Menjaga Masa Depan Bumi Curabhaya
Uang merupakan alat pembayaran yang sah, tetapi tidak semua hal bisa dibayar dengan uang. Di Surabaya, beberapa hal hanya bisa dibayar dengan bibit mangrove dan botol plastik demi menjaga kelestarian lingkungan.
Uang merupakan alat pembayaran yang sah, tetapi tidak semua hal bisa dibayar dengan uang. Di Surabaya, Jawa Timur, beberapa hal hanya bisa dibayar dengan bibit mangrove dan botol plastik demi menjaga kelestarian lingkungan.
Terik sinar matahari tak menyurutkan niat puluhan wisatawan di kawasan ekowisata Mangrove Gunung Anyar, Surabaya, Sabtu (22/2/2020), untuk menjajal wahana becak air. Mereka penasaran ingin mencoba wahana yang baru dibuka awal Februari tersebut bersama keluarga.
Ketika pengunjung mengeluarkan uang untuk membeli tiket, mereka ditolak petugas. ”Kalau mau naik becak air harus bayar pakai bibit mangrove,” ujar Manan (45), penjual bibit mangrove di kawasan mangrove Gunung Anyar.
Berkat program ini, saya bisa dapat penghasilan tambahan. (Manan)
Para pengunjung lantas mendatangi Manan yang berada di sekitar lokasi wahana becak air untuk membeli bibit mangrove. Untuk satu bibit mangrove dijual dengan harga Rp 2.500. Pengunjung perlu dua bibit mangrove untuk menukarnya dengan satu tiket wahana becak air.
Manan mengatakan, setiap akhir pekan ada sekitar 100 bibit mangrove yang terjual. Bibit-bibit itu diperoleh dari hasil budidaya dan mencarinya di kawasan pantai timur Surabaya (pamurbaya) bersama sejumlah petambak lain di kawasan tersebut. ”Berkat program ini, saya bisa dapat penghasilan tambahan,” ujar pria yang juga menjadi nelayan itu.
Baca juga: Taman Mozaik Surabaya untuk Selera Kekinian
Salah seorang pengunjung, Oktaviani (23), mengatakan, penggunaan bibit mangrove sebagai alat pembayaran becak air bisa mendidik warga Surabaya untuk peduli terhadap lingkungan. Menurut dia, program ini sebaiknya bisa diperluas di beberapa lokasi dan fasilitas lainnya karena berkontribusi menjaga lingkungan Surabaya. ”Jika saya naik becak air, berarti saya sudah ikut berkontribusi menanam mangrove untuk masa depan Surabaya,” katanya.
Wahana becak air merupakan salah satu wahana favorit di kawasan ekowisata mangrove Gunung Anyar. Di kawasan hutan mangrove seluas lebih dari 18 hektar tersebut, pengunjung juga bisa menikmati wahana lain, seperti jalur joging, menara pantau, dermaga, dan gazebo. Mereka juga bisa belajar tentang mangrove karena ada sekitar 43 jenis mangrove di kawasan ini.
Pengelola kawasan ekowisata mangrove Gunung Anyar, Ahmad Yani, mengatakan, sesuai Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 48 Tahun 2019 tentang Penggunaan Layanan Angkutan Wisata Mangrove, pengunjung yang menggunakan fasilitas becak air harus membayar dengan bibit mangrove. Tiket itu berlaku untuk satu kali putaran di waduk selama 15 menit. Ada sembilan becak air yang beroperasi di tempat tersebut.
Pemkot Surabaya bekerja sama dengan sejumlah petani mangrove yang menyediakan bibit tersebut. Bibit mangrove yang dijual setidaknya harus berumur minimal dua bulan atau tinggi lebih dari 60 sentimeter. Secara berkala, bibit mangrove yang terkumpul akan ditanam di kawasan pamurbaya yang akan dijadikan kebun raya mangrove.
Baca juga: Hutan Raya Mangrove Penyejuk Kota Surabaya
Saat ini wahana becak air hanya dibuka pada akhir pekan karena pada saat itulah pengunjung bisa ribuan orang per hari. Jika antusiasme pengunjung pada hari biasa naik, pihaknya akan membuka wahana tersebut setiap hari.
”Kami berencana membuka wahana perahu untuk mengantar pengunjung dari kawasan mangrove menuju laut. Pembayarannya pun akan sama, menggunakan bibit mangrove,” katanya.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Surabaya Irvan Widyanto mengatakan, penggunaan bibit mangrove sebagai alat pembayaran wahana becak air menjadi bagian dari ajakan Pemkot Surabaya kepada warga untuk ikut menjaga kelestarian lingkungan. Keberadaan hutan mangrove di kawasan tersebut sangat penting sebagai penahan dari abrasi gelombang laut, penyimpan karbon, sekaligus menjadi destinasi wisata edukasi.
Di kawasan wisata ini, sebagian besar sarana pendukung terbuat dari bahan-bahan alam, seperti bambu dan kayu. Pipa saluran air bekas yang sudah tidak terpakai digunakan sebagai pengganti pot tanaman. Pengunjung juga dilarang membawa plastik sekali pakai di area ini.
