Peribadatan di NTT Diselaraskan dengan Normal Baru
Nusa Tenggara Timur menetapkan, Senin (15/6/2020), sebagai permulaan normal baru dalam masa wabah Covid-19 akibat virus korona jenis baru atau SARS-CoV-2.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Nusa Tenggara Timur menetapkan, Senin (15/6/2020), sebagai permulaan normal baru dalam masa wabah Covid-19 akibat virus korona jenis baru atau SARS-CoV-2. Para pemuka agama membuat penyesuaian dalam kegiatan peribadatan dengan mengutamakan protokol kesehatan untuk melindungi umat dari ancaman penularan Covid-19.
Peribadatan di setiap lembaga keagamaan di NTT berbeda. Umat Islam sudah melaksanakan peribadatan, yakni shalat berjemaah pada Jumat (5/6/2020). Jemaat Kristen mulai beribadah di gereja pada Minggu (14/6/2020). Namun, Otoritas Katolik akan mengadakan peribadatan di gereja pada Juli 2020.
Menurut Ketua Majelis Indonesia (MUI) NTT Abdul Kadir Makarim di Kupang, umat Islam diberi kesempatan untuk melaksanakan shalat berjemaah lebih awal daripada permulaan normal baru. Hal ini merujuk pada Fatwa MUI Nomor 31 Tahun 2020 bertanggal 4 Juni 2020.
”Fatwa itu menyebutkan shalat Jumat berjemaah dilaksanakan dengan memperhatikan protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah,” ujar Abdul Kadir. MUI NTT menindaklanjuti fatwa itu dengan menerbitkan surat Nomor 287/DP-P/MUINTT/IV/2020 tentang shalat Jumat dan normalisasi aktivitas masjid per 5 Juni 2020.
Khotbah dipersingkat dan tertulis tanpa bernyanyi. Waktu misa yang rata-rata 90 menit dipersingkat menjadi 60 menit.
Saat shalat, jemaah harus mengikuti protokol kesehatan, terutama jaga jarak fisik (shaf), bermasker, dan pengurus masjid mengurangi kapasitas menjadi separuhnya (dari daya tampung 100 menjadi maksimal 50 orang). Pengurangan daya tampung membuat kalangan pengurus masjid mengadakan shalat Jumat dua kali pada hari itu.
Adapun Ketua Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Pendeta Mery Kolimon mengatakan, pihaknya telah menerbitkan surat keputusan Nomor 478/GMIT/I/F/Mei/2020 bertanggal 28 Mei 2020 tentang imbauan pelaksanaan ibadah bersama di gereja.
Dalam surat ini, peribadatan di gereja bisa diberlakukan sejak Minggu (14/6/2020). Namun, dari pantauan Kompas di sejumlah gereja cabang GMIT di Naimata, Penfui, Lilibia di Kupang, Minggu, peribadatan bersama di gereja belum berlangsung. Gedung masih sepi dari kedatangan jemaat.
Boleh memilih
Mery mengatakan, keputusan untuk membolehkan pengadaan peribadatan di gereja sejak Minggu itu mengacu pada Keputusan Pemprov NTT tentang pelaksanaan normal baru yang dimulai pada Senin (15/6/2020).
Pelaksanaan normal baru dalam hal peribadatan juga berlaku bagi seluruh demoninasi gereja Kristen Protestan di daerah ini. Meski demikian, kalangan pendeta dan jemaat boleh memilih apakah beribadah bersama di gereja atau melalui peribadatan dalam jaringan internet.
”Saya mengimbau seluruh umat dan pendeta GMIT agar sungguh-sungguh disiplin menerapkan protokol kesehatan saat peribadatan di dalam dan di luar gereja,” kata Mery Kolimon. Jaga jarak, selalu bersih, tidak berpegangan tangan, dan bermasker amat penting untuk mencegah potensi penularan Covid-19 dari orang tanpa gejala tetapi terindikasi sakit.
Peribadatan dalam masa pandemi juga perlu penyesuaian. Kidung pujian oleh paduan suara atau koor ditiadakan sementara waktu karena mewajibkan umat harus berkumpul untuk melakukan latihan bersama. Latihan bernyanyi bersama sangat sulit ditempuh jika anggota paduan suara memakai masker. Jemaat menyanyikan puji-pujian yang sudah diketahui secara umum.
Keuskupan Agung Kupang (KAK) dengan luas wilayah pelayanan enam kabupaten di NTT memutuskan peribadatan bersama dimulai pada Rabu (1/7/2020).
Menurut Uskup Agung Kupang Mgr Petrus Turang, dalam pedoman pastoral yang telah diterbitkannya menyebutkan, jarak antarumat nantinya dalam peribadatan minimal 1 meter, tidak boleh berpegangan tangan saat prosesi salam damai, dan umat harus bermasker selama ibadah. Gereja sebelum dan setelah ibadah disemprot dengan disinfektan.
Monsinyur Turang mengatakan, prosesi terutama dalam peribadatan Katolik, yakni penerimaan komuni yang melambangkan tubuh dan darah Tuhan juga harus dilaksanakan dengan jaga jarak. Komuni diterimakan oleh umat dengan memakai tangan, tetapi tidak boleh memakai sarung tangan. Di NTT masih terpelihara tradisi penerimaan komuni yang diletakkan di mulut umat oleh pastor atau uskup yang memimpin misa atau asisten imam.
”Khotbah dipersingkat dan tertulis tanpa bernyanyi. Waktu misa yang rata-rata 90 menit dipersingkat menjadi 60 menit,” kata Uskup Agung Kupang. Misa di rumah-rumah keluarga dan seminari-seminari ditiadakan. Jika ada umat meninggal, hanya dilakukan pemberkatan jenazah tanpa misa arwah dan yang boleh hadir hanya anggota keluarga terdekat.
Anggota DPRD NTT, Leo Lole, mengatakan, semua tokoh agama sebaiknya membuat pertemuan secara online atau dalam jaringan internet untuk sosialisasi jadwal pelaksanaan ibadah. Pertemuan dimaksud amat penting untuk memelihara silaturahmi dan persaudaraan di masa sulit ini.
”Kami berharap semua tokoh agama dan pengurus rumah ibadah benar-benar tegas dan menjaga kedisiplinan umat agar menerapkan protokol kesehatan,” ujar Lole.
Umat yang melanggar atau mengabaikan protokol kesehatan, misalnya, tidak bermasker harus diminta pulang atau setidaknya diperkenankan ikut ibadah jika benar-benar sudah melengkapi diri dengan protokol kesehatan dan lolos pemeriksaan suhu tubuh.
Lole berharap umat nantinya selamat beribadah tetap bermasker. Masker sangat penting untuk mencegah potensi penularan Covid-19 melalui cipratan cairan tubuh (droplet). Selama beribadah, karena berucap dan beryanyi, potensi cipratan ke mana-mana akan banyak sehingga betapa pentingnya memakai masker. Antarumat harus saling mengingatkan jika ada yang mencopot masker.