Perjuangan Liputan Pascatsunami di Pulau Babi
Pengalaman Wartawan Kompas Khaerul Anwar meliput gempa di Flores dan Pulau Babi, Nusa Tenggara Timur. Khaerul berjuang untuk meliput di tengah keterbatasan sumber daya pendukung dan gangguan pencernakan.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2FGEMPA-BUMI-DI-FLORES8-05_1590599118.jpg)
Gempa bumi dan air laut pasang menghancurkan perkampungan di Pulau Babi, NTT, Minggu (13/12/1992)
“Kamu berangkat ke Maumere, ada gempa dan tsunami disana,” kata wartawan senior Harian Kompas, Dirman Thoha, Sabtu (12/12/1992) sore. Sebagai seorang wartawan yang berstatus sebagai koresponden lepas, saat itu, saya katakan siap seratus persen, meski bingung, apa yang mau dikerjakan, lantaran jam terbang masih seumur jagung. Selain itu, Kota Maumere, Ibu Kota Sikka, Nusa Tenggara Timur, itu ‘asing’ bagi saya, baru sebatas melihatnya melalui Peta Indonesia.
Apalagi selama dua tahun jadi wartawan, saya lebih banyak liputan di ‘zona aman’ seperti wawancara Pejabat Instansi/Dinas, anggota DPRD, nyanggong di Kantor Pengadilan, Kantor Polres dan lainnya di Kota Mataram. "Jadi wartawan tidak cukup keluar-masuk kantor instansi, tetapi kamu harus kuat dan gali persoalan di lapangan,” ujar Dirman Thoha, yang menjadi guru dan bapak, selalu menyemangati saya menjalankan tugas-tugas jurnalistik.
Saya berangkat dari Mataram, Lombok, Ibu Kota Nusa Tenggara Barat, Minggu malam, melalui Pelabuhan Lembar, Lombok Barat, menumpang kapal feri ke Pelabuhan Padangbai, Bali. Di atas kapal saya menyiapkan rencana liputan, dan istirahat biar ada energi untuk liputan esok harinya. Setelah berlayar sekitar empat jam, kapal merapat di dermaga Padangbai saat azan salat subuh. Usai salat subuh, saya turun kapal, dan bertemu dengan seorang tetangga di Mataram. Ia bersedia mengantar saya ke Bandara Ngurah Rai, lalu melanjutkan perjalanan mudik ke Yogyakarta.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2FWhatsApp-Image-2020-05-28-at-00.02.25_1590599133.jpeg)
Artikel mengenai gempa dan tsunami yang terjadi di Flores, Nusa Tenggara Timur, pada 12 Desember 1992.
“Bapak mau ke Maumere ya? Kan lagi ada bencana di sana,” ujar seorang gadis cantik sewaktu saya check in sebelum terbang menumpang pesawat Merpati rute Ngurah Rai-Bandara Wai Oti, Maumere, Minggu (13/12/1992) pagi. Saya cuma tersenyum, bergidik dalam hati, “memang itulah (dampak bencana) jadi sasaran saya kesana”. Namun, bencana itu membuat kursi pesawat hanya diisi beberapa orang penumpang.
Gempa bermagnetudo 6,8 Skala Richter – versi Lembaga Geofisika di Strasbourg (Perancis) mencatat 7.5 SR- menghantam Pulau Flores bagian tengah dan timur, sekitar pukul 13.29 WITA (12.29 WIB). Di atas pesawat sudah terbayang akibat gempa tektonik dahsyat, yang memicu longsor di bawah laut dan diikuti tsunami mencapai radius 300 meter ke daratan Kota Sikka. Dua pulau kecil di lepas pantai Maumere, yaitu daratan Pulau Babi dan Pamana Besar, termasuk sebagian besar dari 2.000 penduduk dua pulau itu diberitakan tewas ditelan gelombang pasang.
Banjir air mata
Setelah sekitar dua jam penerbangan saya tiba di Bandara Wai Oti. Di bandara suasana pascabencana terasa. Hanya beberapa petugas menurunkan-naikkan barang dari-ke pesawat, ditambah seorang petugas pemandu pilot untuk memarkir pesawat di apron. Dari bandara saya jalan kaki ke Pusat Kota Maumere karena jalan sepi dari lalu-lalang kendaraan roda dua dan roda empat.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2FFC-01435-27-GIR015_1590599093.jpg)
Gempa dahsyat berkekuatan 7,5 pada skala Richter diikuti gelombang pasang dan menerjang sejauh 300 meter ke daratan, Sabtu (12/12/1992) menghantam bagian tengah dan timur Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Kerusakan parah terjadi di Kaputan Sikka (Maumere) dan Kabupaten Ende, dan menewaskan lebih dari 1.000 orang, dan dipastikan akan terus bertambah.
