Polisi Minta Unjuk Rasa Merespons Tuntutan Kasus Kerusuhan Papua Tak Dilakukan
Polda Papua melarang warga melaksanakan unjuk rasa di tengah pandemi Covid-19 terkait tuntutan terhadap tujuh terdakwa kasus makar di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kaltim.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA/SUCIPTO
·5 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Kepolisian Daerah Papua melarang warga menggelar unjuk rasa di tengah pandemi virus korona jenis baru penyebab Covid-19. Unjuk rasa yang dimaksud terkait tuntutan terhadap tujuh terdakwa kasus makar di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur.
Hal ini disampaikan Kapolda Papua Inspektur Jenderal Paulus Waterpauw seusai rapat bersama Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Provinsi Papua di Jayapura, Selasa (9/6/2020). Turut dalam pertemuan itu Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal; Panglima Kodam XVII/Cenderawasih Mayor Jenderal Herman Asaribab; dan tenaga ahli Kantor Staf Presiden, Laus Rumayom.
Paulus mengatakan, adanya aksi unjuk rasa dapat memicu kasus penyebaran Covid-19 terus meningkat. Sebab, terjadi aktvitas berkumpulnya warga di suatu tempat dalam jumlah banyak.
Semua warga berhak menyampaikan pendapatnya. Namun, melaksanakan aksi unjuk rasa di tengah Covid-19 sangat berbahaya. (Klemen Tinal)
Saat ini, kasus Covid-19 tersebar di 13 kabupaten dan 1 kota di Papua. Sudah terdapat 1.085 kasus positif Covid-19 hingga Senin (8/6/2020). Kota Jayapura menjadi kota dengan jumlah kasus tertinggi.
”Kami meminta adanya perwakilan dari masyarakat yang tidak menyetujui tuntutan untuk tujuh terdakwa ini. Kami tidak akan memberikan izin untuk melaksanakan unjuk rasa,” kata Paulus.
Ia mengungkapkan, muncul pandangan dari sejumlah elemen masyarakat bahwa terjadi diskriminasi dalam pemberian hukuman bagi tujuh terdakwa kasus makar di Papua, yakni 5-17 tahun penjara. Sementara terpidana kasus rasisme di Surabaya, Tri Susanti, divonis tujuh bulan penjara.
Tujuh terdakwa kasus makar adalah Fery Kombo, Alexander Gobay, Hengki Hilapok, Buchtar Tabuni, Irwanus Uropmabin, Steven Itlay, dan Agus Kossay.
Irwanus Uropmabin dan Hengki Hilapok dituntut lima tahun penjara, Alexander Gobay 10 tahun penjara, Fery Kombo 10 tahun penjara, Buchtar Tabuni 17 tahun penjara, dan Steven Itlay 15 tahun penjara.
”Masyarakat menganggap tujuh terdakwa kasus makar menjadi korban rasisme dengan tuntutan hukum yang berat. Kami akan menjelaskan kepada masyarakat bahwa sebenarnya mereka sebagai otak yang menggerakkan aksi unjuk rasa berujung kerusuhan di Papua tahun lalu,” tutur Paulus.
Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal mengatakan, semua warga berhak menyampaikan pendapatnya. Namun, melaksanakan aksi unjuk rasa di tengah Covid-19 sangat berbahaya.
”Kami berharap tidak adanya gerakan yang mengumpulkan massa dalam jumlah yang banyak. Pemerintah selalu siap membuka dialog dengan perwakilan warga yang ingin menyampaikan pendapatnya,” kata Klemen.
Pieter Ell, perwakilan dari Forum Tim 150, menyatakan, pihaknya telah mengajukan petisi kepada Presiden Joko Widodo terkait tuntutan terhadap tujuh terdakwa kasus makar. Adapun isi petisi antara lain menyesalkan penegakan hukum dan HAM di Tanah Papua yang masih diskriminatif, menyatakan protes atas tuntutan hukuman makar yang tidak sesuai dengan fakta persidangan, dan meminta ketujuh terdakwa dibebaskan.
