Petani Kopi Arabika di Solok Selatan Kesulitan Jual Hasil Panen
Para petani kopi arabika di Solok Selatan, Sumatera Barat, kesulitan menjual hasil panen akibat pandemi Covid-19 tiga bulan terakhir. Hasil panen petani tidak tertampung oleh prosesor dan harganya anjlok.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS -- Para petani kopi arabika di Solok Selatan, Sumatera Barat, kesulitan menjual hasil panen akibat pandemi Covid-19 tiga bulan terakhir. Hasil panen petani tidak tertampung oleh prosesor dan harganya anjlok. Petani berharap pemerintah bisa mengintervensi harga agar petani tidak merugi.
Kristiono (48), Ketua Kelompok Tani Camintoran Sepakat, Selasa (2/6/2020), mengatakan, harga kopi arabika merah baru dipetik (cherry) sempat anjlok menjadi Rp 4.000 per kilogram sekitar tiga bulan. Baru seminggu terakhir harga cherry naik menjadi Rp 5.000 per kilogram. Dalam kondisi normal, harga cherry sekitar Rp 10.000 per kilogram.
“Harganya memang naik Rp 1.000 tetapi itu tidak maksimal. Banyak petani patah semangat dengan harga seperti saat ini. Jika dibiarkan terus, akan banyak yang tumbang,” kata Kristiono, petani kopi arabika di Jorong Bukit Malintang Barat, Nagari Lubuk Gadang, Kecamatan Sangir, Solok Selatan, ketika dihubungi dari Padang.
Menurut Kristiono, harga kopi saat ini tidak sebanding dengan biaya perawatan dan biaya panen kopi. Akhirnya, sebagian anggota kelompok tani memilih untuk tidak panen. Buah kopi dibiarkan menghitam dan rontok dari batang. Sebagian kebun anggota kelompok tani juga tidak terawat.
Kristiono melanjutkan, ia mulai menggarap kopi arabika sekitar empat tahun terakhir. Luas kebunnya hingga saat ini sekitar 1 hektar tetapi hasil panen belum maksimal. Sekali dalam 15 hari, hasil panen Kristiono sekitar 300 kilogram. Adapun anggota Kelompok Tani Camintoran Sepakat berjumlah 23 orang. Luas kebun anggota kelompok berkisar 0,5-2 hektar.
Kasimo (49), Ketua Kelompok Tani Sumber Rezeki, mengatakan, harga cherry memang mulai naik tetapi belum maksimal. Sejak ada prosesor yang berani membeli harga cherry Rp 6.000 per kilogram, harga cherry di prosesor lainnya mulai naik menjadi Rp 5.000 per kilogram.
“Memang harganya naik tetapi belum stabil. Stabilnya Rp 8.000 ke atas per kilogram. Tapi harga cherry Rp 6.000 per kilogram, dengan mengajak (mengupah) orang untuk panen, setidaknya ada lebihnya sedikit buat petani,” kata Kasimo, petani kopi arabika di Jorong Bukit Malintang Timur, Nagari Lubuk Gadang.
Kasimo mengaku, harga rendah sangat berdampak bagi petani kopi arabika di Solok Selatan. Apalagi kebun kopi arabika merupakan penghasilan utama mereka.
Kata Kasimo, banyak petani di sekitarnya membiarkan buah kopi rontok di batang karena tidak sanggup mengupah orang untuk memetik. Sementara itu, untuk memetik sendiri, petani tidak sanggup karena kebun relatif luas.
Meskipun kondisinya demikian, Kasimo memilih tetap panen karena ini merupakan penghasilan utama. Ia juga khawatir kebun yang sudah digarap dengan baik sejak 2014 rusak jika tidak dipanen dan tidak dirawat.
Menurut Kasimo, jumlah anggota Kelompok Tani Sumber Rezeki sebanyak 23 orang. Luas kebun milik anggota berkisar 1-3 hektar. “Kami berharap pemerintah bisa mengintervensi sehingga harga kopi kembali stabil,” ujar Kasimo.
