Penyidikan kasus desa bermasalah di Konawe oleh Polda Sultra belum menemui titik terang. Proses audit anggaran baru merampungkan empat dari 56 desa bermasalah itu.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Penyidikan kasus desa bermasalah di Kabupaten Konawe oleh Polda Sultra belum juga menemui titik terang meski telah berjalan hampir satu tahun. Audit anggaran baru menyelesaikan empat dari total 56 desa bermasalah. Di sisi lain, Pemkab Konawe sedang memperbaiki administrasi, termasuk pengesahan peraturan daerah agar 56 desa ini bisa mendapat bantuan tunai dana desa.
Kepala Bidang Humas Polda Sultra Ajun Komisaris Besar Ferry Walintukan, di Kendari, Rabu (17/6/2020), menuturkan, penyidikan masih terus dilakukan meski memang perlahan. Hal ini terjadi karena pemeriksaan memerlukan pengecekan mendalam terhadap penggunaan anggaran sebanyak 56 desa untuk mengetahui kerugian negara.
”Dari 56 desa yang diduga bermasalah, baru empat desa yang telah selesai diaudit anggaran oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sultra. Sebanyak 19 desa telah selesai audit fisik oleh tenaga ahli dan masih ada 33 desa lain yang masih menunggu audit fisik. Pengajuan audit ke BPKP untuk 52 desa tersisa belum diajukan karena belum selesainya audit fisik ini,” kata Ferry.
Menurut Ferry, audit fisik sebanyak 19 desa membutuhkan waktu. Selain lokasi desa yang sulit ditempuh, audit juga memerlukan ketelitian dari penggunaan alokasi anggaran dana desa setiap desa. Audit tersebut dilakukan oleh ahli konstruksi yang memiliki sertifikasi dan kemampuan khusus.
Audit seluruh desa tersebut, tambah Ferry, diperlukan sesuai permintaan pihak kejaksaan. Hal itu agar mengetahui secara utuh potensi kerugian negara dari semua desa yang diduga bermasalah. Oleh karena itu, aparat belum bisa bertindak lebih jauh karena audit belum dilakukan sepenuhnya.
”Kami tidak ada maksud untuk menunda-nunda penyidikan. Kasus ini juga menjadi atensi banyak pihak dan melalui asistensi Komisi Pemberantasan Korupsi. Kami dalam posisi menunggu audit menyeluruh terhadap 52 desa lainnya. Kalau itu belum ada, kami hanya bisa menunggu,” tuturnya.
Koordinator Pengawasan Bidang Investigasi BPKP Sultra Leo Lendra menjabarkan, audit anggaran terhadap empat desa telah diserahkan ke Polda Sultra pada Mei lalu. Salah satu temuan paling utama adalah adanya kerugian negara dari penggunaan anggaran dana di empat desa tersebut.
Kerugian negara ini, tambah Leo, merupakan audit terhadap anggaran yang digunakan empat desa selama tahun anggaran 2016-2018. Nilai kerugian bervariasi di setiap desa.
”Untuk nilainya, tidak bisa saya sebutkan karena itu materi penyidikan. Penyalahgunaan anggaran itu pada dasarnya ada yang tidak sesuai dengan aturan yang disyaratkan,” tutur Leo.
Audit BPKP Sultra menelaah dan menyisir semua hal di empat desa itu. Desa tersebut adalah Lerehoma di Kecamatan Anggaberi, Napooha dan Arombu Utama di Kecamatan Latoma, dan Wiau di Kecamatan Routa. Kepolisian sendiri telah menaikkan status dari penyelidikan ke penyidikan di empat desa ini sejak Agustus lalu.
Kepolisian juga telah mengirimkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan yang bersifat umum ke Kejaksaan Tinggi Sultra. Untuk menguatkan penyidikan, kepolisian meminta bantuan audit dari BPKP Sultra.
Kasus dana desa di Konawe mencuat sejak Oktober 2019. Kala itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan adanya dugaan desa bermasalah dan terus mendapat kucuran dana desa selama bertahun-tahun.
Penelusuran Kompas pada Oktober-November lalu menemukan adanya aturan bermasalah yang menjadi dasar pembentukan 56 desa di Konawe. Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2011 tentang pembentukan 56 desa tersebut tidak pernah dibahas bersama DPRD Konawe, tidak terdaftar di badan hukum daerah, tetapi menjadi dasar pendirian desa hingga ke Kemendagri. Di sisi lain, ditemukan, Perda No 7/2011 itu tercatat sebagai perda pertanggungjawaban APBD 2010, bukan tentang pembentukan desa.
Sejak 2017, 56 desa yang ada dalam aturan tersebut telah mendapatkan dana desa. Perda bermasalah tersebut diatur dan dibuat pada medio 2014-2015, tetapi dikeluarkan bertanggal mundur menjadi tahun 2011.
Sejumlah oknum diduga merencanakan dan membuat aturan agar puluhan desa di Konawe terdaftar di kementerian dan mendapatkan dana desa. Empat desa yang sedang dalam penyidikan kepolisian masuk dalam daftar 56 desa di Perda No 7/2011 tersebut.
Sementara itu, 56 desa bermasalah di Konawe ini belum menerima bantuan langsung tunai (BLT) dana desa dari Kementerian Desa. Aturan terkait pembentukan masih dalam perbaikan dan akan segera dikirimkan ke pemerintah pusat.
Kalau perda sebelumnya, saya tidak pernah tahu.
Sekretaris Daerah Konawe Ferdinand menuturkan, 56 desa di Konawe ini memang belum menerima BLT dana desa untuk tahap satu dan dua. Pemkab Konawe sedang melakukan perbaikan administrasi agar masyarakat yang berhak bisa mendapatkan bantuan.
”Ini ada perda yang belum ditetapkan. Hal ini sesuai koordinasi antara pemerintah pusat, Pemprov Sultra, dan Pemkab Konawe,” katanya.
Perbaikan administrasi ini, Ferdinand melanjutkan, akan diselesaikan dalam waktu dekat. Setelah tuntas, perda akan dikirim ke pusat sehingga masyarakat sudah bisa menerima BLT untuk Juli mendatang.
Pengesahan perda pembentukan desa ini, kata Ferdinand, menindaklanjuti aturan yang telah ada sebelumnya. Sebab, puluhan desa ini telah lama ada sebelumnya, memiliki wilayah, penduduk, dan pemerintahan.
”Kalau perda sebelumnya, saya tidak pernah tahu. Sementara proses hukum yang sedang berlangsung itu bagian terpisah. Perbaikan administrasi juga bagian yang lain dari pembentukan desa ini,” ucapnya.