”Tim ini terdiri dari advokat, pekerja sosial, akademisi, jurnalis, dan tokoh agama. Kami berharap adanya keadilan tujuh terdakwa ini sebab mereka hanya korban aksi rasisme di Surabaya,” tutur Pieter.
Sidang berlanjut
Proses pengadilan tujuh terdakwa makar itu terus berlanjut di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur. Sejak pertengahan Maret 2020, sidang dilaksanakan daring melalui aplikasi Zoom.
Pada Senin (9/6/2020), Irwanus Uropmabin dan Buchtar Tabuni menjalani sidang dengan agenda pembelaan mulai pukul 15.00-20.30 Wita. Di persidangan sebelumnya, jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Tinggi Papua mendakwa Irwanus dan Buchtar melakukan tindak pidana makar dengan Pasal 106 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Irwanus yang merupakan mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura itu dianggap bertanggung jawab terhadap pengibaran bendera bintang kejora pada unjuk rasa pada Agustus 2019 di Jayapura.
Di dalam persidangan, Welhelmina Morin, salah satu kuasa hukum Irwanus, mengatakan bahwa kliennya memang berada di lokasi untuk unjuk rasa. Namun, kliennya tidak terlibat dan memimpin agenda pengibaran bendera bintang kejora itu.
”Pada aksi 29 Agustus 2019, terdakwa tidak mengetahui siapa yang membawa bintang kejora sepanjang aksi, siapa yang menurunkan bendera Merah Putih, dan kemudian menaikkan bendera bintang kejora di Kantor Gubernur Provinsi Papua,” kata Welhelmina.
Sementara Buchtar yang merupakan aktivis United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dituntut 17 tahun penjara karena didakwa sebagai orang yang menyuruh atau turut melakukan makar. Namun, hal itu ditolak Buchtar di persidangan. Dalam pembacaan pembelaan, kuasa hukum mengatakan bahwa Buchtar tidak terlibat dalam demonstrasi pada 19 dan 29 Agustus 2019 yang dinilai penuntut umum ditunggangi agenda makar.
”Terdakwa tidak terlibat sama sekali pada aksi anti-rasisme pada 19 dan 29 Agustus 2019 karena terdakwa sedang ada di kebun. Saksi-saksi di pengadilan juga tidak pernah melihat terdakwa hadir dan melakukan orasi dalam demonstrasi. Tidak pernah ada juga keterlibatan ULMWP dalam aksi tersebut,” kata pengacara Buchtar, Waltermans Tahulending.
Dalam pembacaan pleidoi itu, kuasa hukum juga menolak dakwaan makar. Para kuasa hukum yang membacakan pleidoi mengatakan, aksi yang diikuti Irwanus adalah bentuk kebebasan berekspresi. Makar yang didakwakan tidak tepat karena tidak ada niatan Irwanus untuk melakukan penyerangan atau melakukan pemberontakan senjata.
Adapun Buchtar di persidangan mengatakan, ia memang memberi pernyataan terkait apa yang terjadi di Surabaya. Namun, ia hanya mengimbau masyarakat di Papua agar tetap menjaga keamanan untuk menyikapi aksi rasisme di Surabaya.
”Di situ, kami tidak menyuruh aksi mobilisasi massa, tetapi bagaimana rakyat tidak boleh melakukan hal yang merugikan dalam merespons apa yang terjadi di Surabaya,” kata Buchtar.
Sidang Irwanus dan Buchtar dipimpin Ketua Majelis Hakim Sutarmo dengan anggota Agnes dan Bambang Condro. Setelah pembacaan pleidoi sejak pukul 15.00 -17.00 Wita, jaksa penuntut umum menolak dalil-dalil yang dibacakan kuasa hukum secara lisan. ”Kami menolak seluruh dalil-dalilnya,” kata Adrianus