Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo terbang menggunakan pesawat khusus untuk meninjau geliat sektor pertanian dan perkebunan di Maluku. Sabtu (30/5/2020), ia mengunjungi Kota Ambon dan Kabupaten Maluku Tengah.
Oleh
FRANS PATI HERIN
·4 menit baca
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo terbang menggunakan pesawat khusus untuk meninjau geliat sektor pertanian dan perkebunan di Maluku. Sabtu (30/5/2020), ia mengunjungi sejumlah tempat di Kota Ambon dan Kabupaten Maluku Tengah, mendatangi tempat pembibitan pala, hingga berdialog dengan para petani yang kini sedang menjerit akibat terimbas pandemi Covid-19.
Di halaman kantor Balai Pengkajian dan Teknologi Pertanian (BPTP) Maluku, Syahrul memeriksa beberapa anakan pala banda yang berumur 3 bulan. Pala banda merupakan varietas nasional. Nama pala banda diambil dari Kepulauan Banda, Maluku, yang juga dijuluki kepulauan rempah. Dalam sejumlah literatur, pala banda digambarkan memiliki kualitas terbaik dunia. Tempat itu yang paling diburu penjelajah Eropa pada abad ke-16.
Di tempat pembenihan 30.000 anakan pala itu, Syahrul melihat penerapan teknologi pembenihan. Salah satunya, batang pala hutan disambung dengan pala banda. Teknik itu diklaim bakal menghasilkan buah lebih banyak. Empat tahun setelah ditanam, pala sudah bisa berproduksi. Produktivitas puncak ditaksir lebih dari 2 ton per hektar per tahun. Selama ini, rata-rata produktivitas pala di Maluku hanya 0,3 ton per hektar per tahun.
"Banyak tanaman pala di Maluku berumur lebih dari 50 tahun, akibatnya produktivitas menurun terus. Petani kita masih mengandalkan pola kerja tradisional. Pembenihan dengan cara menyambung ini ikut mendorong percepatan proses peremajaan," kata Maritje Pesireron, peneliti madya pada BPTP Maluku.
Hingga akhir 2018, luas lahan pala di Maluku sekitar 32.456 hektar dengan produksi mencapai 28.705 ton. Adapun produksi pala nasional sebesar 244.028 ton. Lantaran tidak dirawat dan diregenerasi, banyak tanaman pala yang masuk kategori tanaman tidak menghasilkan. Pada 2018, tanaman pala yang tak bisa lagi menghasilkan seluas 1.559 hektar.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, pada 2017, luas lahan perkebunan pala di Indonesia 196.983 hektar dengan jumlah produksi 32.805 ton. Perkebunan pala itu tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Khusus Maluku, sebaran tanaman pala ada di Pulau Ambon, Seram, Buru, Kepulauan Geser, dan Kepulauan Teon Nila Serua.
Syahrul lalu memerintahkan agar proses pembibitan terus digenjot untuk mendukung regenerasi pala. Bibit itu nantinya akan dibagikan secara gratis kepada petani di Maluku. Syaratnya, petani hanya menunjukkan identitas diri dan lahan siap tanam. Selanjutnya, BPTP Maluku juga akan mendampingi tumbuh kembang pala lewat teknologi terapan.
Salah satu teknologi yang bisa diterapkan adalah akar infus. Caranya, menggali tanah sampai menemukan satu akar pala, kemudian akar itu dimasukkan ke dalam plastik berisi pestisida organik yang sudah dicampur air.
Plastik bersama akar itu lalu dibenamkan ke dalam tanah. Akar langsung menghisap nutrisi di dalam plastik. Jika proses itu berjalan lancar, tanaman pala akan memunculkan pucuk baru atau pentil buah.
Akar infus mendukung budidaya pala organik. Pala organik paling banyak digemari pasar global. Pala organik dari Maluku diekspor untuk pertama kalinya ke Belanda, Uni Emirat Arab, dan India senilai Rp 24 miliar pada Mei 2019. Pengiriman itu menghidupkan kembali harapan untuk kembali bersaing di pasar global di tengah situasi perdagangan rempah-rempah yang belakangan redup.
Tantangan pandemi
Namun, kini pandemi Covid-19 memukul telak petani pala. Harga anjlok ke titik terendah sepanjang lebih kurang 20 tahun terakhir. Kini, harga paling mahal Rp 55.000 per kilogram. Harga tertinggi pernah mencapai Rp 150.000 per kilogram. Penyebabnya adalah kurangnya permintaan pasar global.
"Kami tidak berani beli dari petani dengan harga mahal. Dulu kami jemput dari kampung-kampung, sekarang kami tunggu saja di kota," kata Uceng, pembeli pala di Pasar Batu Merah, Ambon.
Akibatnya, petani di desa kian merana. Mereka terpaksa menjual dengan harga lebih murah. Bahkan, petani yang ada di pulau-pulau tak bisa menjual ke kota lantaran untuk sementara kapal dilarang beroperasi. Larangan itu untuk mencegah masuknya virus korona ke daerah kepulauan yang minim petugas medis dan fasilitas kesehatan.
"Pengepul di sini tidak bisa beli pala karena kehabisan modal. Pala kami menumpuk. Dua bulan lagi kami panen cengkeh, dan pasti tidak bisa dijual. Rata-rata petani sekarang tidak pegang uang. Uang tabungan sudah habis selama dua bulan lebih musim korona ini," kata Saiful Rumain (34), petani di Pulau Kesuy, Kabupaten Seram Bagian Timur.
Gairah petani rempah yang meredup lantaran harga yang terus menurun dalam beberapa tahun terakhir kini semakin suram setelah datangnya virus korona. Sementara, pemerintah daerah tampak belum mengambil langkah untuk hal itu. Pandemi Covid-19 menguras energi pemerintah lebih banyak untuk sektor kesehatan. Untuk urusan ekonomi, dayanya masih sebatas pemberian bantuan makanan.
Syahrul memahami beratnya beban yang dialami petani di kala pandemi. Ia berpesan, produktivitas kerja terus dijaga. Khusus untuk komoditas umur panjang seperti pala, hasilnya belum dapat dirasakan saat ini. Karena itu, saat pandemi seperti ini justru menjadi saat menanam sebanyak mungkin. "Pertanian ini hasilnya pasti. Jangan ragu," ujar mantan gubernur Sulawesi Selatan itu.