Bangunan rumah warga dan perkantoran umumnya rubuh, rusak berat, termasuk Kantor Bupati Sikka yang hampir seluruh bagiannya retak. Banyak jalan retak, menganga, semua toko tutup. Beberapa wisatawan mancanegara antre tiket pesawat di bandara itu meninggalkan Kota Sikka, karena semua penginapan dan rumah makan tutup.
Kota Maumere hari itu banjir air mata duka-cita. Ada perasaan sungkan menggali informasi dari masyarakat yang diliputi suasana duka. Raut wajah sedih dan tangis warga di depan rumahnya yang rusak, mendominasi suasana kota itu. Banyak pula warga bergerombol di sebuah ruko yang konstruksi bangunannya miring, dan sebagian ambruk. Saat terjadi gempa dan tsunami banyak petugas dan warga yang berbelanja di toko itu terjebak.
Bahkan pada malam hari tempat terbuka dan lapangan kota itu dipenuhi tenda warga yang mengungsi. Terdengar suara mereka melakukan kebaktian, menyanyikan lagu rohani, diterangi temaram lampu lilin. Begitu pun di Rumah Sakit Sikka, Minggu siang terlihat jenazah disemayamkan di halaman karena kapasitas tempat tidur dan kamar mayat yang terbatas dibanding jumlah korban.
Terasa perang batin bertanya di tengah isak tangis warga yang kehilangan suami, isteri, anak dan keluarganya akibat bencana itu. Saya sempat tertegun sejenak, lalu sadar, perang batin itu harus saya singkirkan, untuk kemudian mewawancarai para warga terdampak, demi menjaga akurasi informasi. Celaka tiga belas, ketika kamera Nikon FM 2 saya keluarkan dari tas justru jatuh ke aspal. Mirror atau cerminnya yang memantulkan cahaya dari viewfinder terlepas. Pupus sudah harapan merekam momen penting, apalagi hari kedua pascagempa, saya satu-satunya wartawan Surat Kabar Nasional di lokasi bencana. Saya sudah siap kena semprot para petinggi Desk Daerah saat itu.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2FFC-01435-27-GIR012_1590599075.jpg)
Gempa dahsyat berkekuatan 7,5 pada skala Richter diikuti gelombang pasang dan menerjang sejauh 300 meter ke daratan, Sabtu (12/12/1992) menghantam bagian tengah dan timur Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Kerusakan parah terjadi di Kaputan Sikka (Maumere) dan Kabupaten Ende, dan menewaskan lebih dari 1.000 orang, dan dipastikan akan terus bertambah.
Di tengah bayang-bayang kena marah itu, saya bertemu almarhum Kartono Riyadi, fotografer Kompas yang berinisial KR. yang kemudian membenahi kamera saya. Setelah diutak-atik sebentar, kamera dapat digunakan lagi. Alhamdulillah, Kartono merupakan maestro fotografer dan juga ahli memperbaiki kamera. Mas KR bersama wartawan senior Kompas, Ansel Da Lopez, datang ke Maumere, menumpang pesawat carter dari Jakarta.
Dalam pertemuan singkat itu, Ansel yang baru saja menjenguk keluarganya di Maumere, memberi saya nasi dan kue untuk mengganjal perut yang keroncongan dari Ngurah Rai. Sedangkan, Kartono menyerahkan seluruh negatif film warna dan hitam-putih untuk saya gunakan jeprat-jepret di lapangan. Karena ‘sangu’ negatif film lumayan banyak, saya bebas memainkan tuas pengokang film (winding lever) kamera, merekam kejadian kejadian-kejadian menarik.
Untuk mengirim negatif film hasil jepretan, saya harus menggunakan jasa ekspedisi di Bandara Wai Oti. Dengan pesawat udara negatif film bisa sampai di Bandara Soekarno-Hatta, hari itu asalkan menggunakan penerbangan pertama (pagi). Negatif film itu diambil petugas Rumah tangga Kompas di Bandara Soekarno-Hatta.
