Konsep "Jogo Tonggo"menjadi strategi meredam laju pandemi Covid-19 di Jawa Tengah. Alih-alih perang frontal, kebijakan ini pada prinsipnya menggugah kesadaran dan soliditas warga mulai dari tingkat terbawah.
Oleh
GREGORIUS M FINESSO/ADITYA PUTRA PERDANA/KRISTI UTAMI
·6 menit baca
Saat kebanyakan provinsi di Pulau Jawa memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar guna melawan pandemi Covid-19, Jawa Tengah menerapkan strategi berbeda. Bak mengadopsi seni perang Sun Tzu, ahli strategi perang China kuno, Gubernur Ganjar Pranowo dan jajarannya mencoba meraih kemenangan tanpa pertempuran frontal.
Dalam buku The Art of War-The Book of Lord Shang (1998), Sun Tzu (544 SM-496 SM) mencatat, salah satu kesempurnaan dalam meraih kemenangan adalah tanpa peperangan frontal. Untuk menghindari kerugian besar, pertimbangan strategis menjadi elemen penting menundukkan musuh. Siapa yang dapat mengenali dirinya sendiri dan lawan secara mendalam, ia di jalan yang benar menuju kemenangan.
Jika diibaratkan, manusia kini sedang berperang melawan pandemi Covid-19. Isolasi wilayah (lockdown) menjadi strategi perang frontal yang memakan biaya paling besar. Sementara PSBB dapat dipahami pula sebagai perang dengan tingkat kerugian medium, tak sebesar lockdown.
Namun, di Jateng, strategi yang dipilih menitikberatkan pada pencegahan, dengan menggugah kesadaran warga hingga tingkat bawah. Menurut Ganjar, pada prinsipnya, pencegahan Covid-19 dapat didekati dari dua sisi, persuasif edukatif dan regulatif. “Kuncinya, warga bisa paham penggunaan masker, pembatasan fisik dan aktivitas, serta kebersihan diri. Kalau itu semua bisa disadari, maka PSBB atau tidak, sama saja,” ungkapnya.
Sejak awal Mei, Ganjar memunculkan konsep “Jogo Tonggo”. Gerakan yang dibuat untuk saling menjaga dari mata rantai terdekat. Singkatnya, mengoptimalkan sistem jaring pengaman sosial, kesehatan, hingga ekonomi sejak tingkat terbawah yakni RT, RW, dan desa/kelurahan.
Namun, seberapa efektif kebijakan non-PSBB di Jateng? Sejak kasus pertama Covid-19 di Jateng terkonfirmasi pekan kedua Maret pada dua pasien di RSUD Dr Moewardi Solo, hingga awal Mei, virus korona baru telah menular ke seluruh 35 kabupaten/kota.
Hingga Jumat (29/5/2020) pukul 24.00 WIB, dari 1.412 kasus positif virus korona baru di Jateng, 562 orang masih dirawat (39,8 persen), 753 sembuh (53,3 persen), dan 97 meninggal (6,87 persen). Kasus kumulatif terbanyak masih berada di Kota Semarang, Kabupaten Magelang, Purworejo, Purbalingga, dan Temanggung.
Sejak awal Maret, laju penambahan kasus dalam skala bulanan masih besar. Dari grafik akumulasi di laman corona.jatengprov.go.id, 8 Maret-8 April, tercatat 59 kasus positif Covid-19. Adapun 8 April-8 Mei ada penambahan 542 kasus. Sejak 8 Mei hingga 29 Mei, tercatat 811 tambahan kasus.
Meski demikian, persentase pasien sembuh dibandingkan angka kasus juga bertambah. Jika dari 8 Maret-8 April tercatat 39 persen, maka pada 8 April-8 Mei meningkat menjadi 46 persen, dan dari 8 Mei hingga 29 Mei menjadi 59 persen.
Namun, rata-rata harian pasien meninggal masih fluktuatif. Pada 8 Maret-8 April sebanyak 27 orang (kurang dari 1 pasien meninggal per hari), kemudian bulan berikutnya tercatat 48 (1,6 orang meninggal per hari), dan pada 8-29 Mei, terdapat 22 orang (lebih dari 1 orang meninggal per hari).
Idul Fitri
Ujian untuk kebijakan "kendur" non-PSBB kian berat menjelang Idul Fitri. Salah satu contohnya di Kota Semarang yang menerapkan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM). Selama PKM, kegiatan warga dibatasi termasuk bisnis. Namun, kurang ketatnya penapisan membuat pertahanan jebol juga.
Pada masa PKM, jumlah pasien positif Covid-19 yang dirawat menurun hingga 49 orang pada 13 Mei. Namun, angkanya kembali naik, terutama menjelang Idul Fitri. Pada Kamis (28/5/2020) data Pemkot Semarang menunjukkan ada 88 pasien positif dirawat. Terakhir, pasar ikan Rejomulyo menjadi kluster penularan lokal. Tercatat, 26 pedagang positif Covid-19. Pasar pun ditutup.
Belakangan, Pemkot Semarang menggencarkan tes masif, baik rapid test maupun swab, antara lain di pasar tradisional dan mal. Sejumlah kasus reaktif Covid-19 pun terdeteksi. Jika positif tes swab, langsung diisolasi.
