Koalisi Minta Pejuang Lingkungan James Watt Dibebaskan
Kasus kriminalisasi pejuang lingkungan, James Watt (47), di Kalimantan Tengah kian runcing. Koalisi meminta ia dibebaskan karena terdapat kejanggalan dalam keterangan saksi dan pelapor.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Kasus kriminalisasi pejuang lingkungan, James Watt (47), di Kalimantan Tengah kian runcing. Koalisi meminta ia dibebaskan karena terdapat kejanggalan dalam keterangan saksi dan pelapor.
Pada Selasa (2/6/2020), sidang ke-10 digelar dengan terdakwa James Watt dan Dilik, warga Desa Penyang, Kotawaringin Timur. Sidang dilaksanakan secara daring dan dipimpin oleh hakim ketua AF Joko Sutrisno. James Watt dan Dilik menjalani sidang daring dari tahanan Polres Kotawaringin Timur. Terdakwa lainnya, Hermanus, meninggal karena sakit beberapa waktu lalu.
Agenda sidang saat itu adalah mendengarkan pleidoi yang dibacakan kuasa hukum terdakwa. Paralegal terdakwa berasal dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Sawit Watch.
Tim hukum tersebut tergabung dalam Koalisi Keadilan untuk Pejuang Lingkungan dan Agraria Desa Penyang. Di dalamnya merupakan beberapa lembaga, seperti Walhi Kalteng, Justice, Peace, and Integrity Creation (JPIC), Save Our Borneo (SOB), serta LBH Palangkaraya.
Proses penangkapan dua warga Penyang di Desa Penyang, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, Senin (17/2/2020).
Fidelis Harefa, salah satu kuasa hukum James Watt, ketika dihubungi Kompas, mengungkapkan, hal yang paling janggal dalam kasus tersebut adalah soal barang bukti buah tandan sawit yang berbeda-beda. Saksi dari PT Hamparan Masawit Bangun Persada, Yuheli, mengatakan, jika yang diambil Dilik dan kawan-kawannya hanya 30 tandan, dalam berita acara pemeriksaan (BAP) Dilik dituduh mencuri 4,3 ton tandan sawit.
”Banyak sekali kejanggalan yang kami nilai sebagai bentuk kriminalisasi. Jadi dalam pleidoi intinya kami meminta mereka (para terdakwa) dibebaskan,” kata Fidelis.
Selain perbedaan keterangan soal jumlah sawit yang diambil, Fidelis menambahkan, lokasi tempat pengambilan sawit tersebut bukan merupakan kawasan hak guna usaha (HGU) milik perusahaan. Tanah seluas 117 hektar tersebut merupakan milik warga yang sebelumnya ditanami sawit oleh perusahaan tersebut.
”Kami berharap hakim melihat berbagai macam kejanggalan ini dan dijadikan pertimbangan sehingga keadilan bisa diberikan,” kata Fidelis.
Proses pemortalan jalan di lokasi milik perusahaan oleh perusahaan perkebunan di Kotawaringin Timur, Kalteng, Selasa (18/2/2020).
Menanggapi hal itu, Manajer Legal PT HMBP Wahyi Bimo saat dihubungi Kompas mengungkapkan, semua kejanggalan yang disampaikan kuasa hukum terdakwa merupakan bentuk proses hukum. Karena ranah pidana, pihaknya menyerahkan sepenuhnya kasus tersebut kepada pengadilan.
Kami berharap hakim melihat berbagai macam kejanggalan ini dan dijadikan pertimbangan sehingga keadilan bisa diberikan.
”Pada prinsipnya, ini kan pidana sehingga kami serahkan sepenuhnya sama proses hukum dan pengadilan,” ujar Bimo.
Ia juga menyampaikan, jika kawasan yang dipanen merupakan kawasan yang diproyeksikan untuk kebun plasma. Pihaknya juga sudah membentuk koperasi sebagai pengelola kebun plasma tersebut.
Serial Webinar yang diselenngarakan oleh JPIC dan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat membahas tema perjuangan HAM dan Demokrasi di Kalteng, Selasa (2/6/2020).
Dinamika perjuangan
James Watt, yang merupakan pejuang lingkungan, selama ini melakukan pendampingan di Desa Penyang dan melakukan pengumpulan data terkait konflik agraria dengan PT HMBP. Namun, dalam kasus itu, ia justru dituduh memberikan perintah.
Kasus Penyang itu kemudian menjadi pembahasan dalam Serial Webinar yang diselenggarakan oleh JPIC dan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat pada Selasa siang.
Diskusi tersebut membahas tema tentang Membedah Dinamika Pemenuhan Hak Pegiat HAM dan Lingkungan di Kalimantan Tengah. Tiga narasumber yang hadir yakni pengampanye hutan dari Greenpeace, Arie Rompas; Koordinator Komite Nasional Serikat Perempuan (Seruni) Kalteng, Kartika; dan peneliti HAM juga wartawan senior Andreas Hartono.
Arie Rompas mengungkapkan, dinamika perjuangan hak dan demokrasi di Kalteng tidak terlepas dari masifnya eksploitasi sumber daya alam. Dari total 15,3 juta hektar luas provinsi tersebut, sekitar 9,8 juta hektar sudah masuk dalam perizinan konsesi.
”Setiap perizinan itu melibatkan pengusaha dan penguasa atau hanya segelintir orang saja. Itu terbukti dari banyaknya kepala daerah yang bermasalah dengan hukum selalu berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam,” kata mantan Direktur Walhi Kalteng tersebut.
Hal serupa juga disampaikan Andreas Harsono. Menurut dia, apa yang dialami oleh James Watt dan Dilik selalu terjadi dalam perjuangan masyarakat atas hak-hak dasarnya.
”Wartawan saja banyak yang dikriminalisasi, apalagi masyarakat. Ini butuh kekuatan bersama untuk bisa terlepas dari hal-hal ini,” kata Andreas.