Musim Kemarau Lebih Basah, Sumsel Tetap Waspadai Karhutla
Musim kemarau di Sumatera Selatan tahun ini diprakirakan merupakan musim kemarau basah. Meskipun demikian, kewaspadaan akan terjadinya kebakaran hutan dan lahan tetap perlu menjadi prioritas.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Musim kemarau di Sumatera Selatan tahun ini diprakirakan merupakan musim kemarau basah. Meskipun begitu, kewaspadaan terhadap kebakaran lahan dan pencegahan dini tetap perlu diutamakan untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan.
Koordinator Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Sumatera Selatan Nuga Putrantijo, Kamis (18/6/2020), mengungkapkan, kemarau tahun ini akan lebih basah dibandingkan tahun sebelumnya. Itu berarti, walau berada di masa puncak, masih ada potensi awan hujan sehingga kondisi gambut di Sumsel tidak benar-benar kering.
Awal musim kemarau bakal terjadi pada dasarian pertama sampai dasarian ketiga Juni dan akan berakhir sampai Oktober 2020. Sementara puncak musim kemarau diprediksi akan terjadi pada Agustus-September 2020.
Intensitas hujan pada periode itu berada di kisaran 100 milimeter-300 milimeter per bulan (kategori menengah). ”Gambut tidak begitu kering, potensi kebakaran lahan juga akan menurun,” ucapnya.
Hari tanpa hujan (HTH), lanjut Nuga, tahun ini diperkirakan akan lebih pendek, berkisar 1-5 hari. Artinya, dalam waktu lima hari setidaknya ada satu kali hujan. Kondisi itu terpatau dari alat pengukur hujan yang tersebar di wilayah Sumsel. Sementara tahun lalu, HTH di Sumsel bisa mencapai 120 hari.
Akibatnya, tahun lalu lahan benar-benar kering dan kebakaran di Sumsel pun meluas. Total luas hutan dan lahan yang terbakar di Provinsi Sumatera Selatan pada Januari-November 2019 mencapai 428.356 hektar
Nuga mengatakan, fenomena La Nina ataupun El Nino tahun ini diperkirakan lebih lemah cenderung netral. Hal inilah yang membuat masih ada potensi awan hujah walaupun puncak musim kemarau.
Kondisi iklim yang terjadi akhir-akhir ini sulit ditebak.
Meskipun demikian, kondisi iklim yang terjadi akhir-akhir ini sulit ditebak. ”Karena itu, pembaruan data secara berkala akan terus dilakukan guna mempercepat langkah antisipasi petugas di lapangan,” kata Nuga.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatera Selatan Iriansyah menerangkan, walau kemarau tahun ini lebih basah, semua pihak harus terus waspada. Kewaspadaan harus ditingkatkan terutama di sejumlah desa yang rawan terbakar di Sumsel.
Berdasarkan pengalaman tahun lalu, ada 17.000 titik panas di Sumsel. Titik panas tersebut dominan terjadi di 298 desa yang tersebar di 84 kecamatan di 10 kabupaten/kota di Sumsel.
”Kawasan itu yang perlu mendapat perhatian,” katanya. Tahun ini, ujar Iriansyah, satuan tugas sudah memfokuskan lagi desa sangat rawan menjadi 90 desa.
Iriansyah menerangkan, untuk mempersiapkan semua kekuatan mitigasi karhutla, aparat desa bisa menggunakan dana desa. ”Tentu dikoordinasikan dengan pemerintah kabupaten/kota yang memiliki akses langsung ke desa tersebut,” katanya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Provinsi Sumatera Selatan Edward Candra mengemukakan, terkait 90 desa yang rawan terbakar, perlu dilakukan pemetaan yang masif untuk melihat intervensi apa saja yang sudah dilakukan oleh sejumlah instansi pada desa tersebut terkait pencegahan dan penanggulangan karhutla. ”Jangan sampai ada tumpang tindih bantuan,” ucapnya.
Untuk itu, perlu ada inventarisasi secara menyeluruh, termasuk juga kesiapan personel satuan tugas di desa. Terkait pendanaan, lanjut Edward, selain dana desa, nantinya ada bantuan dari Gubernur Sumatera Selatan bagi daerah rawan.
”Bantuan yang disalurkan nanti diharapkan dapat benar-benar digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan di lapangan,” ucap Edward.
Sebelumnya, Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru menyatakan, pihaknya sudah menganggarkan dana APBD Sumsel untuk penanggulangan kebakaran lahan di Sumsel berkisar Rp 37 miliar-Rp 50 miliar. Dana tersebut akan dibagikan ke 10 kabupaten/kota di Sumsel yang rawan terbakar.
Selain itu, ujar Edward, pihaknya akan berkoordinasi dengan sejumlah perusahaan yang beroperasi di sekitar desa rawan terbakar agar turut membantu penanggulangan kebakaran. Peran perusahaan sangat diperlukan. Kebakaran juga berbahaya bagi daerah konsesi mereka.