Pandemi Covid-19 meresahkan lingkungan pondok pesantren. Kini, di tengah persiapan menuju tatanan kehidupan normal baru, rasa rindu untuk kembali segera terobati dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.
Oleh
abdullah fikri ashri
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 meresahkan banyak orang, termasuk lingkungan pondok pesantren. Para santri menahan rindu karena harus berpisah dengan kamar, teman, dan guru di pesantren. Kini, di tengah persiapan menuju tatanan normal baru, rasa rindu kembali segera terobati. Namun, tanpa protokol kesehatan, ancaman Covid-19 bisa jadi nyata.
Di bawah terik mentari, Kamis (11/6/2020), sekitar 150 santri berkumpul di lapangan sepak bola Stadion Watubelah, tempat Covid-19 Center Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Mengenakan peci dan sarung, mereka tidak sedang menghadiri pengajian atau kegiatan hari besar Islam.
Para santri yang sebagian besar menumpang mobil bak terbuka sewaan itu datang mengikuti tes usap tenggorokan atau swab. Tes untuk mengidentifikasi virus korona baru penyebab Covid-19 itu menjadi syarat bagi santri sebelum kembali ke Pondok Pesantren Tanggir di Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Seharusnya, para santri kembali beraktivitas di pesantren akhir Mei lalu, pasca-Lebaran. Namun, pandemi Covid-19 mengharuskan mereka tinggal di daerah asal lebih lama. Akhir pekan ini, mereka harus pulang. Selain hasil tes usap yang menyatakan negatif Covid-19, santri juga harus membawa surat keterangan dari pemerintah desa untuk kembali ke pondok.
”Sebagai santri, kami manut aturan pemerintah soal protokol kesehatan, termasuk tes swab. Kami sudah kangen ngaji di pondok,” kata Agustian (22), pengurus sekaligus santri di Ponpes Tanggir. Selama 10 tahun menjadi santri, baru kali ini ia harus mengurus aneka persyaratan kesehatan sebelum kembali ke pondok.
Selama pandemi, lanjutnya, aktivitas di pesantren seperti mengaji tetap berjalan, tetapi terbatas untuk orang di sekitar pesantren. Padahal, jika Ramadhan, ada tradisi ngaji pasaran. Orang dari sejumlah daerah datang ke pesantren untuk ”belanja” ilmu. Saking ramainya, suasananya pun bak pasar.
Erdiamin (14), santri lainnya, juga kangen mengaji dan bermain dengan teman-temannya di pondok. ”Di rumah, saya main gim aja. Kadang ngaji di masjid dan bantu orangtua jualan kue di pasar,” kata warga Desa Tegalgubug, Kecamatan Arjawinangun, Cirebon, itu.
Meskipun menu makanan di pondok sederhana, seperti ikan teri, tempe, dan ayam dua kali sepekan, Erdiamin tetap rindu pesantren. Anak bungsu dari enam bersaudara ini menikmati belajar, bermain, hingga curhat dengan enam santri lainnya, teman sekamarnya. Suasana itulah yang ia rasakan setahun terakhir.
Alfin Nur Ma’ali (16), santri lainnya, juga merasa bosan di rumah. ”Kuota internet saya bisa habis 1 gigabyte sehari. Biasanya karena main gim. Mau ngaji online, guru dan kiai cuma punya handphone lama. Enggak ada videonya,” kata Alfin.
Kadang anak pertama dari tiga bersaudara ini membantu orangtuanya menjahit dan menjual bensin eceran. Masa pandemi Covid-19 juga membuatnya tidak leluasa keluar rumah dan bermain dengan teman sebayanya di kampung. Ia pun semakin kangen suasana pesantren, seperti makan bersama santri dan guru dalam satu nampan. Santri menyebutnya mayoran.
Kuota internet saya bisa habis 1 gigabyte sehari. Biasanya karena main gim. Mau ngaji online, guru dan kiai cuma punya handphone lama. Enggak ada videonya.
Alfin tidak tahu apakah kebiasaan itu masih akan berlangsung di tengah pembatasan jarak akibat pandemi. Namun, satu hal yang paling ia rindukan ialah cerita kiai dan guru terkait perjalanan para nabi. Salah satu yang masih ia ingat adalah kisah menangisnya pohon kurma.
