Kapasitas Laboratorium PCR di Sumsel Bertambah, Pemeriksaan Dua Kali Lebih Cepat
Balai Besar Laboratorium Kesehatan Palembang menambah kapasitas laboratorium PCR-nya. Hal ini dilakukan untuk mempercepat proses pemeriksaan dari lebih dari satu minggu menjadi hanya tiga hari.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Balai Besar Laboratorium Kesehatan Palembang sudah menambah kapasitas laboratorium pemeriksaan spesimen dengan metode reaksi berantai polimerase (PCR) dari 200 spesimen menjadi 800 spesimen per hari. Hal ini membuat proses pemeriksaan jauh lebih cepat dari semula tujuh hari menjadi tiga hari per spesimen.
Kepala Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK) Palembang Andi Yussianto, Selasa (9/6/2020), menerangkan, dalam satu bulan terakhir jumlah kapasitas BBLK Palembang terus bertambah. Bulan lalu, kapasitas laboratorium sekitar 200 spesimen per hari, kini meningkat menjadi 800 spesimen per hari.
Lamanya waktu pemeriksaan disebabkan menumpuknya jumlah spesimen yang harus diperiksa. Bahkan, pernah mencapai 3.000 spesimen. Namun, sejak lima hari lalu, masalah itu mulai teratasi. ”Saat ini jumlah spesimen yang masih dalam pemeriksaan tinggal 1.000 spesimen,” kata Andi.
Kami juga telah mengusulkan untuk penyediaan mobile swab kepada BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Semoga dapat direalisasikan dalam waktu dekat. (Lesty Nurany)
Apabila proses ini terus berlanjut, waktu pemeriksaan di BBLK Palembang tidak lagi satu minggu per spesimen, tetapi bisa dipersingkat menjadi tiga hari per spesimen.
Hanya saja, lanjut Andi, optimalisasi tersebut sangat bergantung pada jumlah bahan baku PCR, yakni reagen, yang dikirimkan pemerintah pusat atau bantuan dari Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. ”Jika reagen masih ada, tentu pemeriksaan bisa berlanjut. Namun, jika reagen kosong, pemeriksaan terpaksa ditunda,” ucapnya.
ER, salah seorang warga yang pernah terkonfirmasi positif, mengatakan harus menunggu hasil spesimen hingga 12 hari. Bahkan, ia harus mengisolasi diri sampai hasil sampel keluar. ”Ternyata, setelah hasilnya keluar dan saya dinyatakan positif, saya kembali harus menjalani karantina di Wisma Atlet,” katanya.
Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Selatan Lesty Nurany menerangkan, saat ini sudah ada tiga laboratorium PCR di Sumsel. Selain BBLK Palembang, laboratorium pemeriksaan spesimen Covid-19 ada di RSUP dr Mohammad Hoesin, Palembang, dengan kapasitas 25 spesimen per hari dan RS Pusri dengan kapasitas 48-200 spesimen per hari.
Selain di tiga rumah sakit itu, lanjut Lesty, sejumlah daerah pun sudah memanfaatkan laboratoriumnya untuk uji tes cepat molekuler, yakni di Palembang, Lubuk Linggau, dan Muara Enim. ”Kami juga telah mengusulkan untuk penyediaan mobile swab kepada BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Semoga dapat direalisasikan dalam waktu dekat,” ucap Lesty.
Dengan penambahan kapasitas laboratorium ini, diharapkan proses pelacakan pada warga yang rentan tertular semakin agresif. ”Semakin banyak yang terdeteksi, risiko penularan bisa kita tekan. Orang yang sudah terjangkit pun bisa pulih lebih cepat,” ucap Lesty.
Untuk itu, pihaknya sudah mengusulkan anggaran tambahan dalam dua bulan ke depan guna meningkatkan penanganan Covid-19 di Sumsel. Sebagai acuan, ujar Lesty, anggaran penanganan Covid-19 di Sumsel untuk sektor kesehatan hingga bulan Juni sekitar Rp 84,7 miliar. Dana itu untuk pembelian alat pelindung diri, pemberian insentif bagi tenaga kesehatan, serta pembelian reagen.
