Reklamasi Tak Dilakukan, Lubang Bekas Tambang di Kalsel Makan Korban
Sebuah lubang bekas tambang batubara yang belum direhabilitasi di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, memakan korban jiwa. Pembiaran semacam itu tak hanya merusak lingkungan, tetapi juga berisiko merenggut korban lain.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·4 menit baca
BANJARBARU, KOMPAS — Sebuah lubang bekas tambang batubara yang dibiarkan menganga di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, memakan korban jiwa. Pembiaran semacam itu tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga berpotensi merenggut korban-korban lain.
Minggu (14/6/2020), Kaspul (45), seorang warga Desa Pakutik, Kecamatan Sungai Pinang, Banjar, ditemukan tewas mengapung di lubang bekas tambang batubara di daerah setempat. Korban dilaporkan tenggelam dua hari sebelumnya saat memancing bersama temannya.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan Kisworo Dwi Cahyono, Senin (15/6/2020), mengatakan, pihaknya sudah memeriksa peta izin tambang di wilayah Kalsel untuk memastikan lokasi korban tenggelam. Melalui penelusuran, diketahui titik koordinat lubang tersebut berada di wilayah konsesi perusahaan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) berstatus operasi produksi.
”Perusahaan itu harus bertanggung jawab atas korban yang mati tenggelam dan menutup lubang tambang miliknya. Pemerintah juga harus mengutamakan keselamatan rakyat dengan memastikan perusahaan mematuhi peraturan yang berlaku,” kata Kisworo di Banjarbaru, Senin.
Melalui peta citra satelit Google Earth 2018, ditemukan genangan air asam tambang seluas 20 hektar dari lubang dengan panjang 963 meter dan keliling 2.243 meter. ”Pada citra satelit, terpantau lubang tambang itu memang sudah ditinggalkan tanpa ditutup,” ujarnya.
Menurut Kisworo, lubang tambang tersebut berimpitan dengan sungai, bahkan menyatu di beberapa sisinya. Hal itu jelas bertentangan dengan regulasi yang mengatur perlindungan sempadan sungai sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai. Sempadan sungai yang berfungsi untuk konservasi tidak seharusnya ditambang.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi Pascatambang, perusahaan tambang seharusnya menutup lubang tambang setelah melakukan pengerukan. ”Namun, adanya kubangan air asam tambang sepanjang hampir 1 kilometer itu menunjukkan bahwa tindakan reklamasi tidak dilakukan sepenuhnya sehingga memakan korban,” ujar Kisworo.
Berdasarkan data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kalsel, luas bukaan tambang atau lahan terganggu di Kalsel 58.043,82 hektar. Rinciannya, bukaan seluas 47.575,74 hektar (82 persen) dilakukan oleh perusahaan pemegang PKP2B dan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) penanaman modal asing (PMA) yang memperoleh izin dari pemerintah pusat.
Selanjutnya, bukaan seluas 10.468,08 hektar (18 persen) dilakukan perusahaan pemegang IUP yang memperoleh perizinan dari pemerintah daerah. Sampai saat ini, luas area tambang yang sudah direklamasi sebesar 29.831,11 hektar. Area seluas 25.201,98 hektar direklamasi oleh perusahaan PKP2B dan IUP PMA, sedangkan area seluas 4.629,13 hektar direklamasi perusahaan pemegang IUP dari pemda.
Untuk area bekas tambang yang masa berlaku IUP-nya telah berakhir, kami terus memberikan surat peringatan agar segera melakukan kewajiban reklamasi sesuai ketentuan.
Terkait lubang-lubang bekas tambang, Kepala Bidang Mineral dan Batubara Dinas ESDM Kalsel Gunawan Harjito mengakui, sebagian area tersebut memang belum direklamasi. Hal itu bisa jadi karena secara ekonomis, masih terdapat potensi cadangan batubara yang dapat diambil (coal getting) dari area bekas penambangan tersebut.
”Untuk area bekas tambang yang masa berlaku IUP-nya telah berakhir, kami terus memberikan surat peringatan agar segera melakukan kewajiban reklamasi sesuai ketentuan. Bentuk reklamasinya adalah dengan melaksanakan penataan pada area lahan terganggu dan melaksanakan revegetasi pada lahan yang telah ditata,” kata Gunawan.
Manajer Kampanye Walhi Kalsel Muhammad Jefry Raharja menambahkan, lubang tambang yang mengandung air asam membahayakan kehidupan. Jika dilepas ke sungai, air asam tambang yang mengandung logam berat berbahaya akan mencemari ekosistem air yang pada akhirnya juga berdampak buruk bagi manusia. Ada banyak kasus anak lahir cacat akibat ibunya bersentuhan dengan air tercemar logam berat.
”Peristiwa seperti itu bisa terjadi lagi mengingat di Kalsel masih banyak lubang bekas tambang dan izin tambang. Sejumlah lubang dan izin tambang bahkan berada di dekat permukiman dan fasilitas umum, yang membuat jarak aktivitas warga makin dekat dengan lubang tambang yang mematikan itu,” katanya.
Walhi mencatat, di Kalsel setidaknya ada 814 lubang tambang yang tersebar di delapan kabupaten. Kabupaten Banjar memiliki 117 lubang tambang sehingga menjadi urutan ketiga terbanyak setelah Tanah Bumbu (264 lubang) dan Tanah Laut (223 lubang).
Jefry mengatakan, lubang-lubang itu ada yang berada di dalam ataupun di luar area konsesi. Setidaknya, ada 638 lubang berada di 123 konsesi. Artinya, ada 176 lubang di luar konsesi yang diduga adalah pertambangan ilegal atau pertambangan tanpa izin.