Ribuan UMKM di Jabar Terdampak Covid-19, Inovasi Harus Jadi Solusi
Ribuan usaha mikro, kecil, dan menengah di Jawa Barat terdampak pandemi Covid-19. Menurunnya daya beli masyarakat membuat penghasilan pelaku UMKM merosot. Inovasi produk dan pemanfaatan platform digital jadi solusi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA/ABDULLAH FIKRI ASHRI
·5 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Ribuan usaha mikro, kecil, dan menengah di Jawa Barat terdampak pandemi Covid-19. Menurunnya daya beli masyarakat membuat penghasilan para pelaku UMKM anjlok. Inovasi produk dan pemanfaatan platform digital menjadi solusi untuk bangkit dalam situasi sulit.
Berdasarkan pendataan UMKM Crisis Centre Asosiasi Business Development Services Indonesia (ABDSI), sekitar 87 persen dari 1.569 UMKM di Jawa Barat merupakan usaha mikro beromzet kurang dari Rp 300 juta per tahun. Ketika pandemi, UMKM tersebut sulit bertahan. Sejumlah 44 persen UMKM pun terpaksa merumahkan pekerjanya untuk sementara waktu. Ada juga yang mengurangi jumlah pekerja dan menurunkan upah.
Menurut Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Jabar Kusmana Hartadji, tercatat 1.569 UMKM terdampak pandemi Covid-19. Mayoritas di antaranya merupakan sektor kuliner, pedagang kaki lima, usaha wisata, dan jasa kreatif.
”UMKM didorong berinovasi menyesuaikan dengan kebutuhan saat ini. Pelaku usaha di bidang garmen, misalnya, bertahan dengan memproduksi masker kain yang sedang banyak dicari,” ujarnya di Bandung, Rabu (3/6/2020).
Selain inovasi produk, pemanfaatan platform digital juga sangat penting untuk menjangkau pasar lebih luas. Apalagi, selama pandemi Covid-19, proses jual beli secara langsung dibatasi untuk mengurangi risiko penyebaran virus korona baru (SARS-CoV-2), penyebab Covid-19.
Menurut Kusmana, 20 persen dari 4,6 juta UMKM di Jabar sudah mengakses pasar digital. Namun, di beberapa daerah terpencil, pemanfaatan platform ini masih terkendala koneksi internet.
”Bimbingan teknis kepada pelaku UMKM untuk menggunakan platform digital terus digulirkan, baik melalui aplikasi Zoom (konferensi video) maupun bertemu langsung dengan menerapkan protokol kesehatan,” jelasnya.
Kusmana menambahkan, untuk membantu pelaku UMKM, pemerintah pusat merelaksasi restrukturisasi kredit. Hal ini di antaranya meliputi penundaan cicilan, insentif pajak, dan subsidi pembayaran bunga kredit.
”Kami juga sedang merintis badan layanan umum daerah untuk menyalurkan dana bergulir bagi UMKM yang terdampak pandemi Covid-19,” ujarnya.
Pasar daring dapat menjadi solusi bagi UMKM. Rektor Universitas Padjadjaran Rina Indiastuti menilai pandemi Covid-19 telah mengubah perilaku konsumen dengan berbelanja secara daring. ”Ini peluang agar tetap bertahan di tengah pandemi Covid-19 yang belum tahu kapan berakhir,” katanya.
Sebelumnya, dalam webinar ”Strategi Survival di Masa Covid-19: Upaya Adaptasi Usaha Mikro Kecil”, Jumat (15/5/2020), Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki mengatakan, UMKM perlu menyiapkan sejumlah hal untuk masuk ke pasar daring. Beberapa di antaranya ketersediaan produk dan kemampuan mendistribusikan barang secara nasional. Hal ini untuk menjaga kredibilitas usaha di mata pelanggan.
”Di pasar daring, konsolidasi brand di antara UMKM sangat menentukan. Ini penting untuk bersaing dengan brand besar sekaligus agar kapasitas produksi memadai,” ujarnya.