Masa puncak
Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Sumatera Selatan Yuwono mengungkapkan, kapasitas laboratorium PCR ini akan terus ditingkatkan. Bahkan, pihaknya menargetkan, hingga akhir Juni, kapasitas laboratorium PCR bisa mencapai 1.500 spesimen per hari.
Dengan demikian, standar pemeriksaan yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni tingkat pemeriksaan di satu daerah minimal 1 persen dari total penduduk, dapat segera direalisasikan. Total warga Sumsel sekitar 8 juta orang, berarti minimal harus ada pemeriksaan terhadap 80.000 orang. ”Dengan meningkatnya kapasitas laboratorium ini, target 80.000 orang yang menjalani pemeriksaan dapat terwujud,” katanya.
Namun, lanjut Yuwono, mereka yang diperiksa harus diseleksi lagi, seperti orang yang pernah berkontak erat dengan orang positif Covid-19, warga di usia rentan, yakni lansia dan anak-anak, serta orang yang memiliki masalah kesehatan pernapasan. ”Orang-orang inilah yang harus dijadikan prioritas guna mengetahui perkembangan penularan,” ucapnya.
Yuwono yang juga pakar mikrobiologi ini mengungkapkan, saat ini tingkat penularan Covid-19 di Sumsel ada tren penurunan dibandingkan sebelum Lebaran. Hanya saja, risiko puncak Covid-19 diperkirakan akan terjadi pada Juli 2020 dan mereda pada Desember 2020. ”Jika masyarakat dan pemangku kepentingan lebih ketat dalam menerapkan protokol kesehatan, tren penurunan ini bisa terus dipertahankan. Namun, jika tidak, masa puncak Covid-19 akan menanti di pertengahan Juli 2020,” tuturnya.
Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Cabang Sumsel Hibsah Ridwan mengatakan, sejak dua minggu terakhir memang ada peningkatan kasus positif Covid-19 di Sumsel. Hal ini terjadi karena proses pemeriksaan yang agresif.
Data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Sumsel menunjukkan, jumlah kasus positif Covid-19 di Sumsel pada 7 Juni 2020 mencapai 1.129 kasus, meningkat 39,04 persen dibandingkan dengan kasus positif pada 25 Mei 2020, yakni 812 kasus.
Namun, ujar Hibsah, dari jumlah tersebut, tingkat kematian kasus positif mengalami penurunan. Pada periode 6-25 Mei 2020 tercatat ada 22 kematian positif Covid-19, sementara periode 25 Mei-7 Juni 2020 jumlah kematian 14 kasus. ”Tren kematian positif Covid-19 di Sumsel turun 16,6 persen,” ungkapnya.
Dari sisi tingkat penularan, menurut Hibsah, angka reproduksi efektif (Rt) di Sumsel masih cukup tinggi di mana per 8 Juni 2020 sebesar 1,23. Walau turun dibandingkan dengan empat hari sebelumnya sebesar 1,29, angka ini belum cukup untuk melakukan normal baru. Syarat bisa melakukan normal baru, angka Rt harus di bawah 1 dan terus stabil dalam 14 hari setelahnya.
Menurut Hibsah, untuk menekan angka Rt, dapat dilakukan dengan membatasi mobilitas masyarakat untuk berinteraksi. Untuk dapat menjalankan normal baru, seharusnya persentase orang tinggal di rumah sekitar 45 persen, nyatanya di Sumsel rata-rata orang tinggal di rumah baru 37,35 persen.
Risiko penularan tertinggi di Sumsel masih terjadi di pasar tradisional. Hal ini perlu diwaspadai dengan pengawasan yang lebih ketat.
Namun, memang ada sejumlah kemajuan di mana tingkat interaksi masyarakat di dua daerah yang melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) jauh berkurang. Sebelum PSBB, satu orang bisa berinteraksi dengan 14 orang. Namun, setelah PSBB, satu orang hanya berinteraksi dengan 6 orang. ”Dengan berkurangnya angka interaksi, risiko penularan bisa ditekan,” ujar Hibsah.