Komunikasi dengan Kantor hanya melalui telepon di Kantor Telepon Kota Maumere, dan harus antre dengan pengguna lain. Belum ada handphone, laptop pun masih jarang. Saya baru tahu nama laptop dari Budiman Tanuredjo yang membawanya dari Jakarta, saat dia liputan di Maumere. Kalau tidak salah laptop itu merek Toshiba yang beratnya lebih satu kilogram.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2FFC-01435-27-GIR006_1590599061.jpg)
Gempa dahsyat berkekuatan 7,5 pada skala Richter diikuti gelombang pasang dan menerjang sejauh 300 meter ke daratan, Sabtu (12 Desember 1992) menghantam bagian tengah dan timur Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Kerusakan parah terjadi di Kaputan Sikka (Maumere) dan Kabupaten Ende, dan menewaskan lebih dari 1.000 orang, dan dipastikan akan terus bertambah.
Laporan ditulis menggunakan mesin tik, atau tulis tangan, lalu dikirim melalui faksimile atau telex, selain berbicara melalui pesawat telepon dengan Redaktur dan Editor Desk Daerah (kini Desk Regional). Di Kantor Telepon itu saya bertemu rekan Pascal Bin Saju, yang saat itu menjadi staf Yayasan Karya Sosial Maumere, yang membantu liputan untuk Kompas dan kini menjadi wartawan Kompas.
Hari Senin sore (14/12/1992), saya ikut Kapolda Nusa Tenggara (saat itu) Mayjen Pol Hindarto meninjau Pulau Babi dengan helikopter TNI AU yang mendarat lembah sebuah bukit. Semua penduduk pulau itu mengungsi ke atas bukit, tidur beratapkan langit, karena seluruh rumah di dekat pantai rata tanah digulung gelombang pasang air laut.
Ketika helikopter mendarat, masyarakat berhamburan turun dari bukit. Mereka menangis dan berebut mengambil makanan cepat saji yang sempat dibawa saat itu. Mereka memakannya mentah-mentah. Mayjen Hindarto harus menjaga keseimbangannya karena puluhan warga serentak merangkulnya. Dalam kunjungan sekitar 10 menit itu, di sebelah barat Pulau Babi, terlihat sisa-sisa reruntuhan rumah panggung, dan kerumunan lalat dalam jumlah banyak yang mengindikasikan ada jenazah di bawah rumah panggung itu.
Tertinggal
Saya kembali ke Pulau Babi dua hari kemudian menumpang perahu bersama pasukan TNI AD dan beberapa tokoh agama untuk melakukan penguburan massal di pulau berpasir putih itu. Suasana pulau itu bikin merinding, sepi, memilukan, hanya tiupan angin laut yang sesekali menerpa tubuh. Hanya satu kubah masjid yang teronggok, yang menandakan lokasi adalah kampung warga.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2FFC-01428-II-25-IDN025_1590599050.jpg)
Tidak ada kehidupan di Pulau Babi karena tsunami telah menyapu rumah panggung di pulau yang dihuni seribu jiwa penduduk itu, pada Sabtu (12/12/1992). Foto diambil dari pesawat pada Minggu (13/12/1992)
Selebihnya sepanjang mata memandang adalah pasir putih dan warna laut biru-pekat, pertanda perairan itu sangat dalam. Hanya para prajurit TNI AD yang kerja keras menyisir pulau seluas 2,5 kilometer persegi itu dan menguburkan jenazah yang ditemukan. Jenazah korban gelombang setinggi pohon kelapa itu, terseret –selain ada yang tersangkut di pohon- terkubur di pasir. Di reruntuhan sebuah rumah panggung ada jenazah seorang ibu yang perutnya tertancap sebilah bambu. Memilukan.
Asyik merekam suasana, ternyata saya tertinggal rombongan TNI yang menyisir habis Pulau Babi. Tidak terlihat pula perahu yang mengangkut pasukan semula parkir di tempat berlabuh saat kedatangan. Mau mengejar rombongan, tidak tahu kemana. Timbul pula keraguan kalau aktivitas penguburan selesai dan rombongan meninggalkan pulau yang berjarak sekitar lima kilometer dari Kota Maumere itu.