Potret kasus Kota Semarang juga tecermin di tingkat provinsi. Di Jateng, tren kenaikan kasus juga terjadi sepekan menjelang Lebaran. Kenaikan tertinggi pada 16 Mei dengan 40 kasus. Dua hari menjelang Idul Fitri, juga terjadi penambahan 31 kasus dalam sehari.
Kenaikan itu antara lain karena banyaknya warga berbelanja keperluan Lebaran, termasuk dari THR dan bantuan tunai. Belum lagi, Jateng juga daerah dengan tujuan mudik terbanyak.
Sejak 26 Maret hingga 28 Mei 2020, tercatat 927.401 pemudik masuk Jateng. Sebanyak 413.064 orang beralasan usahanya sepi, 242.144 orang terkena PHK, sedangkan sisanya karena alasan lain.
Kenaikan itu antara lain karena banyaknya warga berbelanja keperluan Lebaran, termasuk dari THR dan bantuan tunai.
Lagi-lagi, Ganjar mendorong konsep “Jogo Tonggo” agar para pemudik dapat disekat. Pengawasan hingga tingkat RT dioptimalkan sehingga warga saling mengawasi satu sama lain. "Tak hanya kesehatan, tapi juga keamanan, ekonomi, sosial, dan psikologis warga," kata dia.
Meski demikian, Ganjar mengaku tetap menawarkan pengajuan PSBB kepada bupati/ wali kota. Hanya saja, pesan dia, semua konsekuensi harus benar-benar dihitung.
PSBB Tegal
Di Jateng, Kota Tegal menjadi satu-satunya daerah yang telah menerapkan PSBB. Melalui dua periode PSBB, daerah di pantura Jateng itu mengklaim menekan jumlah kasus Covid-19 dan membuat status daerah turun dari zona merah ke zona hijau.
Dinas Kesehatan Kota Tegal mencatat, sejak pekan lalu, tak ada penambahan jumlah pasien positif, pasien dalam pengawasan (PDP), maupun orang dalam pemantauan (ODP). "Saya tetap minta warga menerapkan protokol kesehatan dengan ketat. Jangan terlena, sebab daerah di sekitar masih zona merah," kata Wali Kota Tegal Dedy Yon Supriyono.
Selama PSBB, Pemkot Tegal membatasi akses masuk di 49 titik. Pembatasan akses dilakukan dengan menutup jalan memakai pembatas beton, menyisakan satu pintu masuk di Jalan Proklamasi yang dijaga petugas gabungan.
Ketaatan warga terhadap protokol kesehatan belum optimal. Sepanjang PSBB, masih banyak pelanggaran aturan. Sebagian dibiarkan, paling banter ditegur lisan.
Meski demikian, ketaatan warga terhadap protokol kesehatan belum optimal. Sepanjang PSBB, masih banyak pelanggaran aturan. Sebagian dibiarkan, paling banter ditegur lisan.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Pancasakti Tegal Hamidah Abdurrachman menyarankan Pemkot Tegal melakukan tes massal. "Jangan sampai, nihil kasus karena tak ada yang dites. Apalagi dengan banyaknya orang tanpa gejala," ujar dia.
Dengan masih tingginya kasus Covid-19, Ganjar menilai Jateng belum bisa menerapkan normal baru dalam waktu dekat. Terlebih, tujuh hari terakhir, laju peningkatan kasus, rata-rata masih 14 orang per hari.
Hanya saja, sejumlah persiapan mulai dilakukan. Itu antara lain dengan meningkatkan pemahaman warga akan beberapa hal terhadap kebiasaan baru, termasuk penjarakan fisik di sejumlah tempat ibadah dan sekolah.
Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang, Budiyono mengatakan, secara umum, penggerakan warga melalui "Jogo Tonggo" dimaknai baik. Namun, untuk menuju normal baru, tingkatannya belum cukup. "Prinsipnya, penularan Covid-19 ini karena mobilitas dan kerumunan. Ini perlu hati-hati sekali," ucap Budiyono.
Terlebih, mobilitas aglomerasi (antarwilayah) menjadi tipikal daerah Jateng. Mobilitas di satu daerah tak dapat dilepaskan dari wilayah sekitarnya. Sebagai contoh Kota Semarang dengan Kabupaten Semarang, Demak, Kendal, dan Grobogan; atau Kota Solo dengan Kabupaten Klaten, Sukoharjo, dan Karanganyar. Atau juga Banyumas dengan Purbalingga dan Cilacap.
Pembatasan mobilitas juga mesti didukung tes Covid-19 secara masif. "Pemilahan cepat akan mengurangi laju penularan karena sumbernya diisolasi. Tes PCR penting agar tak terjadi rebound kasus (kembali meningkat)," kata Budiyono.
Seperti salah satu strategi Sun Tzu bahwa dalam perang, lebih baik menjaga keutuhan negeri daripada menghancurkannya. Kita mesti paham kelemahan virus korona sekaligus kelebihan kita. Selain menumbuhkan solidaritas dan kesadaran warga, kebijakan berbasis data dan sains mesti diutamakan jika ingin berdamai dengan korona.