Jatuhnya Pesawat Tempur dan Trauma Jurnalis di Pekanbaru
Kejadian jatuhnya pesawat tempur di Riau meninggalkan jejak trauma di kalangan jurnalis. Banyak jurnalis yang masih teringat kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI AU pada kejadian sama pada tahun 2012.
Oleh
SYAHNAN RANGKUTI
·5 menit baca
Suasana Senin (15/6/2020) pagi di Perumahan Mutiara Sialang Indah, Kubang Raya, Kampar, Riau sangat cerah. Langit terlihat biru dengan sedikit awan. Embun mulai menguap karena matahari sudah naik di ufuk timur beberapa jam sebelumnya.
Tiba-tiba keheningan pagi dipecahkan dengan suara bergemuruh deru mesin pesawat tempur yang lewat di angkasa. Dua pesawat sudah melintas di atas rumah warga yang berjarak sekitar 5 kilometer dari Bandara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru.
”Tidak ada yang aneh dengan suara bising pesawat tempur di sini. Setiap hari kami mendengar suara pesawat yang naik atau turun di bandara (Pangkalan TNI AU Roesmin Nurjadin, Pekanbaru). Rumah kami dekat dengan bandara. Tetapi, tadi pagi, setelah dua pesawat (tempur) lewat, kami mendengar bunyi ledakan sangat keras di angkasa. Saya yang sedang berada di luar rumah melihat sebuah pesawat menukik turun dengan bola api besar di belakangnya,” kata Hansardi (52), warga Perumahan Mutiara Sialang Indah di depan rumahnya, Senin siang.
Hansardi melanjutkan ceritanya, pesawat itu meluncur sangat cepat ke arah perumahan. Pesawat itu kemudian menabrak dua rumah yang berdempetan. Satu rumah berupa bangunan bertingkat dua dan satu lainnya rumah tipe 36 meter persegi. Belakangan, rumah kedua itu diketahui milik keluarga Roni Tuah (31), juru kamera kontributor Trans7 di Pekanbaru.
Bagian atas kedua rumah itu hancur ditabrak ekor pesawat yang kemudian terjatuh di badan jalan di tengah pemukiman warga. Api berkobar besar membakar badan pesawat.
Di belakang kompleks perumahan yang sama, Arif (59), warga lainnya, melihat sebuah benda yang terlontar ke angkasa sesaat setelah terdengar ledakan. Benda itu kemudian mengembang dan berbentuk seperti payung. Ternyata, pilot pesawat tempur berhasil menyelamatkan diri dengan menggunakan kursi pelontar otomatis dari badan pesawat sebelum jatuh ke bumi.
Arif melihat seorang pilot dengan seragam lengkap jatuh di belakang kompleks perumahan. Arif dan beberapa warga lainnya bergegas menolong pilot itu untuk bangkit dan dibawa ke salah satu rumah warga. Pilot itu adalah Letnan Satu Pnb Apriyanto Ismail.
Kursi pelontar jatuh di tengah permukiman, sekitar 100 meter dari lokasi pilot turun. Kursi menimpa atap rumah keluarga Dewi (31), meluncur menembus plafon dan terjatuh di rumah tamu.
”Kami sangat terkejut mendengar suara ledakan di atas rumah. Kami melihat plafon ruang tamu jebol ke atap. Untungnya kami semua sedang berada di belakang, tidak di ruang tamu,” kata Dewi yang memiliki bayi berusia dua bulan.
Kejadian beruntun di tengah perumahan yang cukup ramai itu tidak menimbulkan korban jiwa. Dua rumah yang disambar ekor pesawat dalam kondisi kosong.
”Kami sekeluarga tidak tinggal di rumah itu lagi. Selama ini rumah itu kami sewakan. Namun, penyewanya baru saja keluar. Rumah yang di sebelah kami yang rusak karena ditabrak pesawat itu juga dalam kondisi kosong,” kata Roni.
Menurut Roni, sesaat setelah kejadian, salah seorang tetangganya memberi informasi kejadian itu kepada keluarganya. Roni pun bergegas datang. Sesampainya di kompleks perumahannya, ia diadang oleh beberapa petugas berseragam TNI. Setelah menjelaskan bahwa ia pemilik rumah, petugas mempersilakannya masuk.
”Saya sempat mau merekam kerusakan di rumah saya, tetapi dilarang oleh seorang petugas. Ketika saya mengeluarkan HP, petugas itu langsung mengatakan tidak boleh mengambil gambar,” kata Roni.
Masih soal rekaman, seorang perempuan yang merekam turunnya pilot menggunakan parasut dari kursi pelontar sampai mendarat di tanah juga mendapat ancaman petugas. Perempuan itu, sebut saja namanya Ida, diperintahkan tidak boleh menyebarkan gambar pilot yang direkamnya.
”Kalau rekaman itu beredar, kami tahu dari mana sumbernya,” kata Ida menirukan ancaman seorang petugas yang mendatangi rumahnya.
Bagi beberapa awak media di Pekanbaru, jatuhnya pesawat tempur TNI AU di sekitar Lanud Roesmin Nurjadin, Pekanbaru, kembali mengingatkan pada trauma lama yang sangat membekas di ingatan. Kebanyakan jurnalis masih teringat kejadian serupa pada tahun 2012, tepatnya pada 16 Oktober 2012, tatkala sebuah pesawat tempur Hawk 200 jatuh di Desa Tanah Merah, Kampar Kiri Hulu (berjarak sekitar 3 kilometer dari lokasi jatuhnya pesawat di Perumahan Mutiara Sialang Indah).
Pada kejadian tahun 2012 itu, petugas TNI AU bertindak sangat kasar dan anarkistis terhadap awak media. Dua wartawan dianiaya karena mengabadikan pesawat yang jatuh. Seorang pelaku penganiayaan terhadap wartawan mendapat hukuman penjara di peradilan militer. Namun, ”kekejaman aparat” yang terjadi pada delapan tahun itu belum hilang dari ingatan.
Malas berhubungan dengan petugas lapangan yang tidak bisa kompromi dengan tugas jurnalistik.
Andika, Oki Sulistio, Devi, Azwar, termasuk Kompas, yang merupakan ”alumni” kejadian 2012 berkumpul di lokasi. Dari diskusi ringan, diperoleh kesimpulan bahwa aparat TNI AU yang berjaga di lokasi kejadian masih tidak mau tahu terhadap tugas wartawan, tetapi mereka tidak lagi bertindak keras apalagi sampai memukul atau menganiaya jurnalis.
”Saya sebenarnya membawa drone untuk merekam kejadian, tetapi tidak jadi saya pakai karena di lokasi petugas melarang mengambil foto memakai kamera. Kalau memakai kamera saja tidak dibolehkan, apalagi memakai drone. Malas berhubungan dengan petugas lapangan yang tidak bisa kompromi dengan tugas jurnalistik,” kata Devi, seorang fotografer koran lokal di Pekanbaru.
Memang sudah terjadi perubahan sikap aparat TNI AU Lanud Roesmin Nurjadin Pekanbaru di lapangan. Kepala Penerangan Pangkalan TNI Roesmin Nurjadin Pekanbaru Letnan Kolonel Zukri T merespons pertanyaan wartawan dengan meminta wartawan mendapatkan informasi dari satu pintu.
Namun, wartawan masih saja tidak mendapat akses memadai untuk melakukan tugas jurnalistik. Padahal, informasi foto dan video yang beredar di media sosial dari rekaman warga sudah mengisi jagat dunia maya.