 1.000 pengusaha warteg kembali merantau karena kondisi Jakarta sudah berangsur normal. Berdasarkan hasil penjualan selama sepekan terakhir, pendapatan pengusaha warteg juga sudah kembali hingga 60 persen dibandingkan pendapatan saat situasi normal.
Warteg milik Mulyadi, misalnya, pada kondisi normal omzetnya sekitar Rp 2 juta per hari. Pada masa-masa awal penerapan PSBB, omzet warungnya anjlok menjadi Rp 900.000 per hari. Namun, sejak dibuka lagi sepekan terakhir, omzetnya sedikit naik menjadi Rp 1,2 juta per hari.
”Meski belum pulih seperti semula, tetapi lumayan daripada tidak dapat sama sekali. Pelan-pelan pasti bisa pulih kembali,” kata Mulyadi saat dihubungi dari Kota Tegal, Jumat (19/6/2020).
Mulyadi memperkirakan, 300 pengusaha warteg yang belum kembali ke perantauan mengalami kendala kesulitan mendapatkan karyawan. Sebagian buruh warteg mengaku ragu untuk kembali ke perantauan karena takut terpapar Covid-19. Selain itu, mereka juga tidak mau repot mengurus persyaratan administrasi untuk masuk ke wilayah Jabodetabek.
Fitri (19), buruh warteg asal Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal, misalnya, memilih untuk bertahan di kampung karena enggan mengurus persyaratan administrasi yang dinilainya cukup ribet. Persyaratan tersebut mulai dari surat pengantar pemerintah desa, surat izin keluar masuk, surat keterangan sehat, surat keterangan bekerja, dan surat jaminan dari keluarga atau tempat kerja di tempat rantau.
”Persyaratan untuk kembali ke Jakarta rumit. Saya malas mengurusnya. Lagi pula, ongkos ke Jakarta masih mahal, tunggu agak nanti deh,” ujar Fitri.
Sejak pandemi memaksa Pemprov DKI Jakarta menerapkan PSBB, Fitri kembali ke Adiwerna sejak awal Mei. Selama di rumah, ia berjualan makanan secara daring. Uang hasil berjualan makanan dipakai Fitri untuk mencukupi kebutuhannya selama di kampung. Sebagian lagi akan dikumpulkan untuk modal kembali ke Jakarta.
Berbeda dengan Fitri, Riswanto (23), buruh warteg lain asal Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes, memilih kembali ke tempatnya bekerja di wilayah Jakarta Selatan dengan modal nekat karena tidak punya pilihan lain. Sebulan terakhir, Riswanto menganggur di kampung halamannya karena warteg tempatnya bekerja tutup.
Riswanto kembali merantau sejak dua pekan lalu dengan menumpang jasa perjalanan atau travel. Ia sengaja memilih berangkat dari Brebes malam hari untuk menghindari pemeriksaan petugas. Pasalnya, dirinya tidak membawa syarat-syarat administrasi untuk masuk Jakarta.
”Alhamdulillah, selamat sampai Jakarta meski tidak bawa surat-surat apa pun. Saat di jalan tidak ada pemeriksaan. Saat tiba di sini juga tidak diperiksa oleh petugas kelurahan setempat,” ujar Riswanto saat dihubungi dari Tegal.
Tahun ini, Riswanto tidak merantau seorang diri. Dia mengajak tetangganya, Ainul (18), untuk ikut dengannya mengadu nasib di Ibu Kota. Ainul, yang putus sekolah sejak tahun lalu, selama ini masih menganggur.
”Baru pertama kali ini mengajak orang merantau. Saya mengajak Ainul merantau karena diminta oleh bos untuk membawa orang yang bisa bantu-bantu di warteg,” ujar Riswanto.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Tegal Prasetiawan mengatakan, pemerintah daerah sudah menyiapkan beberapa solusi bagi masyarakat terdampak pandemi Covid-19, termasuk yang tidak bisa kembali ke perantauan.
Solusi yang diberikan, antara lain, memberikan bantuan melalui bantuan langsung tunai (BLT) dana desa dan memberdayakan masyarakat melalui program Padat Karya Tunai Desa (PKTD).
Prasetiawan mengatakan, melalui PKTD, masyarakat terdampak pandemi Covid-19 diberdayakan untuk melakukan pekerjaan yang berguna bagi kepentingan desa, misalnya bersih-bersih lingkungan, bersih-bersih saluran air, dan kegiatan lain yang tidak memerlukan keahlian khusus. Masyarakat yang diberdayakan akan diupah menggunakan sebagian anggaran dana desa.