Tujuh Terdakwa Makar Papua Divonis 10-11 Bulan Penjara
Atas vonis yang dijatuhkan majelis hakim di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur, para terpidana menyatakan pikir-pikir.
Oleh
SUCIPTO/FABIO COSTA
·4 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Tujuh terdakwa makar dalam demonstrasi yang berbuntut kerusuhan di Jayapura, Papua, Agustus 2019, divonis 10 bulan dan 11 bulan penjara oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (17/6/2020). Hukuman itu jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa.
Para terdakwa itu adalah Alexander Gobay dan Hengki Hilapok (mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura), Steven Itlay (Ketua Komite Nasional Papua Barat/KNPB Timika), Fery Kombo (mahasiswa Universitas Cenderawasih), Agus Kossay (Ketua KNPB), Bucthar Tabuni (Ketua II United Liberation Movement for West Papua/ULMWP), serta Irwanus Uropmabin (mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura).
Seluruh persidangan dilakukan secara daring melalui aplikasi Zoom. Persidangan pertama diikuti Irwanus yang dimulai pukul 11.00 Wita. Irwanus divonis 10 bulan penjara, lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum, yakni lima tahun penjara. Irwanus berlaku sebagai koordinator bidang keamanan unjuk rasa pada 29 Agustus 2019. Aksi itu dipicu tindakan rasis yang menimpa mahasiswa asal Papua yang tengah menempuh pendidikan di Surabaya.
Majelis hakim menyatakan, Irwanus bertanggung jawab atas kerusuhan dalam aksi unjuk rasa itu. Selain itu, ia juga dinyatakan sebagai orang yang bertanggung jawab atas tindakan makar dalam aksi, yakni adanya penurunan bendera Merah Putih dan pengibaran bendera bintang kejora.
Adapun Ferry dan Alexander divonis masing-masing 10 bulan penjara, lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum masing-masing 10 tahun penjara. Sementara Hengki yang dituntut lima tahun penjara divonis majelis hakim 10 bulan penjara. Majelis hakim menyatakan para mahasiswa itu secara sah dan meyakinkan atas tindakan makar secara bersama-sama.
Sementara Stevanus dan Agus divonis majelis hakim 11 bulan penjara, lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum, yakni masing-masing 15 tahun penjara. Buchtar yang dituntut 17 tahun penjara divonis oleh majelis hakim 11 bulan penjara. Majelis hakim menyatakan, mereka secara sah dan menyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana makar secara bersama- sama.
Di dalam persidangan, Bucthar mengatakan tidak mengetahui beberapa barang bukti yang disebutkan hakim, seperti 36 buah anak panah dan 1 buah parang. ”Hakim yang mulia, bukan saya tidak mau 11 bulan, dari hati nurani saya ini mengatakan, saya tidak bersalah. Jadi, saya pikir-pikir dulu,” katanya.
Semua terdakwa terbukti melanggar tindak pidana makar pasal 106 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Lamanya penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh para terpidana dikurangkan seluruhnya dari lamanya pidana yang dijatuhkan.
Persidangan Alexander, Steven, dan Hengki dipimpin oleh majelis hakim yang diketuai Pujiono dengan hakim anggota Agnes Hari Nugraheni dan Arif Wicaksono. Persidangan Fery dan Agus dipimpin ketua majelis hakim Bambang Trenggono dengan hakim anggota Bambang Setyo dan Herlina Rayes. Adapun persidangan Buchtar dan Irwanus dipimpin ketua majelis hakim Sutarmo dengan anggota Agnes Hari Nugraheni dan Bambang Condro.
Para majelis hakim memberi waktu kepada penasihat hukum dan penuntut umum untuk pikir-pikir selama tujuh hari guna menerima putusan atau mengajukan banding. Semua jaksa penuntut umum dan penasihat hukum para terpidana menyatakan pikir-pikir dalam menanggapi putusan tersebut.
”Kami pikir-pikir Yang Mulia,” kata Latifa Anum Siregar, salah satu kuasa hukum para terdakwa.
Kondusif
Di Papua, situasi keamanan kondusif setelah putusan vonis terhadap tujuh terpidana kasus makar itu. Massa menggelar aksi unjuk rasa di sejumlah daerah yang berlangsung dengan damai.
Berdasarkan pantauan Kompas, ratusan mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa di sejumlah distrik atau kecamatan di Kota Jayapura, seperti Heram dan Abepura. Massa yang didominasi mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi menyampaikan aspirasinya, yakni meminta dibebaskan tujuh terpidana kasus makar. Massa membubarkan diri dengan damai setelah mendapatkan informasi vonis sejumlah terpidana.
”Dari hasil pantauan kami di Jayapura dan sejumlah daerah, seperti Jayawijaya, Merauke, dan Timika, tak ada gangguan keamanan pasca-putusan vonis di PN Balikpapan. Mereka menerima putusan hakim,” kata Kabid Humas Polda Papua Komisaris Besar Ahmad Mustofa Kamal.
Ahmad mengimbau agar semua pihak dapat menerima putusan vonis hakim di PN Balikpapan dengan hati yang lapang. Sebab, masih ada upaya hukum lain apabila tidak menyetujui dengan putusan hakim.
”Kami berharap pasca-putusan hakim ini tak ada lagi aksi unjuk rasa anarkis di Papua. Sebab, perbuatan tersebut telah menyebabkan banyak pihak yang menjadi korban dalam kerusuhan di sejumlah daerah di Papua,” kata Ahmad.
Pieter Ell selaku koordinator Forum Tim 150 yang mengajukan petisi pembebasan ketujuh terpidana mengapresiasi putusan hakim PN Balikpapan. Putusan tersebut dinilai telah memberikan rasa keadilan hukum bagi warga Papua sebagai bagian dari negara Indonesia.
”Keputusan hakim sungguh luar biasa. Hal ini sesuai gugatan kami bahwa tuntutan pidana yang tinggi menunjukkan adanya diskiriminasi dalam penegakan hukum. Sebab, oknum yang memicu aksi unjuk rasa rasisme hanya divonis beberapa bulan penjara,” tutur Pieter.
Adrianus Tomana, selaku koordinator jaksa penuntut umum, menegaskan, pihaknya akan memikirkan langkah hukum berikutnya setelah putusan atas tujuh terpidana kasus makar dalam tujuh hari ini.
”Kami akan berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Kemungkinan besar kami akan mengambil upaya banding atas putusan hakim,” kata Adrianus.