”Wisata alam di mangrove Gunung Anyar menjadi kampanye untuk mengajak masyarakat ikut menjaga hutan mangrove sekaligus memberi contoh pengurangan sampah plastik dan daur ulang sampah,” kata Irvan.
Baca juga: Risma Bagikan ”Resep” Pengelolaan Sampah di Surabaya Saat World Material Forum
Warga Surabaya tidak hanya diajak menjaga kawasan hutan mangrove. Pemkot Surabaya juga terus mengedukasi warga untuk mengelola sampah, terutama sampah botol bekas air mineral. Botol plastik tersebut digunakan sebagai alat pembayaran Bus Suroboyo.
Untuk mendapatkan satu tiket perjalanan selama dua jam, warga harus menukarkan 10 plastik gelas kemasan air atau 5 botol air mineral ukuran 600 ml atau 3 botol air mineral ukuran 1,5 liter. Calon penumpang juga bisa memperoleh tiket dengan menukarkan sampah plastik di sembilan lokasi jika tidak ingin selalu membawa sampah selama perjalanan.
Saat ini ada 20 Bus Suroboyo yang melewati tiga rute, yakni Terminal Purabaya-Jalan Rajawali dan rute Universitas Negeri Surabaya-Institut Teknologi Sepuluh Nopember, serta MERR (Middle East Ring Road). Waktu tunggu sekitar 10 menit yang keberadaannya bisa dipantau melalui aplikasi Gobis.
Sejak diluncurkan pada April 2018, jumlah penumpang Bus Suroboyo terus meningkat. Selama 2019 tercatat ada 1,1 juta penumpang, meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun pertama diluncurkan, yakni sebanyak 492.942 penumpang.
”Meskipun ada penumpang yang ngotot ingin naik bus ini dengan membayar menggunakan uang, tetapi kami selalu menolak karena uang tidak bisa untuk membeli tiket bus ini,” kata Kepala Dinas Perhubungan Kota Surabaya Irvan Wahyudrajad.
Program-program yang diinisiasi oleh Pemkot Surabaya pada akhirnya berdampak pada perubahan perilaku masyarakat. Pengguna Bus Suroboyo, Hanna Amanda (24), mengatakan, sejak tahun lalu, dirinya semakin giat mengumpulkan sampah botol plastik ketika membeli air minum dalam kemasan.
”Saya semakin sadar untuk mengelola sampah sekaligus mengurangi sampah. Kalau keluar pun kini selalu membawa botol minum dari rumah,” katanya.
Dalam upaya pengelolaan sampah, seperti dalam program Bus Suroboyo, warga ikut mengelola sampah sejak dari hulu. Mereka memilah sampah untuk dijual ke bank sampah. Hingga awal 2020, ada sekitar 300 bank sampah yang beranggotakan lebih dari 16.000 nasabah. Setiap bulan, transaksi di bank sampah sekitar 30 ton atau ketika dinilai dengan uang sebanyak Rp 150 juta.
Hasil penjualan sampah bisa ditukar dengan uang atau ada pilihan lain untuk membayar listrik PLN. Namun, bagi Aries Winarni (57), warga Kampung Karang Gayam, Kecamatan Pacarkeling, tabungan dari bank sampah baru akan diambil setahun sekali untuk kegiatan rekreasi bersama warga lain di lingkungan tempat tinggalnya.
Baca juga: Hasil Lelang Botol Plastik Masuk Pendapatan Daerah
Menurut dosen Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Warmadewanthi, mengatakan, salah satu faktor yang membuat Surabaya mampu menyelesaikan masalah sampah adalah gaya hidup bebas sampah yang dilakukan warganya. Selain itu, Pemkot Surabaya juga berhasil mengurangi timbulan sampah sejak hulu dengan partisipasi masyarakat yang tinggi.
”Warga Surabaya mulai berperilaku dan melakukan gaya hidup bebas sampah sehingga jumlah produksi sampah terus berkurang,” katanya.
Penelitian Warma pada 2016 menunjukkan bahwa timbulan sampah yang dihasilkan warga Surabaya rata-rata 0,4 kilogram per jiwa setiap hari. Jumlah ini lebih rendah 57 persen dibandingkan dengan rata-rata nasional, yakni 0,7 kilogram per jiwa setiap hari.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan, tugas untuk menjaga lingkungan tidak hanya ada pada pemerintah, warga juga memiliki peran penting dalam upaya tersebut. Namun, Pemkot Surabaya berupaya memberi contoh pada warga untuk berperilaku bebas sampah dan terus menjaga lingkungan. ”Gerakan ini menjadi bagian dari upaya Pemkot Surabaya melakukan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan,” katanya.
Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat meningkatkan kepeduliannya terhadap masa depan lingkungan. Uang memang penting, tetapi ada kalanya uang tidak lebih berharga daripada masa depan lingkungan.