Industri pariwisata Nusa Tenggara Barat sebenarnya tengah bergairah setelah hampir dua tahun lesu pascagempa bumi Lombok 2018. Pandemi Covid-19 membuatnya kembali terpuruk.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·6 menit baca
Industri pariwisata Nusa Tenggara Barat sebenarnya tengah bergairah setelah hampir dua tahun lesu pascagempa bumi Lombok 2018. Pandemi Covid-19 membuatnya kembali terpuruk. Kini, harapan kembali bangkitnya industri itu ada pada konsep normal baru yang mulai didorong.
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA
Kursi santai yang biasa digunakan wisatawan untuk berjemur, ditumpuk di Kawasan Pantai Selong Belanak, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (16/5/2020). Sejak merebaknya Covid-19, kawasan pantai yang selalu ramai oleh wisatawan mancanegara itu sekarang sepi seperti halnya objek wisata lain di Lombok.
Dampak Covid-19 bagi industri pariwisata di Nusa Tenggara Barat (NTB) mulai terasa sejak minggu ketiga Maret 2020. Padahal, saat itu belum ada kasus positif yang terkonfirmasi di NTB. Senin (16/3/2020), ribuan wisatawan meninggalkan kawasan Tiga Gili, yakni Trawangan, Meno, dan Air di Lombok Utara. Kondisi itu terjadi setelah Pemerintah Provinsi NTB menutup akses kapal dari Bali ke kawasan Gili.
Hampir semua aktivitas wisata terhenti. Pengelola wisata terpaksa merumahkan karyawannya untuk menghindari kerugian. Pasien positif pertama di NTB terkonfirmasi seminggu kemudian, Senin (23/4/2020), memperburuk kondisi pariwisata. Kawasan wisata lain, seperti Senggigi di Lombok Barat, Kota Mataram, dan kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika di Lombok Tengah, ikut terdampak.
Data Dinas Pariwisata NTB menyebutkan, sedikitnya 15.000 pekerja dirumahkan hingga mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Mereka terdiri dari 6.122 karyawan hotel, 1.874 orang di kelompok sadar wisata, 1.357 pemandu perjalanan, 676 pelaku jasa porter, serta 213 orang di homestay. Sejumlah 2.410 pekerja ekonomi kreatif atau industri kecil menengah, 394 orang di sanggar seni, 353 lapak kuliner, 617 anak buah kapal, dan 984 petugas kebersihan, tiket, dan asongan turut terimbas.
Kepala Dinas Pariwisata NTB Lalu Moh Faozal mengatakan, pihaknya mulai merancang pemulihan industri pariwisata dan ekonomi kreatif di NTB. Upaya dilakukan dalam tiga tahap, yakni tanggap darurat, pemulihan, dan normalisasi. Tanggap darurat dilakukan Maret-Mei 2020. Pada fase itu, dampak buruk yang terjadi pada perekonomian masyarakat di sektor pariwisata ditekan, salah satunya berkoordinasi dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta pemerintah kabupaten dan kota.
untuk membantu para pekerja. Selain itu, mendorong kebijakan fiskal bagi pelaku pariwisata berdasarkan permohonan asosiasi. ”Berdasarkan permohonan itu, pihak Kemenparkraf melakukan refocusing anggaran untuk membantu para pekerja yang terdampak. NTB mendapat bantuan kuota 15.000 paket bahan makanan pokok dari Kemenparkraf untuk pekerja yang terdampak,” kata Faozal.
Pada fase darurat, Dinas Pariwisata NTB membangun pusat komando untuk mengidentifikasi dan mengumpulkan data pelaku usaha pariwisata yang terdampak Covid-19 serta menyusun surat edaran gubernur yang ditujukan kepada bupati, wali kota, dan asosiasi kepariwisataan se-NTB. Selain itu, Pemerintah Provinsi NTB melakukan disinfektisasi di kawasan tiga gili dan Kuta Mandalika, menjalin komunikasi dengan pelaku industri pariwisata secara daring, serta mengupayakan keringanan biaya listrik, air, sewa untuk hotel, usaha atraksi, dan pelaku pariwisata.
Fase pemulihan dilakukan Juni-Desember 2020. Pada awal fase pemulihan diterapkan konsep normal baru pada promosi dengan sasaran pariwisata pasar domestik, dengan tetap memperhatikan jarak fisik. Sementara fase normalisasi akan dimulai Januari dan berakhir Desember 2012. Pada fase ini, pemprov berupaya mengembalikan eksistensi kepariwisataan NTB dengan memperbanyak jalur penerbangan udara domestik dan luar negeri.
