Unsoed Dorong Pemanfaatan Pekarangan Sempit di Masa Pandemi
Lahan yang sempit di permukiman berpotensi dioptimalkan sebagai tempat bercocok tanam terutama saat pandemi Covid-19. Universitas Jenderal Soedirman mendorong masyarakat memanfaatkan lahan sempit untuk bercocok tanam.
Oleh
Wilibrordus Megandika Wicaksono
·2 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, mendorong pemanfaatan lahan pekarangan sempit di permukiman untuk budidaya sayur dan lele. Selain bisa menghemat pengeluaran, bercocok tanam juga dapat melahirkan kepedulian pada lingkungan dan sesama.
Benang merah itu muncul dalam diskusi Webinar Series 01 bertema ”Agribisnis di Era New Normal”, Senin (8/6/2020). Hadir sebagai pemateri adalah pengajar di Fakultas Pertanian Unsoed, Saparso, serta pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unsoed, Dijan Rahajuni.
Dijan menyebutkan, kontribusi peningkatan pendapatan keluarga dari pemanfaatan lahan pekarangan yang sempit memang masih kecil. Setiap hari, misalnya, satu rumah tangga biasanya belanja Rp 25.000. Saat bisa panen seikat sawi, rumah tangga itu bisa menghemat Rp Rp 6.000.
”Meski hanya Rp 6.000 sekali panen, hal itu memberi kepuasan. Itu upaya memelihara lingkungan dan menyadarkan anak-anak bahwa anugerah Allah berupa alam bisa kita optimalkan jika kita mau,” ujar Dijan.
Dijan bersama tim mendampingi tiga kelompok rukun tetangga di Kelurahan Kedungwuluh, Kecamatan Purwokerto Barat, pada April-September 2019. Warga dibimbing memanfaatkan pekarangan sempit di kompleks perumahan untuk menanam sayur-mayur, seperti cabai, sawi, dan terung, di dalam polybag.
Dari pendampingan itu, setiap kelompok mendapat pemasukan Rp 250.000-Rp 750.000. ”Untuk menjaga keberlanjutannya, diperlukan dukungan pemerintah serta dukungan perguruan tinggi dalam bentuk transfer ilmu yang relevan,” ucap Dijan.
Saparso menyampaikan, lahan yang sempit bisa dimanfaatkan untuk bercocok tanam, antara lain menggunakan metode hidroponik. Keuntungan menerapkan hidroponik antara lain hemat air hingga sehat alami tanpa pestisida. Selain itu, nutrisi tanaman juga bisa diatur, tidak tergantung musim, dan mudah dipanen.
”Di lahan yang sempit, hidroponik bisa diterapkan secara bertingkat,” kata Saparso.
Untuk menjaga keberlanjutannya, diperlukan dukungan pemerintah serta dukungan perguruan tinggi dalam bentuk transfer ilmu yang relevan.
Akan tetapi, Saparso juga menyebutkan sejumlah kelemahan hidroponik, yaitu biaya awal yang cukup tinggi. Biaya itu digunakan untuk membuat jaringan alatnya. Selain itu, perlu pemeliharaan rutin serta pengetahuan dan teknologi.
”Alat yang dipakai misalnya jaringan pipa serta pompa air. Pengetahuan yang diperlukan misalnya perlu sedikit kemiringan supaya tidak terjadi pengendapan kotoran atau lumpur,” katanya.
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Unsoed Rifda Naufalin menambahkan, saat pandemi Covid-19, masyarakat perlu meningkatkan konsumsi buah dan sayur. Salah satu peluang yang bisa dimanfaatkan adalah mengoptimalkan lahan pekarangan sendiri untuk bercocok tanam.
”Kami sudah mulai menyikapi (normal baru) dan akan segera menerapkannya di masyarakat. Mulai dari pertanian, pendidikan, kesehatan, terkait di lingkungannya. Semuanya harus dikaitkan dengan kondisi normal baru,” tutur Rifda.