Nakhoda Asal Korea Selatan Tersangka Penyelundupan Bijih Nikel dari Sultra
Nakhoda asal Korea Selatan menjadi tersangka kasus penyelundupan bijih nikel. Sebelumnya, Kapal Motor Pan Begonia ditangkap petugas bea dan cukai di perairan Pulau Mapor, Bintan, Kepulauan Riau, pada 12 Februari lalu.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Kapal Motor Pan Begonia berbendera Panama labuh jangkar di Perairan Tambelas, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, Kamis (18/6/2020). Kapal itu disergap petugas bea dan cukai pada 12 Februari lalu di perairan dekat Pulau Mapur, Kabupaten Bintan, saat membawa 45.090 metrik ton bijih nikel dari Pomalaa, Sulawesi Tenggara, dengan tujuan Singapura.
TANJUNG BALAI KARIMUN, KOMPAS — Nakhoda asal Korea Selatan menjadi tersangka penyelundupan 45.090 metrik ton bijih nikel. Sebelumnya, Kapal Motor (KM) Pan Begonia ditangkap petugas bea dan cukai di perairan Pulau Mapor, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, 12 Februari lalu.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Khusus Kepulauan Riau Agus Yulianto, Kamis (18/6/2020), mengatakan, KM Pan Begonia disergap saat dalam perjalanan menuju Singapura. Adapun muatan bijih nikel yang nilainya sekitar Rp 13,76 miliar itu diketahui berasal dari Pomalaa, Sulawesi Tenggara.
Kapal yang digunakan memuat nikel itu berukuran panjang 190 meter (m) dan lebar 33 m. Nikel sebanyak 45.090 metrik ton itu ditempatkan dalam lima palka di badan kapal yang masing-masing berukuran sekitar 30 meter persegi.
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Petugas bea dan cukai menunjukkan sampel bijih nikel yang diangkut Kapal Motor Pan Begonia, Kamis (18/6/2020).
”Setelah diperiksa ternyata muatan kapal itu sama sekali tidak dilengkapi dokumen kepabeanan serta surat persetujuan berlayar (SPB). Selanjutnya, kapal itu dibawa ke Perairan Tambelas, Kabupaten Karimun, untuk diperiksa lebih lanjut,” kata Agus Yulianto.
Dalam waktu empat bulan, petugas bea dan cukai memeriksa total 21 anak buah KM Pan Begonia dan juga 11 pimpinan perusahaan pemilik kapal, yaitu Pos Maritime TXSA. Pada 11 Februari, berkas perkara kasus penyelundupan itu dinyatakan lengkap atau P21 oleh Kejaksaan Negeri Karimun.
”Pemeriksaan juga melibatkan tujuh petugas yang menangkap dan tiga ahli. Cukup banyak yang harus kami periksa, termasuk di pelabuhan muatnya (di Pomalaa). Jadi, kami butuh waktu empat bulan,” ujar Agus.
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Khusus Kepulauan Riau melimpahkan kapal tersebut kepada Kejaksaan Negeri Karimun sebagai barang bukti kasus penyelundupan 45.090 metrik ton bijih nikel dari Pomalaa, Sulawesi Tenggara, ke Singapura, Kamis (18/6/2020).
Saat dilakukan pemeriksaan lanjut, nakhoda KM Pan Begonia tidak dapat menunjukkan pemberitahuan ekspor barang (PEB) dan bijih nikel yang dimuat itu tidak dilindungi dokumen yang sah berupa outward manifest. Hal ini membuat PMS, nakhoda KM Pan Begonia, yang berasal dari Korea Selatan ditetapkan menjadi tersangka.
”Kami juga telah memeriksa pihak perusahaan, tetapi dari hasil pemeriksaan tersebut inisiatif (penyelundupan) memang dari nakhoda,” ucap Agus.
Penyelundupan bijih nikel itu menyebabkan potensi kerugian negara sebesar Rp 2,14 miliar. Tersangka PMS diduga melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 10/1995 tentang Kepabeanan. Ia terancam penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Warga Desa Tambakua mengamati kawasan pegunungan yang rusak karena tambang nikel di Kecamatan Langgikima, Konawe Utara, Senin (5/8/2019).
Menurut Agus, ekspor mineral mentah, termasuk bijih nikel, telah dilarang pemerintah sejak Januari 2020. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah mineral di dalam negeri. Saat diolah menjadi feronikel, harganya melonjak 10 kali lipat dibandingkan saat masih berbentuk bijih. Jika sudah dimurnikan menjadi baja tahan karat, harganya naik lagi sedikitnya 20 kali lipat.
Larangan ekspor mineral mentah awalnya terbit pada 2014, tetapi pemerintah merelaksasi ekspor nikel kadar 1,7 persen mulai 2017. Sebenarnya relaksasi itu berlangsung hingga 2022, tetapi akhirnya batas waktunya dipercepat dan berakhir pada Januari 2020.
Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey, penghentian relaksasi ekspor bijih nikel itu memukul petambang. Bagi petambang, harga jual dalam negeri terasa tak masuk akal karena ongkos produksinya saja mencapai 20 dollar AS per ton. Harga jual nikel kadar rendah 1,7 persen yang diekspor sekitar 40 dollar AS per ton, sedangkan harga jual kadar yang sama di dalam negeri kurang dari 20 dollar AS per ton (Kompas, 19/5/2020).