Pemeriksaan Laboratorium Lambat, Seorang Anak Balita Dirawat hingga 32 Hari
Proses pemeriksaan laboratorium spesimen usap yang lambat membuat seorang anak balita di Palembang harus bolak-balik di rumah sakit dan dirawat di RS hingga 32 hari.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — ND (2) akhirnya bisa dipulangkan setelah 32 hari dirawat di RS Pelabuhan Palembang. Pasien tertahan pulang karena menunggu hasil pemeriksaan sampelnya di laboratorium reaksi berantai polymerase (PCR) di Palembang yang tak kunjung keluar.
Ketua Tim Covid-19 RS Pelabuhan Palembang (RSPP), Zaenab, Senin (15/6/2020), mengatakan ND masuk ke RS Pelabuhan Palembang (RSPP) karena mengalami keracunan. Saat itu kondisi badan ND panas tinggi dan sesak napas. Sebenarnya, ungkap Zaenab, sebelum pandemi Covid-19, ND sudah memiliki riwayat radang paru (pneumonia). Karena itu, ND menjalani beberapa kali tes uji usap tenggorokan.
Dari hasil pemeriksaan sampel pertama pada 5 Mei lalu, ND dinyatakan negatif Covid-19 dan dipulangkan. Namun, pada pemeriksaan berikutnya, sampel ND dinyatakan positif Covid-19. Hasil pemeriksaan baru diketahui pada 12 Mei 2020 atau enam hari setelah pengambilan sampel.
”Karena itu, pada 14 Mei, kami berkoordinasi dengan pihak dinas kesehatan untuk menjemput ND, kembali ke RS,” ucapnya.
Setelah perawatan, ND kembali menjalani uji usap tenggorokan pada 26 Mei dan hasilnya negatif. Namun, pengambilan sampel keempat pada 27 Mei, hasilnya tak kunjung keluar.
Pemeriksaan sampel keempat itu mengalami kegagalan. ”Hasil sampel tidak diketahui, sampai akhirnya, kami melakukan pemeriksaan ulang. Itulah sebabnya kami belum berani memulangkan ND dan memutuskan untuk melakukan pemeriksaan ulang,” tuturnya.
Akhirnya, ND kembali menjalani uji usap tenggorokan pada 10 Juni dan 11 Juni. Hasilnya diketahui pada 14 Juni, yakni tidak ada lagi virus Covid-19 di tubuh ND. ”Setelah dua kali pengambilan sampel menunjukan hasil negatif, kami baru berani memulangkan ND,” kata Zaenab. Namun, setelah sembuh, ND harus tetap diisolasi selama 14 hari.
Zaenab mengatakan, lamanya perawatan ND di rumah sakit disebabkan pemeriksaan sampel di laboratorium PCR milik Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK) Palembang kala itu masih cukup lama. ”Kami tidak bisa berbuat banyak karena RSPP tidak memiliki laboratorium PCR. Kami masih bergantung pada hasil pemeriksaan dari BBLK Palembang, ” jelasnya.
Zaenab menerangkan, sebelum Juni, proses pemeriksaan sampel di Sumsel memang memakan waktu lebih dari seminggu. Namun, setelah Juni, waktu pemeriksaan berlangsung lebih cepat hanya tiga hari. Itulah sebabnya, sebelum Juni, rata-rata pasien Covid-19 menghabiskan waktu di RS sekitar 25 hari. ”Sekarang sudah bisa lebih cepat,” katanya. Untuk kasus ND dibutuhkan waktu perawatan hingga 32 hari.
Ketua Tim Penyakit Infeksi (TPI) Emerging RSUP Dr Mohammad Hoesin Palembang (RSMH) Zen Ahmad mengatakan, sebelum Juni, pemeriksaan di BBLK Palembang masih cukup lama. Itu karena belum ada laboratorium lain yang bisa melakukan pemeriksaan PCR.
Alhasil, terjadi penumpukan sampel di BBLK Palembang. Akibatnya, pasien pun lama dipulangkan. ”Dulu 60 tempat tidur yang tersedia di RSMH untuk pasien dalam pengawasan (PDP) selalu penuh karena lamanya hasil pemeriksaan,” ucapnya.
