Pengembara Laut yang Dipaksa ke Darat
Warga Suku Laut di Kepulauan Riau, menanti kehadiran negara memberikan kekuatan hukum tetap agar anak cucu mereka bisa terus hidup mengembara di lautan seturut nuraninya.
Kehidupan Suku Laut di Kepulauan Riau kian terlupakan dan terpinggirkan setelah mereka pindah ke darat mengikuti anjuran pemerintah. Kini, sebagian kecil warga Suku Laut, yang masih bertahan hidup secara nomaden, menginginkan wilayah adat mereka segera diakui dan dilindungi negara.
Mereka menanti kehadiran negara memberikan kekuatan hukum tetap agar anak cucu mereka bisa terus hidup mengembara di lautan seturut nuraninya.
Suku pengembara laut tersebar hampir di seluruh Asia Tenggara, mulai dari Myanmar hingga Nusantara. Mereka dikenal dengan berbagai nama. Di Myanmar dan Thailand, mereka dikenal sebagai Suku Moken, sedangkan di Sumatera serta Sulawesi, mereka lebih sering disebut sebagai Suku Laut atau Suku Bajau.
Persamaan di antara suku-suku ini adalah cara hidup nomaden dengan menggunakan sampan. Kini, di Indonesia, populasi Suku Laut dan Suku Bajau diperkirakan sekitar 185.000 jiwa dan tersebar di 15 provinsi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku.
Kehidupan Suku Laut sangat dipengaruhi musim.
Di Sumatera, pengembara laut banyak ditemui di sepanjang pantai timur. Di Kepri saja diperkirakan ada 44 kelompok Suku Laut dengan populasi sedikitnya 12.800 jiwa. Sebagian besar, 30 kelompok di antaranya, tersebar di pulau-pulau kecil sekitar Kabupaten Lingga.
Peneliti sea nomads Universitas Chulalongkorn, Thailand, Wengky Ariando, mengatakan, sedikitnya masih ada dua kelompok Suku Laut yang hidup nomaden di Lingga. Saat musim angin utara, sepanjang Desember hingga Februari, biasanya mereka akan membangun permukiman sementara di pesisir Pulau Air Bingkai dan Pulau Linau Batu, Kecamatan Senayang.
Baca juga : Pembatasan Sosial, Suku Laut di Lingga Lebih Siap
”Kehidupan Suku Laut sangat dipengaruhi musim. Selama musim angin utara, saat ombak tinggi, mereka akan bermigrasi ke pesisir dan mendirikan rumah sementara yang disebut saphaw,” kata Wengky dalam seminar daring yang diselenggarakan Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri, Rabu (20/5/2020).
Mengembara
Orang Laut hidup mengembara di atas sampan dayung atau jung beratap daun nipah yang disebut kajang. Biasanya mereka juga membawa serta anjing dan burung sejenis nuri yang disebut bayan. Dua jenis hewan ini dipercaya bisa menolak bala dan membantu membaca perubahan cuaca yang ekstrem.
Selama hidup di atas sampan, mereka menampung air hujan untuk minum dan hanya makan dari hasil melaut. Orang Laut tidak mau tinggal di darat karena mereka percaya tanah hanyalah tempat bagi orang mati untuk dikuburkan. Bagi mereka, yang hidup harus terus bergerak dan mengembara di lautan.
Ketua Yayasan Kajang Densy Diaz mengatakan, Suku Laut sangat terampil membaca rasi bintang untuk mengetahui arah dan memperkirakan musim. Mereka memiliki pengetahuan wilayah perairan yang sangat baik dalam menentukan tempat dan waktu menangkap ikan.
”Orang Laut tidak pakai jaring untuk menangkap ikan, hanya pakai tombak dan pancing. Mereka menangkap secukupnya saja. Kalau dapat ikan yang masih kecil akan dikembalikan untuk ditangkap lain hari,” ujar Densy yang sejak 2014 aktif membantu Suku Laut mendapat akses pendidikan layak.
Baca juga : Mengenal Orang Laut Di Kepulauan Riau
Kesadaran untuk menjaga kelestarian alam juga ditunjukkan Suku Laut dengan tidak menangkap ikan di sejumlah tempat larangan, yaitu lokasi perairan dengan karang berwarna-warni. Mereka percaya, karang yang memiliki warna-warna tajam adalah wilayah sakral tempat hantu laut bersemayam.