Kami berharap pemerintah bisa mengintervensi sehingga harga kopi kembali stabil. (Kasimo)
Ketua Kelompok Pecinta Alam Winalsa, Abdul Aziz, mengatakan, kelompoknya bersama Walhi Sumbar mendirikan Rumah Prosesor Kopi Rakyat untuk menampung cherry petani sejak 22 Mei 2020 dengan harga Rp 6.000 per kilogram. Namun, ternyata jumlah cherry yang dijual petani sangat banyak sehingga kelompok tidak dapat menampung.
“Dalam seminggu, cherry yang terkumpul sekitar 3,5 ton. Sekarang kami berhenti membeli sekitar seminggu sembari menyiapkan green house (tempat penjemuran) baru. Satu green house kami sudah penuh,” kata Aziz.
Aziz menjelaskan, anjloknya harga karena prosesor kopi arabika di Solok Selatan masih skala kecil. Prosesor hanya menjual kopi ke kedai-kedai kopi/kafe ataupun secara daring. Sementara kopi arabika merupakan komoditas ekspor.
Kopi arabika di Solok Selatan, kata Aziz, juga belum memiliki indikasi geografis dan belum memiliki koperasi besar untuk menampung hasil panen. Padahal, saat ini merupakan masa panen raya kopi arabika di perkebunan sekitar kaki Gunung Kerinci itu.
Aziz berharap pemerintah daerah bisa mendukung petani dan prosesor mulai dari pemasaran, permodalan, pengurusan indikasi geografis, dan pembentukan koperasi. Dengan demikian, potensi perkebunan kopi arabika yang dikembangkan di Solok Selatan oleh petani sekitar lima tahun terakhir bisa maksimal.
Ketua Asosiasi Kopi Minang Atilla Majidi mengatakan, dalam situasi seperti ini, pemerintah harus turun tangan. Jumlah prosesor harus diperbanyak agar hasil panen raya bisa tertampung. Pemerintah daerah bisa melibatkan perusahaan daerah.
Menurut Atilla, petani sudah berhasil membudidayakan kopi arabika di Solok Selatan dan asosiasi sudah berhasil memperkenalkannya. Hal itu semestinya tidak disia-siakan. Harus ada sinergi antara petani, pengusaha, dan pemerintah.
Kopi arabika, kata Atilla, masih sangat potensial untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Apalagi saat ini, pemerintah sedang berupaya menghentikan kegiatan pertambangan emas ilegal dan pembalakan liar di Solok Selatan. “Kopi ini emas hijau. Atau emas merah, sesuai warnanya (cherry),” kata Atilla.
Kepala Dinas Pertanian Solok Selatan Del Irwan mengatakan, pada masa pandemi Covid-19 ini, dinas hanya mampu membantu dengan menghubungkan petani dengan pembeli. Untuk kegiatan, dinas tidak bisa mengadakan karena anggaran dinas sudah terpangkas untuk penanganan Covid-19 di Solok Selatan.
Berdasarkan data Dinas Pertanian Solok Selatan, jumlah petani kopi arabika di kabupaten itu sebanyak 360 orang yang tersebar di kaki Gunung Kerinci. Luas wilayah perkebunan sekitar 1.021 hektar, yaitu 658 hektar sudah menghasilkan dan 363 hektar belum menghasilkan. Dalam dua bulan terakhir, produksi kopi yang sudah dikelupas dan dijemur (green bean) mencapai 162 ton.
Del melanjutkan, proses pengurusan indikasi geografi untuk kopi arabika Solok Selatan sebenarnya merupakan prioritas dinas dan sudah mencapai 70 persen. Dalam situasi normal, proses pengurusan bisa selesai sekitar dua bulan lagi. Akan tetapi, karena ada pandemi Covid-19, semua kegiatan terhenti.
“Proses pengurusan tetap akan dilanjutkan jika wabah Covid-19 ini sudah selesai. Mudah-mudahan pertengahan 2021 bisa selesai kalau ada anggaran. Untuk koperasi, diharapkan adanya MPIG (masyarakat perlindungan indikasi geografis) bisa menjadi cikal bakal lahirnya koperasi,” kata Del.