Suatu hari saat akan menjadi khatib Shalat Jumat, Nabi Muhammad SAW dan para sahabat mendengar suara tangisan. ”Setelah dicari, ternyata mimbar yang terbuat dari pohon kurma menangis. Dia sedih karena Nabi menggunakan mimbar lainnya. Nabi membujuknya dan bilang kalau mimbar pohon kurma itu sudah berguna selama ini,” kata Alfin.
Bagi Alfin, kisah pohon kurma menangis itu tidak hanya bercerita tentang mendekatkan diri kepada Rasulullah, tetapi juga ajaran untuk tetap bermanfaat. ”Saya mau jadi pengajar di pondok pesantren di samping rumah di Cirebon,” kata Alfin yang putus sekolah pada kelas VIII sekolah menengah pertama dan sederajat.
Itu sebabnya Alfin ingin segera kembali ke pondok pesantren di Tuban. Seperti santri lainnya, ia tidak khawatir dengan ancaman penyebaran Covid-19 karena santri menjalani tes usap sebelum ke pondok. ”Rasanya geli, kayak mau bersin,” ucapnya soal tes usap.
Bupati Cirebon Imron Rosyadi mengatakan, para santri yang akan kembali ke pesantren di dalam dan luar Cirebon harus memiliki surat keterangan sehat dan tidak terpapar Covid-19. Itu sebabnya dibutuhkan tes.
Pihaknya menyiapkan 500 alat tes usap dan 15.000 tes cepat gratis untuk santri. Terdapat 632 pondok pesantren dan sekitar 20.000 santri di Cirebon. Namun, hanya warga Cirebon yang akan mendapatkan fasilitas tes usap dan tes cepat.
”Kalau masih dibutuhkan, nanti kami tambah alat tesnya. Lebih baik kami temukan kasus Covid-19 dengan tes daripada tidak sama sekali,” ujarnya.
Pihaknya juga telah berkomunikasi dengan para kiai dan pengasuh pondok pesantren terkait tes massal itu. Hingga Minggu (14/6/2020) malam, hasil pemeriksaan 127 sampel usap santri menunjukkan negatif Covid-19.
Cirebon menyiapkan 500 alat tes usap dan 15.000 tes cepat gratis untuk santri. Terdapat 632 pondok pesantren dan sekitar 20.000 santri di Cirebon.
Wakil Gubernur Jabar Uu Ruzhanul Ulum memberi lampu hijau untuk pondok pesantren beroperasi kembali. Namun, santri luar Jabar belum diperbolehkan datang. Pesantren, kata dia, harus punya prosedur standar operasi (SOP) terkait pencegahan Covid-19. Prosedur itu, di antaranya membuat ruangan isolasi, mengenakan masker, serta menyediakan tempat cuci tangan dan memberikan vitamin kepada santri. Menurut rencana, SOP itu rampung Senin (15/6/2020).
”Semua pesantren yang ingin membuka (aktivitasnya) harus membuat pernyataan melaksanakan SOP itu,” katanya. Pesantren juga harus membuat tim gugus tugas Covid-19 internal. Pihaknya akan memberikan bantuan meskipun tidak akan memenuhi seluruh kebutuhan pesantren. Apalagi, di Jabar, terdapat hampir 10.000 pesantren dan sekitar 500.000 santri.
Pemerintah daerah juga diharapkan memfasilitasi santri terkait surat keterangan sehat dan tes usap atau tes cepat. ”Kalau mau kembali ke pesantren, anak saya harus punya surat keterangan sehat dan tes swab. Katanya, harga tesnya bisa lebih dari Rp 1 juta. Saya enggak bisa bayar kalau begitu,” ujar Ermiyati (50), orangtua santri asal Kabupaten Indramayu.
Di tengah rencana pembukaan pondok pesantren saat pandemi, para santri dan kiai diharapkan mengadaptasi kebiasaan baru. Bupati Imron mengingatkan, penerapan protokol kesehatan di pesantren membuat santri belajar dan mengaji dengan tenang.
”Agama itu membawa ketenangan, bukan keresahan. Santri harus mengamalkan ini,” kata Imron disambut sorakan santri.