20.307 Usaha Kecil Menengah di Aceh Terpuruk karena Covid-19
Usaha di sektor riil butuh intervensi pemerintah, seperti memberikan akses modal usaha, pinjaman dengan bunga rendah, dan keringanan lain. Tanpa stimulus dari pemerintah, usaha sektor itu sukar untuk bangkit kembali.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Sebanyak 20.307 unit dari 33.459 unit usaha kecil dan menengah di Provinsi Aceh terpuruk karena pandemi Covid-19. Mereka kesulitan memproduksi barang, kehilangan pembeli, dan kehilangan pendapatan selama darurat Covid-19. Pemulihan usaha kecil menengah butuh waktu panjang.
Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Aceh Wildan, Rabu (10/6/2020), menuturkan, hasil survei daring yang mereka lakukan, sebesar 90 persen pelaku usaha mengaku terpuruk saat darurat pandemi Covid-19. Dampak buruk yang dirasakan beragam, mulai dari kesulitan produksi karena harga bahan baku mahal hingga kehilangan pasar karena pembatasan aktivitas warga.
Produk UKM, seperti pembuatan tempe, terpukul karena bahan baku sangat bergantung pada pasokan dari luar Aceh. Saat puncak pandemi, pasokan kedelai berkurang dan harga melambung. Akibatnya produksi terganggu dan jam kerja karyawan dikurangi. Sementara produk yang bahan bakunya tersedia di pasar lokal, seperti kerajinan rotan, kehilangan pembeli.
”Semua UKM kena dampak. Namun, saya belum punya kesimpulan seberapa parah dampaknya,” kata Wildan.
Wildan menambahkan, pada April, saat darurat Covid-19 diberlakukan, UKM nyaris mati suri. Banyak yang berhenti produksi dan merumahkan karyawan. Saat daerah memasuki normal baru, sebagian mulai bangkit, tetapi masih banyak yang susah keluar dari keterpurukan.
Pemerintah Provinsi Aceh memberdayakan pelaku usaha kecil menengah dengan pengadaan masker 215.000 lembar. Sebanyak 803 pekerja di 88 UMKM terlibat memproduksi masker kain dengan total anggaran Rp 1,5 miliar.
Kedelai sebagai bahan baku susah saya dapatkan karena terkendala impor dan harganya mahal.
Selama pandemi, dinas koperasi dan UMKM melakukan pendampingan melalui daring terhadap pelaku usaha. Pemerintah juga mendorong perbankan merelaksasi kredit, tetapi Pemprov Aceh tidak bisa membantu modal usaha karena ketersediaan dana yang terbatas.
Dinas Koperasi dan UMKM juga berinisiatif membuat situs atau laman acehsale.co.id sebagai toko daring bersama untuk penjualan produk UKM. Saat ini sebanyak 537 macam produk UKM terdaftar di situs tersebut. Jumlah itu masih sangat minim dibandingkan dengan jumlah UKM. Wildan menuturkan belum semua pelaku UKM terbiasa menggunakan platform digital dalam memasarkan produk. Akan tetapi, situs acehsale.coid itu disiapkan sebagai toko daring masa depan untuk memasarkan produk UKM di Aceh.
Basri Ubit (45), pemilik usaha tempe Soya di Desa Reuloh, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar, juga ikut merasakan dampak berat pandemi Covid-19. Produksi dan penjualan menurun, serta 50 karyawan sempat diberhentikan sementara.
Kedelai, bahan baku pembuatan tempe, harganya naik dan stok terbatas. Akibatnya produksi tempe berkurang dari biasanya 2.500 kilogram per hari menjadi 1.700 kilogram per hari. Harga kedelai naik dari biasanya Rp 6.200 per kilogram menjadi Rp 8.000 per kilogram.
”Kedelai sebagai bahan baku susah saya dapatkan karena terkendala impor dan harganya mahal,” kata Basri.
Dosen Ekonomi Universitas Muhammadiyah Aceh Taufik Rahim menuturkan, pasca-Covid-19, usaha di sektor riil butuh intervensi pemerintah, seperti memberikan akses modal usaha, pinjaman dengan bunga rendah, dan keringanan lain. Tanpa stimulus dari pemerintah, usaha di sektor riil akan sukar untuk bangkit kembali.