Popularitas gula aren naik daun seiring menguatnya gerakan budidaya organik. Terlebih di tengah pandemi Covid-19, tetesan air nira menopang rezeki para perajin gula aren.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Badai korona tak mampu menggoyahkan petani enau. Selama masa Ramadhan hingga Lebaran lalu, pamor gula aren bahkan melambung, mendorong pencarian pohon-pohon enau liar di hutan untuk disadap.
Senen (46), petani enau di Desa Jambi Tulo, Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, pun bersyukur tahun ini masih dapat memanfaatkan delapan batang enau (Arenga pinnata Merr). Air yang terus menetes dari tandannya mengalirkan rezeki di tengah keluarga. Hasilnya, sejak pagi hingga malam, wajan dapat terus memasak nira.
Selepas empat jam dijerang, air yang semula putih keruh itu pun mengental coklat keemasan, pertanda gula aren siap dicetak. Air nira lainnya telah siap untuk dijerang.
Menyadap, memanen, dan mengolah nira menjadi keseharian Senen. Apalagi, selama Ramadhan hingga masa Lebaran, pamor gula aren melambung. Produksi gula telah ia naikkan dua kali lipat, tetapi pesanan jauh melampaui. ”Orang yang memesan dari mana-mana. Belum mampu kami penuhi semua,” ujarnya.
Saat pagi masih gelap, Senen berangkat menuju pohon-pohon enau yang berjarak 500 meter dari rumah. Air nira yang menetes semalaman dari tandan-tandan enaunya telah penuh mengisi tabung bambu. Hasil panen harus segera dibawa pulang dan langsung dimasak. Jika tidak akan terfermentasi menjadi tuak.
Senen merupakan generasi keenam penderas nira. Sejak remaja, ia telah menjelajah pohon demi pohon demi memanen air nira. Saat berusia 30-an tahun, demam komoditas karet membuatnya beralih. Senen menjadi buruh penyadap karet.
Setelah delapan tahun bergelut dengan karet, Senen memutuskan kembali lagi menjadi penyadap nira.
Belakangan, getah karet makin tak menguntungkan. Setelah delapan tahun bergelut dengan karet, Senen memutuskan kembali lagi menjadi penyadap nira. Namun, di saat yang sama, pohon enau semakin langka. Banyak pohon ditebangi serta digantikan sawit dan karet.
Senen beruntung dapat menyadap pohon enau milik tetangganya. Ia memberi imbalan 4 bongkah gula aren setiap hari kepada sang tetangga. Sedangkan dirinya memperoleh pendapatan sekitar Rp 200.000. Jumlah itu jauh lebih besar dibandingkan dengan upah menyadap karet yang hanya berkisar Rp 50.000.
Popularitas gula aren naik daun seiring menguatnya gerakan budidaya organik. Namun, di Jambi Tulo, masyarakat percaya tanaman enau haruslah tumbuh alami. Tidak dibudidayakan secara khusus. Tanpa pupuk, apalagi pembasmi hama kimia.
Ada kepercayaan dalam masyarakat bahwa tanaman endemik unggul saja yang mampu tumbuh besar dan produktif dengan rentang usia lebih dari 30 tahun.
Namun, di tengah meningkatnya permintaan pasar, upaya pengembangan pohon aren masih jauh di bawah komoditas-komoditas perkebunan lainnya.
Situs Basis Data Statistik Pertanian Kementerian Pertanian menunjukkan, luas penanaman enau atau aren pada tahun 2014 seluas 61.930 hektar, turun dari tahun 2013 seluas 63.399 hektar. Angka luas penanaman tertinggi pada 20 tahun terakhir terjadi pada 2009 seluas 65.406 hektar. Setelah 2014, tidak tersedia lagi data tanaman aren.
Berdasarkan Laporan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, pengembangan dilakukan dengan penanaman 27.000 batang di sembilan provinsi pada 2018. Angka itu terendah ketiga dari 12 komoditas unggulan nasional yang akan dikembangkan. Hanya sedikit di atas sagu dan kemiri.
Pohon aren yang termasuk keluarga palma merupakan tanaman endemik Nusantara yang menyebar di 24 provinsi. Khusus di Pulau Sumatera, air nira dan gula aren dimanfaatkan untuk pemanis, jauh sebelum masuknya gula pasir dari tebu.
Saat berkunjung ke Sumatera pada abad ke-13, Marco Polo menuliskan catatannya tentang tanaman enau atau pohon nira yang banyak tumbuh di dataran rendah pulau itu. Ia sebutkan, dikutip dalam catatan yang disusun Anthony Reid dalam buku Sumatera Tempo Doeloe (1995), mengenai sebuah pohon bercabang empat. Masyarakat di Aceh meletakkan tempayan-tempayan di samping cabang-cabang pohon tersebut. Dalam waktu sehari semalam, tempayan itu akan terisi air.
Selain airnya, pohon enau pun memberikan manfaat besar. Buahnya menghasilkan kolang-kaling yang baik untuk kesehatan. Sedangkan rambut pelepahnya untuk sapu ijuk. Batang pohonnya untuk jembatan. Dari pohon itu juga dapat diolah menghasilkan sagu.
Tradisi nira yang masih melekat di Jambi Tulo boleh jadi diwariskan turun-temurun. Menurut Jalaludin, tokoh adat setempat, seorang pemuda baru dianggap layak meminang gadis jika telah terampil menyadap dan menajur. ”Menyadap artinya menderes nira, sedangkan menajur adalah memancing ikan,” ujar Jalaludin. Dua keterampilan itulah bekal bagi sang kepala agar mampu menghidupi keluarganya.
Seorang pemuda baru dianggap layak meminang gadis jika telah terampil menyadap dan menajur.
Penderas nira setempat, Saefudin, menyebut banyak tidaknya hasil nira disokong ikatan batin dengan penyadapnya. Itu sebabnya, setiap kali akan menyadap, tak lupa ia sematkan pantun bagi sang pohon. ”Anak itik bertali rumbai. Sudah rumbai rautan pula. Aek (air) setitik menjadi sungai. Sudah sungai menjadi lautan.”
Pantun itu menyiratkan doa memohon hasil panen yang melimpah. Tetesan nira yang terus mengalir bagaikan air sungai atau bahkan lautan. Sumber rezeki yang dapat tetap melimpahi para petani di tengah badai korona ini.