Pengambilan paksa jenazah pasien Covid-19, penolakan warga untuk dites, hingga tudingan mencari untung di tengah pandemi membuat hati para tenaga medis terluka.
Oleh
Reny Sri Ayu Arman / Iqbal Basyari
·4 menit baca
Pengambilan paksa jenazah pasien Covid-19, penolakan warga untuk dites, hingga tudingan mencari untung di tengah pandemi membuat hati para tenaga medis terluka. Namun, tekad menjalankan tugas kemanusiaan, merawat, serta melayani warga pantang surut.
Dokter Ahmad Asy Arie memasuki hari kelima dalam menjalani isolasi, Jumat (12/6/2020). Senin lalu ia dinyatakan positif Covid-19. Kepala Puskesmas Makkasau di Makassar, Sulawesi Selatan, itu terpapar dari seorang dokter bawahannya.
”Alhamdulillah, mungkin disuruh istirahat dulu. Kalau kata teman-teman, sekarang giliran saya yang cuti 14 hari,” kata Arie saat ditelepon.
”Giliran cuti 14 hari” merupakan kalimat canda bernada satire yang diucapkan tenaga kesehatan di Puskesmas Makassau untuk menghibur diri. Sebelumnya, beberapa di antara mereka juga positif Covid-19.
Arie sempat syok saat mengetahui terjangkit Covid-19. Membayangkan istri dan dua anaknya yang sejak pandemi jarang ditemui membuatnya sedih. Dukungan keluarga, rekan kerja, dan kerabat, menguatkan hatinya. Namun, dia kini mencoba tegar menghadapi kenyataan lain, tudingan warga yang menyebut tenaga kesehatan menari di atas pandemi.
Tak ada sedikit pun dalam pikiran kami untuk memanfaatkan pandemi untuk mencari untung.
”Tudingan ini membuat saya dan teman-teman sangat terpukul dan sedih. Tak ada sedikit pun dalam pikiran kami untuk memanfaatkan pandemi untuk mencari untung. Kami hanya menjalankan profesi yang sejak awal kami sadari penuh risiko. Kalau bisa memilih, kami tak ingin ada di situasi seperti ini,” tutur Arie.
Yang lebih menyakitkan, tudingan warga itu mewujud dalam bentuk pembangkangan. Selain tak menaati protokol kesehatan, juga mewujud dalam protes dengan memasang spanduk dan portal di jalan-jalan, mengusir tenaga kesehatan yang hendak melakukan tes cepat, hingga mengambil paksa jenazah pasien Covid-19.
Arie ingat betul, saat awal pandemi, di tengah alat pelindung diri (APD) yang masih terbatas, yakni dengan hanya mengenakan jas hujan, para tenaga kesehatan turun ke lapangan melakukan penelusuran. Tak peduli pagi, siang, bahkan malam, mereka menyusuri gang-gang dan permukiman padat hingga menyeberang ke Pulau Leu-lae menggunakan sampan, tetap dalam balutan baju APD. Acap kali mendapat penolakan, Arie dan rekan-rekannya tak berputus asa.
”Saya hanya berharap apa yang sudah kami lakukan tak sia-sia,” harap Arie.
Saling menguatkan di antara tenaga kesehatan menjadi kunci untuk menjaga nyala semangat pelayanan kepada warga. ”Ada yang sedih, ada yang marah, tapi kami saling menguatkan dan menghibur diri. Kami introspeksi diri, mungkin edukasi ke masyarakat kurang. Ini yang coba kami benahi. Pelayanan tetap kami lakukan dan tak ada yang berubah,” kata Mukhlisina, dokter di Puskesmas Antang, Kecamatan Manggala, Makassar.
Bermodal nyali
Sementara itu, di Gelanggang Remaja Surabaya, Jawa Timur, ribuan warga antre sejak pagi untuk mengikuti tes massal Covid-19 yang digelar Pemerintah Kota Surabaya bersama Badan Intelijen Negara. Dengan APD lengkap, para tenaga kesehatan melayani warga tanpa kenal lelah.
Pelaksana Tugas Kepala Puskesmas Rangkah Dwi Astuti Setyorini turut bertugas dalam tes massal itu. Sejak pukul 07.00, ia sudah bersiap di Gelanggang Remaja Surabaya.
Dokter yang akrab disapa Ririn itu tak gentar dengan risiko terpapar Covid-19 meski tiap hari bertemu ribuan warga yang menjalani tes massal. ”Selama terus menggunakan APD, saya percaya risiko penularan bisa ditekan,” katanya.
Bagi dia, tidak masalah kala harus berada di garda terdepan untuk menemukan warga yang terpapar Covid-19. Kepentingan untuk memutus mata rantai penularan jauh lebih berarti ketimbang risiko yang harus dihadapi. Semakin banyak menemukan warga positif Covid-19 semakin banyak pula warga yang bisa dihindarkan dari penularan.
Dokter di RSUD dr Soewandhie Surabaya, Yuni Setyowatiningsih, mengatakan, dalam sehari dia bisa mengambil sampel tes usap hingga 30 orang. Selama bertugas, ia selalu mengenakan APD agar terlindung. ”Mengenakan dan melepas APD bisa butuh waktu hingga satu jam,” ujarnya.
Dalam seminggu, seorang dokter mengambil sampel tes usap hingga tiga kali. Pembagian jadwal ini dilakukan agar tidak selalu kontak dengan pasien.
Di rumah sakit rujukan tersebut, dokter yang bertugas untuk mengambil sampel tes usap selalu diatur jadwalnya. Dalam seminggu, seorang dokter mengambil sampel tes usap hingga tiga kali. Pembagian jadwal ini dilakukan agar tidak selalu kontak dengan pasien.
Dokter di RS Premier Surabaya yang bertugas mengambil sampel usap tenggorokan, dr Vincentius Agung Setiawan, mengatakan, semakin lama bertemu dengan pasien Covid-19, dia makin bisa mengenali pasien yang kemungkinan besar positif.
”Kalau awal-awal kami masih tebak-tebakan, tetapi kini semakin sering bertemu dengan pasien-pasien, melihat gejala klinis, anamnesis, dan hasil pemeriksaan awal, semakin terlihat bedanya,” ujarnya.
Sebagai garda terdepan dalam mencari pasien Covid-19, dia merasa bertanggung jawab untuk membantu masyarakat. Selama disiplin mengenakan APD saat bertugas, dia percaya bisa melindungi kesehatannya. ”Sejak Maret, saya sudah ikut tes usap tenggorokan tujuh kali,” katanya.
Di tengah maraknya penolakan yang terjadi di daerah lain, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengapresiasi warganya yang antusias mengikuti tes massal untuk penapisan Covid-19. ”Warga Surabaya peduli dengan keluarga dan tetangganya sehingga mau dites. Mereka tidak ingin orang yang disayangi tertular sehingga pendekatan keluarga yang kami gunakan bisa efektif,” kata Risma. (AGNES SWETA PANDYA)