Normal baru
Pariwisata NTB tengah bersiap memasuki normal baru kala pandemi Covid-19. Akan ada perubahan perilaku untuk bisa menjalankan aktivitas normal, dengan tetap melaksanakan protokol kesehatan guna mencegah Covid-19. ”Prinsip utamanya adalah dapat menyesuaikan dengan pola hidup baru yang baru, seperti melakukan aktivitas sehari-hari. Pola hidup itu ialah dengan mengurangi kontak fisik dengan orang lain, menghindari kerumunan, serta bekerja dan bersekolah dari rumah,” kata Faozal.
Standar Operasional Prosedur Kelaziman Baru Berbasis Kebersihan, Kesehatan, dan Keamanan/CHS (Cleanliness, Health, and Safety) Destinasi Lombok Sumbawa tengah disusun untuk menjadi pedoman bagi pekerja dan pelaku industri pariwisata. Kebersihan destinasi lebih ditekankan pada disiplin dan komitmen semua pihak, mulai dari pemerintah, industri, komunitas, hingga pengunjung.
Kesehatan ditekankan pada ketersediaan klinik, memiliki sertifikat kesehatan yang valid, menyediakan pemeriksaan suhu tubuh, serta fasilitas cuci tangan, penyediaan masker, cairan pencuci tangan, dan disinfektanisasi rutin. Adapun keamanan antara lain lebih menekankan penerapan jaga jarak, kontrol sosial, serta penegakan hukum.
Pada normal baru, pekerja pariwisata harus memiliki sertifikat kesehatan yang resmi, mengenakan masker atau alat pelindung diri yang standar, mengenakan sarung tangan plastik, menerapkan jaga jarak, dan harus mengikuti pelatihan prosedur standar operasi (SOP). Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) NTB Ni Ketut Wolini mengatakan, pihaknya siap mendukung kebijakan pemerintah.
Namun, pemerintah juga harus memastikan bisa menekan penyebaran Covid-19 di NTB. ”Kalau sudah bisa menekan, baru bicara atau melangkah ke yang lain. Kalau kita masih dikondisi seperti ini, bertambah terus, apa pun yang kita bicarakan tidak bisa terealisasi. Orang juga tentu akan berpikir untuk datang ke NTB kalau masih seperti ini,” kata Wolini.
Meski telah menyiapkan prosedur, pelaku wisata lain belum sepenuhnya yakin normal baru akan serta-merta memulihkan pariwisata NTB. ”Syukur-syukur bulan Mei-Agustus tahun depan sudah ada yang berpikir untuk liburan. Jika pun ada, itu mereka yang uangnya berlebih dan bosan di rumah,” kata Ifan Abdillah dari jasa perjalanan wisata #WonderfulLombok.
Perang melawan Covid-19
Sejak kasus positif Covid-19 pertama di NTB diumumkan, 23 Maret 2020, ”perang” melawan pandemi itu di NTB belum berakhir. Alih-alih berkurang, kasus baru justru terus muncul dan mengkhawatirkan, terutama penularan dari transmisi lokal. Kurang tegasnya kepala daerah mengambil sikap, ditambah tidak disiplinnya masyarakat dalam menerapkan prosedur pencegahan, membuat NTB masih harus ”berperang” melawan Covid-19.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB Nurhandini Eka Dewi mengatakan, dari beberapa simulasi, puncak pandemi di NTB diperkirakan pada Juni dan Juli, kemudian mereda pada Agustus. Total kasus pada Agustus di NTB diperkirakan lebih dari 5.000 kasus. Melihat bagaimana masyarakat NTB menyikapi pandemi dan imbauan pemerintah, besar kemungkinan jumlah kasus pada Agustus bisa sesuai prediksi itu. Apalagi saat ini, kasus terus bermunculan. Bahkan, total sudah mencapai 562 kasus.
Keberadaan transmisi lokal sangat mengkhawatirkan. Sejak kasus transmisi lokal pada anak balita pada April lalu, hingga saat ini ada 81 kasus pada transmisi lokal. Terakhir, transmisi lokal juga mengakibatkan 67 tenaga kesehatan di enam rumah sakit dan satu puskesmas di NTB terpapar Covid-19. ”Jika ibarat perang, benteng pertahanan kita sudah roboh, yakni dengan adanya tenaga kesehatan yang positif Covid-19,” kata Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi NTB Lalu Hamzi Fikri.
Adanya tenaga kesehatan yang tumbang menjadi peringatan penting. Mereka yang dilindungi oleh alat pelindung diri (APD) lengkap saja bisa terpapar. Apalagi masyarakat yang abai terhadap protokol pencegahan Covid-19. Efektivitas kebijakan akan sangat bergantung pada komitmen pemerintah, pemangku kepentingan lain, dan masyarakat. Mereka harus berjalan bersama. Jika tidak, penambahan kasus baru akan terus muncul dan ”perang” melawan Covid di NTB semakin lama berakhir.