Saya akhirnya pasrah, duduk menggelepar seorang diri di pinggir Pantai Pulau Babi. Pikiran saya menggelayut ke hal-hal yang negatif. Jangan-jangan ada makhluk tidak kasat mata yang menemani saya duduk, bagaimana kalau sampai malam saya sendirian di pulau yang mendadak sunyi itu. Saya mengarahkan pandangan ke hamparan pasir dan air laut jernih pulau itu. Saya pun berandai-andai, panorama alam laut dan pesisir itu sudah cukup menjadikan pulau itu sebagai obyek wisata.
Sekitar 30 menit kemudian muncul ‘keajaiban’. KRI Martha Christina Tiahahu (kalau tidak salah ingat) melakukan patroli di perairan Pulau Babi. Lambaian sapu tangan saya mengundang para awak TNI AL dengan sekocinya mendekat dan membawa saya ke KRI itu. Sekitar pukul 20.00 wita, saya kembali ke daratan Maumere. Itu setelah awak KRI berkomunikasi melalui radio panggil dengan beberapa pihak di daratan Maumere. Seorang rekan wartawan – lewat radio panggil - menginformasikan segera mengirim kapal motor untuk mengevakuasi saya dari KRI ke Maumere.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2FWhatsApp-Image-2020-05-28-at-00.02.41_1590599145.jpeg)
Artikel mengenai gempa dan tsunami yang terjadi di Flores, Nusa Tenggara Timur, pada Desember 1992.
Diare
Hari-hari berikutnya diisi kegiatan liputan sepanjang hari di Kota Maumere sekitarnya. Larut malam–setelah berebutan line telepon dengan ratusan wartawan dalam dan luar negeri di Kantor Telepon untuk mengirim berita, saya pulang ke sebuah hotel. Seperti biasanya, saya dan wartawan lain tidur gelar kasur di teras hotel itu.
Pasalnya beberapa hari pascagempa sering terjadi gempa susulan. Kalau tidur di kamar hotel, bila terjadi gempa susulan. mesti buka pintu kamar dulu, lalu terbirit-birit ke halaman hotel. Kami ‘potong kompas’ dengan tidur di teras, agar lebih cepat ngacir saat terjadi gempa. Selama semiggu menginap di hotel itu, pemiliknya menggratiskan sewa kamar bagi para tamunya.
Pengalaman paling konyol karena kesalahan sendiri adalah saya menderita diare. Semalam sebelum ke Pulau Babi, saya diajak nginap dan makan malam seorang teman karyawan BUMN di kantornya, sekalian mandi dan ganti baju yang melekat di badan selama tiga hari. Menunya bikin nafsu makan: lalapan dan sambal pedas, Itulah waktu \'perbaikan gizi\' setelah beberapa hari perut terisi makanan cepat saji, dan makanan ala kadarnya. Mau beli makanan untuk ganjal perut, tidak ada pedagang yang menjual. Warga dan pedagang masih trauma dengan bencana itu.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2F20120618nutz38_1590600085.jpg)
Koban selamat dari bencana gempa bumi dan tsunami Pulau Babi, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, 1992 menunjukkan lokasi bekas rumah miliknya yang rata dengan tanah, Sabtu (26/5/2012). Pascabencana, warga tidak lagi tinggal di pulau itu.
Makan enak pedas itu bereaksi di pagi hari saat saya akan berangkat ke Pulau Babi untuk ketiga kalinya. Isi perut seakan meronta-ronta minta dikeluarkan. Akhirnya saya cari tempat tersembunyi di Pelabuhan Maumere untuk buang air besar (BAB) di tepi laut. BAB berkali-kali berlanjut di KRI itu, sampai tubuh teras lemah-lunglai. Perut baru beranjak normal setelah diberi beberapa butir tablet manjur oleh petugas kesehatan KRI itu.
Begitulah ‘tidur tak nyenyak, makan tak enak’ di daerah bencana adalah risiko yang harus diantipasi, biar fisik kuat, tegar dan tahan banting. Makanya sebelum berangkat, kecuali membawa kamera dan peralatan jurnalistik lainnya, juga harus tegar, kuat fisik dan tahan banting.
Caranya bawalah obat-obatan standar untuk antisipasi bila terkena pusing, flu, pilek, masuk angin, dan gangguan percernaan. Jagalah pula makanan kalau tidak mau mengalami gangguan pencernaan.