Bantuan UMKM
Di Kota Cirebon, sebanyak 1.750 pelaku UMKM menerima bantuan uang tunai sebesar Rp 600.000 per bulan selama tiga bulan. ”Bantuan tahap ketiga akan diberikan pada akhir Juni,” ujar Kepala Dinas Perdagangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Kota Cirebon Maharani Dewi.
Bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Cirebon itu merupakan stimulus ekonomi terhadap pelaku usaha, bukan untuk konsumsi. Pandemi Covid-19 sejak Maret menurunkan omzet pedagang. Bahkan, tidak sedikit yang berhenti berjualan. Bantuan diberikan setiap bulan, yakni April hingga Juni.
”Kami tidak bisa bicara apakah (bantuan) ini mencukupi atau tidak. Jumlah Rp 600.000 per bulan itu juga mengacu pada bantuan Kartu Prakerja, tetapi tidak termasuk biaya pelatihan. Pelaku usaha saat ini membutuhkan bantuan dana segar. UMKM sudah terlatih di bidangnya,” paparnya.
Maharani mencontohkan, bantuan Rp 600.000 sudah pas untuk UMKM, seperti penjahit. Di tengah sepinya pelanggan, para penjahit kini membuat masker. ”Modal bahannya Rp 550.000 untuk 100 masker atau satu masker Rp 5.500. Setelah jadi, masker dijual Rp 7.000 per buah. Mereka masih untung,” ujarnya.
Maharani mengklaim, berdasarkan survei internal, bantuan telah mencakup seluruh UMKM dan PKL. Awalnya, pihaknya menyiapkan bantuan kepada 3.200 UMKM dan PKL. ”Tetapi, setelah kami survei di lapangan, yang lain sudah menerima bantuan sosial dari Kementerian Sosial. Jadi, 1.750 rumah tangga itu belum menerima bantuan,” ungkapnya.
Uun Unery, anggota Dewan Pembina Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Kota Cirebon, mengapresiasi langkah Pemerintah Kota Cirebon memberikan stimulus kepada UMKM dan PKL. Namun, sebagian besar pelaku usaha sudah tekor jauh sebelum menerima bantuan.
”Akhirnya, rata-rata (bantuan) dipakai buat kebutuhan makan,” kata Uun yang juga mengelola UMKM sirup mangga.
Menurut dia, belum semua UMKM di Kota Cirebon menerima bantuan stimulus ekonomi meski pemkot menyalurkan bantuan untuk 850 UMKM. Adapun jumlah UMKM di Kota Cirebon hingga akhir 2019 mencapai 2.541 usaha.
”Seharusnya pemerintah bisa memfasilitasi kredit modal kerja dengan bunga rendah. Bahkan, kalau perlu tanpa bunga. UMKM juga perlu mendapatkan akses pasar online,” katanya.
Di Kabupaten Kuningan, sekitar 4.600 UMKM dan PKL telah terdata untuk menerima bantuan stimulus ekonomi dari pemerintah kabupaten setempat. Bantuannya berupa modal, pelatihan, dan pemasaran produk.
”Sekitar 1.800 UMKM dan PKL sudah menerima bantuan. Selebihnya masih dalam proses. Kami menyiapkan Rp 9 miliar untuk pemulihan ekonomi,” kata Sekretaris Daerah Kabupaten Kuningan Dian Rachmat Yanuar.
Meski demikian, bantuan tersebut belum mencakup seluruh UMKM dan PKL di Kuningan yang mencapai 11.000 usaha. Berdasarkan pendataan, sekitar 20 persen dari jumlah itu terpaksa berhenti berjualan akibat pandemi. Selebihnya mengalami penurunan omzet hingga 40 persen.
Dian mengakui, pihaknya terbatas dalam hal anggaran untuk membantu pelaku usaha. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, misalnya, dipastikan turun dari Rp 3 triliun menjadi Rp 2,6 triliun. Pendapatan asli daerah juga turun dari Rp 323 miliar menjadi Rp 311 miliar.