Warga Maluku Serahkan 22 Senjata Ilegal kepada TNI AD
Dalam dua bulan terakhir, sejumlah warga Pulau Seram, Maluku, menyerahkan 22 pucuk senjata ilegal kepada personel TNI Angkatan Darat. Puluhan senjata itu merupakan peninggalan konflik sosial sekitar dua dasawarsa lalu.
Oleh
FRANS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Dalam dua bulan terakhir, sejumlah warga Pulau Seram, Maluku, menyerahkan 22 pucuk senjata ilegal kepada personel TNI Angkatan Darat. Senjata tersebut merupakan peninggalan konflik sosial sekitar dua dasawarsa lalu. Hal ini menjadi salah satu tanda kepercayaan warga terhadap aparat keamanan.
Kepala Penerangan Komando Daerah Militer XVI/Pattimura Kolonel (Inf) Jansen Simanjuntak, di Ambon, Kamis (11/6/2020), mengatakan, penyerahan itu dilakukan kepada personel Batalyon Raider Khusus 732/Banau yang bertugas di sejumlah pos di Pulau Seram. Dari 22 pucuk senjata, 21 di antaranya merupakan senjata rakitan.
”Hanya ada satu senjata organik buatan pabrik senjata,” kata Jansen. Senjata organik dimaksud berupa pistol blow mini 8 milimeter.
Menurut Jansen, penyerahan senjata itu berkat kedekatan yang timbul antara masyarakat dan personel TNI AD. Masyarakat secara sukarela menyerahkan senjata yang dimilikinya. ”Hal ini yang memunculkan rasa percaya masyarakat tersebut dengan kehadiran Satgas Yonif Raider Khusus 732 dalam memberikan keamanan dan kenyamanan,” ujarnya.
Selama bertugas, para personel TNI juga turut andil meningkatkan taraf kesehatan dan pendidikan warga setempat. Mereka menggelar klinik kesehatan gratis bagi masyarakat dan memodifikasi truk menjadi perpustakaan keliling bagi anak-anak desa binaan.
Selain bertugas menjaga keamanan dan melaksanakan operasi militer nonperang, para personel TNI juga secara aktif mengedukasi warga agar menyerahkan senjata-senjata yang masih disimpan. Penyerahan senjata semacam itu sudah sering dilakukan setelah konflik di Maluku mulai reda pada 2003.
Terhitung 2011-2015, sebanyak 427 pucuk senjata telah dimusnahkan. Artinya, jumlah senjata yang diserahkan rata-rata 85 pucuk per tahun.
Saat konflik berkecamuk di Maluku pada Januari 1999 hingga 2003, kemudian kembali meletus pada 2011, banyak senjata api beredar di masyarakat, baik senjata rakitan maupun standar militer. Bahkan, gudang senjata milik Brigade Mobil Polda Maluku di kawasan Tantui, Ambon, sempat dibobol oleh sekelompok orang dalam sebuah aksi.
Menurut catatan Kompas, penyerahan senjata bukan kali ini saja terjadi. Seusai perayaan HUT Ke-71 TNI di Ambon pada 5 Oktober 2016, Kodam XVI/Pattimura Ambon memusnahkan 288 pucuk senjata api yang diserahkan masyarakat Maluku dalam rentang setahun ini. Terhitung 2011-2015, sebanyak 427 pucuk senjata telah dimusnahkan. Artinya, jumlah senjata yang diserahkan rata-rata 85 pucuk per tahun.
Senjata itu diserahkan warga setelah TNI melakukan sosialisasi dan bakti sosial, seperti di Desa Aboru, Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, yang dulu dikenal sebagai basis gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS). Banyak eks pejuang RMS menyerahkan sendiri senjata mereka. Ada juga senjata yang diserahkan eks anggota laskar jihad dari Desa Batu Merah, Ambon.
Selain itu, masih terjadi penyalahgunaan senjata saat konflik antarwarga di beberapa kampung di Maluku. Aparat gabungan Polri dan TNI pernah melucuti puluhan bom dan senjata api pascakonflik berdarah antara warga Desa Hualoy dan Desa Latu di Pulau Seram, Rabu (20/2/2019). Saat berkonflik, warga menggunakan senjata api.
Masih terjadi penyalahgunaan senjata saat konflik antarwarga di beberapa kampung di Maluku.
Rinciannya, 42 bom molotov, 44 bom pipa, 2 pucuk senjata rakitan, 2 alat pelontar bom, 7 anak panah, 1 peluru standar kaliber 5,56 milimeter, 1 parang, serta 122 liter campuran bensin dan minyak tanah untuk pembuatan bom molotov. Selain itu, 7 senjata api sudah diserahkan secara sukarela kepada petugas.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Benediktus Sarkol menduga, masih banyak senjata api yang beredar di masyarakat. Langkah persuasif personel TNI mengedukasi warga untuk menyerahkan senjata perlu diapresiasi. Di lain pihak, masyarakat yang menyerahkan senjata perlu diapresiasi.
”Dengan pendekatan persuasif, masyarakat akan lebih terbuka dengan aparat,” katanya.