Namun, kini jumlah laboratorium sudah bertambah. Untuk di RSMH saja, sudah bisa memeriksa hingga 200 sampel per hari, belum lagi laboratorium PCR di RS Pusri dan RS Siti Fatimah Palembang yang mulai dioperasikan.
Dengan proses pemeriksaan yang cepat, pasien bisa lebih cepat tertangani. ”Itulah yang menyebabkan beberapa hari terakhir, angka kesembuhan terus meningkat,” kata Zen. Saat itu, jumlah yang dirawat di RSMH Palembang menurun hingga 40 persen.
Berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Sumatera Selatan, jumlah kasus positif Covid-19 di Sumsel sebanyak 1.448 orang. Dari jumlah tersebut, 708 kasus dinyatakan selesai. Kasus selesai terdiri dari 651 orang sembuh dan 57 orang meninggal. Adapun kasus yang masih aktif (masih dalam perawatan) sebanyak 740 orang.
Juru bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Sumatera Selatan, Yuwono, mengatakan, puncak Covid-19 di Sumsel sebenarnya sudah terlewati, yakni pada 14 Mei 2020 saat kasus positif terbanyak terjadi. Pada hari itu, ada penambahan 119 kasus positif di Sumsel. Namun, setelah Idul Fitri, pertambahan kasus cenderung lebih rendah.
Puncak covid-19 di Sumsel sebenarnya sudah terlewati, yakni pada 14 Mei 2020, saat kasus positif terbanyak terjadi.
Hanya saja, ungkap Yuwono, jangan sampai ada pelonggaran protokol kesehatan. Jika itu terjadi, bukan tidak mungkin kasus positif akan meningkat lagi. ”Jika terjadi pelonggaran protokol kesehatan, puncak penularan di Sumsel mungkin akan terjadi lagi pada pertengahan Juli 2020,” katanya.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sumsel R Muhammad Taufik Husni mengatakan, pemerintah seharusnya lebih serius dalam menangani pasien Covid-19 di Sumsel. Lambatnya pelayanan kesehatan bagi pasien harus dibenahi segera. ”Jika tidak, akan mengancam kesehatan pasien apalagi di usia rentan seperti anak balita atau orang lanjut usia” ucapnya.
YLKI menemukan beberapa kasus yang merugikan pasien, misalnya pelayanan laboratorium PCR yang masih sangat lama bahkan bisa lebih dari satu minggu. Ini bisa membuat pasien yang datang di RS dalam keadaan sehat akhirnya terjangkit karena risiko penularan di RS sangat tinggi.
Apabila pasien itu diisolasi di rumah, bisa saja mereka keluar dan beraktivitas dan sangat mungkin menularkan kepada orang lain. ”Saya masih menemukan banyaknya orang yang tidak menggunakan masker di tempat umum seperti di pasar dan pusat perbelanjaan,” katanya.
Taufik menilai harus ada beberapa langkah yang dilakukan pemerintah untuk membenahi permasalahan ini. Pertama adalah pembenahan sumber daya manusia, dalam hal ini tenaga kesehatan. ”Jumlah tenaga kesehatan harus ditambah, di sisi lain harus ada privilege yang diberikan mulai dari penghargaan atau mungkin insentif bagi mereka,” ujar Taufik.
Selain itu, perlu ada penambahan fasilitas kesehatan, mulai peralatan hingga pemenuhan alat pelindung diri (APD). ”Dengan penambahan fasilitas ini, baik pasien maupun tenaga kesehatan memiliki jaminan terhadap keselamatan mereka,” ucapnya. Di satu sisi pasien dapat segera tertangani, tenaga medis pun merasa terlindungi dan tidak terancam keselamatannya.
Ia menambahkan, perlu ada petunjuk teknis yang jelas terkait penanganan pasien Covid-19 sehingga pasien dapat merasa terlindungi. Jangan sampai ada pasien yang telantar akibat lamanya penanganan.
Menurut dia, sebelum semua hal itu terpenuhi, pemerintah jangan pernah melonggarkan protokol kesehatan dengan buru-buru menetapkan normal baru. ”Jangan sampai karena kebijakan yang terburu-buru, masyarakat menjadi terancam karena hidup sehat adalah hak mutlak semua warga,” ujarnya.