Bangun Komunikasi dengan Pedagang Pasar Mardika Ambon
Pedagang Pasar Mardika, Kota Ambon, Maluku, menolak sejumlah kebijakan pemerintah kota terkait penanganan Covid-19 di Ambon. Mereka berunjuk rasa di Balai Kota Ambon pada Senin (15/6/2020).
Oleh
FRANS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Pedagang Pasar Mardika, Kota Ambon, Maluku, menolak sejumlah kebijakan pemerintah kota terkait penanganan Covid-19 di Ambon. Penolakan itu membuat penanganan pandemi terganggu. Pemerintah perlu membangun komunikasi yang baik dengan pihak pedagang agar terjadi kesepakatan bersama dan mencegah gerakan penolakan lebih besar lagi.
Penolakan ini dilakukan dengan berunjuk rasa di Balai Kota Ambon pada Senin (15/6/2020), yang diikuti lebih dari 100 orang, kebanyakan kaum ibu. Para pedagang yang diorganisasi oleh salah satu organisasi kemahasiswaan itu berjalan kaki dari pasar menuju balai kota. Mereka berjalan sambil berteriak dengan membawa poster berisi protes kepada pemerintah.
Tiba di depan Balai Kota Ambon, mereka terus berteriak sambil menggedor gerbang. Petugas keamanan tak bisa menghalau sehingga mereka menerobos masuk ke halaman Balai Kota. Banyak dari mereka tidak mengenakan masker di tengah kerumunan itu. Mereka pun tak peduli saat diingatkan petugas agar mengenakan masker.
Di halaman Balai Kota itu mereka berorasi. ”Kenapa waktu jualan di pasar dibatasi sampai pukul empat sore, sedangkan minimarket dibuka terus selama 24 jam? Ini tidak adil bagi kami. Kami minta tidak boleh ada pembatasan karena kalau dibatasi, kami tidak punya penghasilan. Keluarga kami makan apa?” kata Nur (34), penjual sayur.
Pemerintah Kota Ambon memberlakukan kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat (PKM) sejak 8 Juni lalu. Pembatasan itu meliputi pergerakan orang, aktivitas ekonomi, dan moda transportasi. Khusus aktivitas ekonomi, operasional pasar tradisional dibatasi hanya sampai pukul 16.00 WIT. Pedagang yang berjualan pun menggunakan sistem ganjil-genap. Kebijakan itu ditolak pedagang.
Dalam aksi tersebut, para pedagang juga menolak jika dipindahkan sementara ke sejumlah pasar lain dengan alasan pembangunan Pasar Mardika. Lokasi pemindahan itu berada sekitar 15 kilometer dari Mardika. ”Kami tidak mau pindah. Kenapa tidak digeser ke lokasi terdekat saja?” kata Nurdin, pedagang lain. Lokasi dimaksud adalah pesisir pantai dekat pasar.
Perwakilan massa kemudian diterima Sekretaris Kota Ambon AG Latuheru. Pertemuan itu pun digelar tertutup. Hingga pukul 20.30 WIT, belum ada keterangan resmi dari pemerintah kota terkait aksi tersebut. Juru bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Ambon, Joy Adriaansz, yang dihubungi berulang kali tidak merespons.
Pada Sabtu pekan lalu, Joy yang juga Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Ambon itu menjelaskan, Pemkot Ambon terus membangun komunikasi dengan para pedagang pasar. Menurut dia, pembatasan kegiatan di pasar diperlukan lantaran pasar menjadi salah satu kluster penyebaran Covid-19. Puluhan orang di pasar positif. Salah satu puskesmas yang berada di dalam kompleks pasar itu pun ditutup.
Penolakan pedagang di pasar bukan hanya terjadi saat pembatasan yang akan berakhir pekan depan itu. Puluhan pedagang yang berdasarkan tes cepat Covid-19 menunjukkan hasil reaktif juga pernah menolak dikarantina.
Terkait pemindahan sementara pedagang ke sejumlah tempat yang sudah disiapkan, Joy mengatakan, hal itu tetap dilakukan. Pemerintah kota akan mendirikan bangunan baru di pasar itu. Anggaran pembangunannya bersumber dari pemerintah pusat yang sudah disetujui sejak tahun lalu. Itu menjadi prioritas pembangunan tahun ini.
Pemerhati masalah sosial dari Universitas Pattimura, Ambon, Josef Antonius Ufi, menilai, ada komunikasi yang putus antara pemerintah dan para pedagang di pasar. Jika dipaksakan, akan terjadi letupan aksi penolakan yang lebih besar lagi. Pemerintah diminta membangun komunikasi dengan simpul-simpul penting di pasar. ”Tanya maunya pedagang seperti apa. Coba dialog dan ambil jalan tengah,” katanya.
Menurut dia, di tengah situasi pandemi seperti saat ini, masyarakat mengalami tekanan sosial dan ekonomi yang tidak ringan. Banyak dari mereka kesulitan mendapatkan penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi tersebut bisa dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk memperkeruh suasana.