TerasingPenamaan orang Laut merujuk pada cara hidup dan lokasi permukiman mereka. Sudah tentu nama ini tidak berasal dari mereka sendiri, tetapi pemberian dari luar. Di Semenanjung Melayu, orang Laut dianggap sebagai komunitas yang terpisah dari Suku Melayu yang hidup di darat. Orang Melayu melihat Suku Laut sebagai kelompok tidak berbudaya yang makan babi dan tinggal di perahu bersama anjing.
Sejarawan maritim Universitas Indonesia, Adrian Lapian, dalam buku Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, berpendapat, tidak jarang penyebutan orang Laut mengandung arti yang cenderung merendahkan, seperti orang kota melihat orang kampung. Bahkan, dulu pemerintah menganggap mereka sebagai komunitas terasing yang harus dibina Kementerian Sosial.
Masyarakat umum sering menganggap orang Laut sebagai orang liar yang tidak berbudaya dan kotor. Mereka juga dianggap jahat karena percaya dukun dan magis. Padahal, menurut Adrian, kemampuan menyembuhkan orang sakit dengan metode tradisional itu didapat dari cara hidup yang akrab dengan alam.
Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri, Dedi Arman, mencatat, pada masa Orde Baru, pemerintah melalui Departemen Sosial berupaya mengubah cara hidup Suku Laut. Di pulau-pulau utama Kepri, seperti Batam dan Bintan, pemerintah membangunkan rumah bagi orang Laut agar mereka bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan modern.
Namun, hal itu tidak juga berhasil membuat orang Laut bisa hidup beradab sesuai standar pemerintah. Orang Laut yang dipaksa ”mendarat” oleh pemerintah itu kini justru hidup sangat miskin. ”Yang bersekolah sampai tingkat menengah saja bisa dihitung dengan jari,” kata Dedi.
Hal ini, salah satunya, tergambar pada kehidupan Suku Laut di Batam. Mereka tidak bisa lagi hidup sebagai nelayan karena wilayah perairan Batam telah rusak dan tercemar. Kini, mereka bertahan hidup sebagai pemulung potongan kayu dan besi limbah galangan kapal (Kompas, 15/11/2011). Dedi khawatir, suatu saat Suku Laut di Lingga, yang sebagian masih nomaden, juga akan bernasib sama dengan Suku Laut di Batam. Setelah dipaksa tinggal di darat, mereka tidak hanya kehilangan wilayah adat dan mata pencarian, tetapi juga kehilangan identitas kultural sebagai orang Laut.
Yang bersekolah sampai tingkat menengah saja bisa dihitung dengan jari.
”Saya cemas, orang Laut justru semakin terpinggirkan saat pemerintah memindahkan hidup mereka ke darat. Sudah banyak yang telanjur meninggalkan laut, tetapi ternyata kehidupan di darat juga tidak semudah yang dibayangkan,” ujarnya.
Pilihan terbaik
Menurut Wengky, pemerintah seharusnya segera menetapkan Suku Laut sebagai masyarakat hukum adat (MHA) untuk melindungi dan memberdayakan mereka. Wilayah adat Suku Laut harus diakui agar orang Laut mampu menentukan pilihan terbaik dalam memanfaatkan sumber daya yang dimiliki.
Persoalannya, untuk ditetapkan menjadi MHA, sekelompok orang harus dapat menunjukkan ikatan asal leluhur, hubungan kuat dengan tanah, pranata pemerintahan, dan tatanan hukum. Sementara orang Laut sebagai suku pengembara tidak memiliki hubungan kuat dengan suatu teritori tanah yang tetap.
”Pengakuan terhadap Suku Laut sebenarnya bisa dimulai dari level daerah. Pemerintah Kabupaten Lingga bisa mengadopsi peraturan lokal untuk menghasilkan pengakuan tertulis agar orang Laut mendapat hak untuk diprioritaskan,” kata Wengky.
Tanpa hak untuk diprioritaskan, wilayah hidup orang Laut akan terancam oleh aktivitas pembangunan di pesisir dan pulau-pulau kecil. Memaksa orang Laut menjalani hidup seperti suku lain di darat hanya membuat mereka semakin terpinggirkan dan terlupakan.
Biarlah mereka tetap hidup seturut nuraninya, mengembara di atas sampan ke laut lepas.