Sulit mencegah arus balik perantau dari daerah asal ke Jabodetabek. Penyebabnya mulai dari ketimpangan ekonomi hingga ego kewilayahan.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dany
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berupaya mencegah arus balik perantau dengan beragam cara untuk menekan pandemi Covid-19. Namun, upaya itu sulit terwujud karena kebutuhan hidup hingga kebijakan antardaerah yang tidak sejalan.
Everett S Lee dalam teori mobilitas penduduk (1978) menyebutkan bahwa perpindahan penduduk dipengaruhi oleh faktor individu, daerah asal, daerah tujuan, dan rintangan. Keterbatasan lapangan pekerjaan di daerah asal membuat penduduk berpindah ke daerah dengan banyak lapangan pekerjaan. Tidak heran kemudian Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi punya daya tarik besar bagi perantau.
Menurut peneliti Mobilitas Penduduk Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Inayah Hidayati, arus perpindahan penduduk ke kota lain yang menyediakan banyak lapangan pekerjaan sulit dihindari, kecuali daerah asal menyediakan beragam lapangan pekerjaan.
”(Perpindahan) itu persoalan lama yang kelihatan sederhana, tetapi sulit diselesaikan. Para perantau punya jaringan sosial yang kuat. Mereka nekat pindah selama ada akses, kerabat, dan teman atau kenalan. Apalagi di daerah asal tidak ada pilihan pekerjaan,” kata Inayah di Jakarta, Jumat (29/5/2020).
Saat ini perantau mulai kembali ke Jabodetabek untuk bekerja, baik di sektor formal maupun informal. Arus balik itu semakin sulit dicegah lantaran warga punya banyak cara atau bersiasat dengan larangan, termasuk surat izin keluar masuk (SIKM). Mereka mulai dari rela membayar petugas hingga karantina selama 14 hari.
Tersedianya lapangan pekerjaan di daerah asal bukan satu-satunya upaya menekan arus balik. Inayah mengatakan, pelaku atau dunia usaha juga harus mendukung pemerintah dengan penyesuaian perpanjangan kerja dari rumah untuk jenis pekerjaan yang memungkinkan. Di sisi lain sambil memperkuat kerja sama antardaerah, khususnya di Jabodetabek. ”Situasi pandemi sekarang harusnya daerah berkoordinasi menekan laju penduduk dari dan ke daerah episentrum,” ujarnya.
Nyatanya koordinasi di lapangan tidak berjalan dengan baik. Contohnya Yogyakarta tidak memberlakukan PSBB, sebaliknya Jakarta memperketat keluar masuk warga.
Situasi ini, kata Inayah, membuat perantau terkatung-katung di pintu masuk Jakarta. Padahal, mereka menempuh perjalanan jauh dari Yogyakarta. Alhasil, terjadi persoalan baru di perbatasan, antara lain tidak bisa kembali ke daerah asal hingga menginap di jalan.
Sementara sosiolog Universitas Gadjah Mada, Derajad Sulistyo Widhyharto, mengatakan, arus balik perantau menjadi sangat krusial di tengah pandemi. Mereka kembali ke daerah rantauan bukan semata-mata persoalan geografis. ”Mereka mau tidak mau harus balik lagi ke Jakarta. Jakarta membutuhkan tenaga kerja, terutama pekerja informal untuk mendukung perekonomian perdagangan dan bisnis,” ujar Derajad.
Persoalannya, menurut Derajad, tidak ada koordinasi yang baik antardaerah dalam situasi krisis. Kerja sama yang berlangsung selama ini hanya untuk kepentingan setiap daerah, bukan bersama.
Misalnya setiap daerah saling menyumbang kebutuhan, bukan kerja sama penanggulangan. Padahal, pandemi berdampak antardaerah. Itu menunjukkan daerah masih melihat sebatas pada persoalan masing-masing. ”Cara berpikir bukan regional. Padahal, virus tidak terlihat dan bisa dibawa ke mana saja,” ujarnya.
Untuk itu, Derajad menyarankan pemerintah pusat menyiapkan tata kelola kerja sama antardaerah saat krisis. Peran pemerintah pusat itu melalui Kementerian Dalam Negeri. Kemendagri membangun kerja sama tingkat daerah supaya tidak terkotak-kotak hanya untuk kepentingan politik semata.