James Watt dan Dilik dinyatakan bersalah mencuri buah tandan kelapa sawit milik perusahaan di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Yakin tak bersalah, James Waat dan Dilik berencana banding.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
HABIBI SAVE OUR BORNEO
Situasi persidangan daring di Polres Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, Senin (15/6/2020).
PALANGKARAYA, KOMPAS — James Watt dan Dilik dinyatakan bersalah mencuri buah tandan kelapa sawit milik perusahaan di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Yakin tak bersalah, James Waat dan Dilik berencana banding.
Persidangan ke-12 kasus pidana pencurian itu dilaksanakan daring oleh Pengadilan Negeri Sampit, Kotawaringin Timur, Senin (15/6/2020). Hakim berada di pengadilan, sedangkan dua terdakwa di Polres Kotawaringin Timur. Puluhan warga Desa Penyang ikut datang ke Polres Kutawaringin Timur. Mereka melakukan aksi meminta James Watt dan Dilik dibebaskan.
Dalam persidangan itu, hakim ketua AF Joko Sutrisno menghukum Dilik 8 bulan penjara dan denda Rp 5.000, sedangkan James Watt dihukum 10 bulan penjara dengan jumlah denda yang sama dengan Dilik.
Hakim melihat Dilik terbukti menerima upah dari (alm) Hermanus untuk mencuri. Adapun James Watt terbukti membuat surat pemberitahuan aksi pemanenan ke polisi dan pihak perusahaan perkebunan sawit, yakni PT Hamparan Massawit Bangun Persada (HMBP) II. Hakim menilai surat itu sebagai bentuk perintah James Watt untuk memanen atau mencuri.
Aksi damai yang dilakukan warga Desa Penyang di depan Pengadilan Negeri Sampit, Kotawaringin Timur, Kalteng, Senin (15/6/2020).
Hakim juga mempertimbangkan hak guna usaha (HGU) milik perusahaan sebagai lokasi tempat kedua terdakwa melakukan pencurian. Salah satu pertimbangan yang memberatkan kedua terdakwa adalah karena keduanya tidak mengakui perbuatan pencurian tersebut.
Penasihat hukum kedua terdakwa, Bama Adiyanto, mengungkapkan, hakim betul-betul menganggap persoalan itu murni pidana pencurian. Padahal, dalam persidangan sebelumnya, pihaknya menunjukkan lokasi tempat mereka memanen sawit, yang dianggap mencuri, bukan milik PT HMBP II.
”Putusan ini membuktikan kedua terdakwa dituduh mencuri di ladang sendiri. Lokasi itu jelas berada di luar HGU perusahaan dan milik masyarakat, justru perusahaan yang salah sudah menanam di lokasi itu,” kata Bama.
Bama menjelaskan, selama persidangan, jaksa penuntut umum (JPU) yang dipimpin Rahmi Amalia dari Kejaksaan Negeri Kotawaringin Timur tidak bisa membuktikan lokasi tempat mereka mencuri adalah milik perusahaan sawit itu atau si pelapor. Bahkan, saat penasihat hukum meminta bukti HGU, baik pelapor maupun JPU tidak bisa memenuhinya.
BAMA ADIYANTO
Jenazah Hermanus bin Bison (36) didoakan oleh keluarganya di Desa Penyang, Kotawaringin Timur, Minggu (26/4/2020).
”Dari delapan saksi dan dua saksi ahli kami, hanya empat saksi yang keterangannya digunakan. Itu pun untuk memberatkan terdakwa,” ujar Bama.
Bama menambahkan, dalam sidang putusan tersebut, hakim juga menyebutkan pembuktian dari penasihat hukum merupakan bentuk perkara perdata atau soal sengeketa lahan. Hakim meminta agar hukum perkara perdata bisa digunakan di jalur perdata, bukan pidana.
”Kami akan ajukan banding dan gugatan perdata setelah mendapatkan persetujuan warga Desa Penyang,” kata Bama. Bama, yang tergabung dalam Koalisi Keadilan untuk Pejuang Lingkungan dan Agraria Desa Penyang, saat ini sedang berunding dengan warga Desa Penyang untuk melakukan langkah hukum selanjutnya.
DEDI SUSANTO
Proses pemortalan jalan di lokasi milik perusahaan oleh perusahaan perkebunan di Kotawaringin Timur, Kalteng, Selasa (18/2/2020).
James Watt saat dihubungi mengatakan, dirinya tidak bersalah dan akan banding. ”Tapi perjuangan ini bukan milik saya saja, ini milik Desa Penyang jadi saya meminta persetujuan mereka dulu untuk langkah selanjutnya,” katanya.
Pakar hukum agraria dari Universitas Andalas, Kurnia Warman, menjelaskan, dalam persidangan, tidak ada satu pun bukti yang diperlihatkan saksi dari JPU terkait kepemilikan lahan di lokasi mereka memanen. Harusnya, hal itu menjadi pertimbangan penting hakim untuk bisa membebaskan kedua terdakwa.
”Itu (putusan hakim) sangat di luar dugaan. Dari awal pidana pencurian itu sudah tidak memenuhi unsur,” kata Kurnia.
Kurnia pun menjelaskan dalam diskusi daring sebelumnya yang dilaksanakan oleh Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) Kalimantan bersama Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Sabtu (13/6/2020), kedua terdakwa merupakan korban kriminalisasi.
Itu (putusan hakim) sangat di luar dugaan. Dari awal pidana pencurian itu sudah tidak memenuhi unsur.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Hutan milik masyarakat Laman Kinipan yang dikeruk perusahaan perkebunan sawit yang hingga kini menimbulkan konflik antara warga, pemerintah, dan perusahaan perkebunan.
Kurnia menjelaskan bahwa Undang-Undang Perkebunan yang digunakan JPU seharusnya justru mendera perusahaan. Alasannya, dalam UU itu tindakan perusahaan menanam atau membuat kebun di atas lahan milik masyarakat tanpa persetujuan masyarakat, dalam hal ini masyarakat adat, adalah pelanggaran.
Saat dikonfirmasi sebelumnya oleh Kompas, Manajer Legal PT HMBP II Wahyu Bimo mengungkapkan, seharusnya sudah tidak ada masalah antara perusahaan dan masyarakat. Pihaknya sudah melakukan mediasi bersama pemerintah daerah dan juga perwakilan masyarakat.
”Lahan itu memang diproyeksikan untuk membangun kebun plasma, koperasinya juga sudah ada, yang tergabung dalam penolakan, termasuk yang melakukan pemanenan itu bukan bagian dari koperasi untuk plasma,” kata Bimo.
Bimo menjelaskan, untuk kasus yang sedang dijalani James Watt dan dua warga lainnya merupakan pidana yang sepenuhnya diserahkan ke penegak hukum. Namun, pihaknya membuka kesempatan agar semua warga bisa bergabung dalam koperasi dan mengelola plasma.
”Semua kejanggalan yang diungkap di persidangan itu, kan, proses hukum yang sepenuhnya jadi wewenang para hakim,” kata Wahyu.