Penolakan Warga Makassar Meluas, Tindakan Tegas Diperlukan
Aksi penolakan tenaga kesehatan dan tes cepat terus meluas di Makassar. Akademisi menilai hal ini sebagai buah kebijakan penanganan Covid-19 yang kurang tegas dan tidak transparan.
Oleh
Reny Sri Ayu
·4 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS - Aksi penolakan warga di Kota Makassar, Sulawesi Selatan terhadap tenaga kesehatan dan program tes cepat Covid-19, kian meluas. Adapun pengambilan paksa jenazah pasien positif Covid-19 juga terjadi. Akademisi menilai hal ini sebagai buah kebijakan penanganan Covid-19 yang kurang tegas dan tidak transparan.
Di Makassar, spanduk dan portal penolakan kembali dipasang warga pada Senin (8/6/2020). Spanduk berisi pesan penolakan tersebut seperti terpantau di sepanjang Jalan Rajawali, sejumlah permukiman di sekitar Stadion Mattoangin, dan beberapa kawasan lain. Sebagian warga bahkan berjaga-jaga di mulut gang atau jalan. Sebelumnya, spanduk tersebar cukup banyak di kawasan utara Kota Makassar.
Sementara pada Minggu (7/6/2020) malam, kembali terjadi pengambilan paksa jenazah dengan status pasien dalam pengawasan (PDP) dari sebuah rumah sakit swasta di Jalan Somba Opu atau di depan Anjungan Pantai Losari, Makassar. Ratusan warga mengambil paksa dan membawa pulang jenazah menggunakan kendaraan pribadi. Aparat tak bisa berbuat banyak menghadapi ratusan warga yang tersulut emosi.
Terkait hal ini, Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Sulsel Kombes Ibrahim Tompo mengatakan, pihak kepolisian akan mengambil tindakan tegas dan akan memproses kasus tersebut.
“Kami prihatin dengan kondisi ini. Harusnya masyarakat memahami bahwa tindakan ini bisa berdampak pada meluasnya penyebaran Covid-19 secara luas. Tindakan yang diambil pihak rumah sakit adalah untuk melindungi masyarakat. Kami akan bertindak tegas karena ini adalah pidana dan akan kami proses,” kata Ibrahim Tompo, Senin (8/6/2020).
Gubernur Sulsel Nurdin Abdulah mengatakan, pemerintah dan aparat keamanan telah melakukan penyelidikan terkait kasus pengambilan paksa jenazah PDP positif Covid-19 yang telah mengabaikan protokol pencegahan dan penyebaran Covid-19.
“Dipastikan ada oknum tertentu yang melakukan provokasi kepada masyarakat. Kami baru saja mengadakan rapat bersama TNI dan Polri serta pihak terkait lain untuk melakukan tindakan tegas terhadap para oknum yang diduga sebagai provokator,” kata Nurdin.
Sebelumnya, gubernur juga sudah meminta agar pemeriksaan swab pasien dengan status PDP lebih diprioritaskan agar hasilnya bisa lebih cepat disampaikan kepada keluarga.
Sementara itu, menanggapi maraknya penolakan warga, Sosiolog Universits Hasanuddin Makassar Sawedi Muhammad mengatakan, pemerintah harus bersikap tegas, tetapi tetap dibarengi pendekatan bersifat edukatif kepada warga.
“Sejak awal pemerintah tidak tegas. Melaksanakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), tapi dilonggarkan. Mestinya jangan ada toleransi," jelasnya.
Sawedi mengungkapkan, semua mekanisme yang sudah dijanjikan pemerintah dalam jaring pengaman sosial, juga tidak dilakukan konsisten. Akumulaisi berbagai persoalan ini akhirnya membuat masyarakat melawan. Apalagi, edukasi atau penjelasan tentang sains terkait pandemi ini tidak disampaikan tuntas.
Dia menambahkan, yang paling mengkhawatirkan saat ini, justru terkait tudingan bahwa ada uang besar di balik penanganan Covid-19. Berbagai informasi terkait hal ini menyebar secara cepat terutama melalui media sosial.
“Masyarakat melihat dan akhirnya berpikir, jangan sampai ada rekayasa dan semua pasien dijadikan PDP atau dipositifkan. Masyarakat juga mungkin masih mengingat bagaimana kasus mafia industri farmasi di dunia medis," terangnya.
Semua informasi dan akumulasi persoalan ini berujung penolakan dan pembangkangan. Ini harus dijelaskan secara terbuka oleh pemerintah mulai dari bantuan sosial, dana penanganan pandemi, hingga soal perawatan.
Untuk penanganan pandemi, Sawedi juga meminta pemerintah kota/kabupaten diberi kewenangan lebih termasuk soal keuangan, untuk menangani pandemi di wilayahnya. Hal ini karena kondisi sosial budaya dan karakteristik daerah termasuk tingkat keparahan pandemi di setiap wilayah berbeda-beda. Dalam hal ini, pemerintah pusat mestinya hanya memberi arah kebijakan dan pemerintah provinsi lebih menjalankan fungsi koordinasi dan pengawasan.
“Jangan kebijakan pusat disamakan di semua daerah. Di daerah pun, gubernur jangan menguasai seluruh kewenangan karena gubernur sesungguhnya tak punya wilayah. Gubernur mestinya hanya menjalankan fungsi koordinasi dan menjembatani setiap daerah yang memiliki persoalan sama. Setelah itu melakukan pengawasan dan evaluasi,” kata Sawedi.
Sawedi mengingatkan dalam kondisi seperti ini kepemimpinan pemerintah dipertaruhkan. Dia mengingatkan lima falsafah Bugis soal kepemimpinan. Lima falsafah ini adalah acca atau cerdas, artinya memahami segala persoalan yang dihadapi; getteng atau tegas artian satunya kata dan perbuatan.
“Saat pemerintah terkesan mencla-mencle, memberi aturan tapi tidak menegakkannya, masyarakat jadi bingung dan tidak percaya," ungkapnya.
Saat pemerintah terkesan mencla-mencle, memberi aturan tapi tidak menegakkannya, masyarakat jadi bingung dan tidak percaya," ungkapnya. (Sawedi-Sosiolog Unhas)
Falsafah ketiga adalah lempu’ atau jujur. Sawedi mencontohkan, pemerintah mesti mengumumkan penggunaan anggaran jaring pengaman sosial secara transparan. Adapun falsafah keempat yakni temmappasilengeng atau adil. Dalam hal ini, lanjut Sawedi, masyarakat melihat ketidakadilan dalam penanganan pandemi.
"Yang terakhir adalah ade’ tongeng atau berkata benar. Saya kira lima falsafah ini bisa diterapkan di kondisi yang kian mengkhawatirkan saat ini,” katanya.