Laju ekspor bunga melati dari Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, terganggu pandemi Covid-19. Potensi pendapatan yang hilang dari petani dan eksportir melati mencapai ratusan juta rupiah.
Oleh
KRISTI UTAMI
·3 menit baca
SLAWI, KOMPAS — Laju ekspor bunga melati dari Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, terganggu pandemi Covid-19. Potensi pendapatan yang hilang dari petani dan eksportir melati mencapai ratusan juta rupiah.
Balai Karantina Pertanian Kelas I Semarang mencatat, jumlah ekspor melati Tegal pada periode Januari-Juni 2020 lebih sedikit dibandingkan periode sama tahun lalu. Pada Januari-Juni 2020, jumlah melati yang diekspor 515 ton. Periode yang sama setahun lalu, jumlah ekspor melati 684,6 ton.
Sejak tiga bulan terakhir, ekspor melati ke sejumlah negara, seperti Malaysia, Singapura, Arab Saudi, dan Thailand, memang terhenti. Pembatasan penerbangan di Indonesia dan negara-negara tujuan ekspor jadi penyebabnya. Pembatasan itu membuat tarif angkut melati melambung hingga tiga kali lipat. Akibatnya, pengimpor enggan mengajukan permintaan melati.
Nurohman (37), petani sekaligus eksportir melati dari Kecamatan Lebaksiu, Kabupaten Tegal, mengatakan, kehilangan potensi pendapatan hingga Rp 250 juta per bulan akibat terhentinya ekspor melati sejak Maret lalu. Padahal, mayoritas hasil panen melati milik Nurohman dijual untuk pasar ekspor.
”Kalau ekspor rutin, biasanya ke Malaysia, setidaknya 1 ton per minggu. Kalau sedang ramai permintaan seperti November-Januari, saya bisa ekspor sampai 35 ton per minggu,” kata Nurohman di Tegal, Minggu (14/6/2020).
Nurohman memiliki lahan tanam melati seluas 10 hektar. Dalam seminggu, dia panen hingga 30 ton melati. Dia kini mengandalkan pasar lokal seperti, Surabaya, Bandung, dan Bandar Lampung, untuk menjual melati miliknya.
Kalau ekspor rutin, biasanya ke Malaysia, setidaknya 1 ton per minggu. Kalau sedang ramai permintaan seperti November - Januari, saya bisa ekspor sampai 35 ton per minggu
"Selama pandemi, saya menjual melati ke pabrik-pabrik teh wangi di Kabupaten Tegal. Sisanya, dijual untuk keperluan resepsi pernikahan ke Surabaya, Bandung, dan Bandar Lampung," imbuh Nurohman.
Kendati harga jualnya lebih rendah, pilihan bergesar ke pasar lokal juga diambil Wiryono (46), petani melati asal Desa Maribaya, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal. Sebelumnya, dia bisa menjual melati untuk pasar ekspor Rp 20.000-Rp 150.000 per kilogram. Kini, melati untuk pasar lokal dijual Rp 20.000-Rp 30.000 per kilogram.
”Dalam sehari, saya bisa memanen hingga 150 kilogram melati. Lebih baik dijual ke pasar lokal meskipun harganya lebih murah daripada dibiarkan membusuk,” kata Wiryono.
Lebih baik dijual ke pasar lokal meskipun harganya lebih murah daripada dibiarkan membusuk.
Kini, setelah tiga bulan berhenti mengekspor melati, Wiryono mulai mengekspor lagi melati ke Singapura, pekan lalu. Jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang sebelumnya. Apabila normalnya bisa mengirim 2-3 ton melati sekali ekspor, kali ini ia hanya mengirimkan 300 kilogram.
”Semoga pandemi segera berakhir dan ekspor melati bisa kembali normal,” ujar Wiryono.
Terus berkurang
Masalah yang dialami petani dan eksportir melati bukan dipicu pandemi saja. Kepala Seksi Hortikultura Bidang Pertanian dan Hortikultura di Dinas Pertanian Kabupaten Tegal Eka Agus Priyani mengatakan, usaha mereka terancam alih fungsi lahan.
Luas lahan tanaman melati kini terus berkurang. Dalam tiga tahun terakhir, lahan tanam melati di Kabupaten Tegal berkurang, dari 341 hektar menjadi 207 hektar. ”Saat ini, petani sedang berusaha mencari lahan baru yang sesuai untuk menanam melati,” kata Eka.
Eka mengatakan, tahun ini, pihaknya memiliki program perluasan lahan tanam melati. Perluasan itu akan dilakukan di sebuah lahan seluas 2 hektar di Kecamatan Lebaksiu, Tegal. Namun, program tersebut akhirnya ditunda karena anggarannya dialihkan untuk penanganan Covid-19.