Banjir di Samarinda Meluas, Sekitar 50.000 Warga Terdampak
Banjir yang merendam sebagian kawasan Samarinda, Kalimantan Timur, meluas. Dari awalnya 8 kelurahan menjadi 11 kelurahan.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
SAMARINDA, KOMPAS — Banjir yang merendam sebagian kawasan Samarinda, Kalimantan Timur, meluas. Dari awalnya hanya delapan kelurahan menjadi 11 kelurahan. Curah hujan memicu luapan Sungai Karang Mumus, buruknya drainase, dan alih fungsi lahan hijau diduga kuat menjadi pemicu banjir.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Samarinda mencatat, hingga Rabu (27/5/2020), setidaknya 44.900 jiwa terdampak banjir. Jumlah jiwa terdampak itu bertambah dua kali lipat lebih dari sebelumnya, lebih kurang 22.100 jiwa.
Banjir meluas disebabkan hujan yang masih turun dengan intensitas sedang hingga lebat di sekitar Samarinda sejak Jumat (22/5/2020). Sistem drainase yang buruk menyebabkan air tak kunjung mengalir ke sungai.
Daerah yang tergenang itu ada di lima kecamatan, yaitu Samarinda Utara, Sungai Pinang, Samarinda Ulu, Samarinda Ilir, dan Palaran. Ketinggian air bervariasi, 20-150 sentimeter.
Kecamatan Sungai Pinang adalah yang terdampak paling parah. Sebanyak empat kelurahan terendam banjir dan 28.900 jiwa terdampak. Tim gabungan masih menyisir kawasan itu untuk menyelamatkan potensi anak-anak dan lansia yang terdampak banjir.
Selain merendam permukiman warga, air juga merendam delapan jalan raya di Samarinda. Sebanyak lima masjid dan satu sekolah juga terendam banjir. Bantuan sudah mulai berdatangan dari warga dan mulai disalurkan. Petugas kesehatan dari puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota Samarinda juga sudah mulai bersiaga.
Pemerintah Kota Samarinda sudah menetapkan tanggap darurat bencana banjir hingga 14 hari ke depan. Posko-posko mulai didirikan di wilayah-wilayah yang terdampak parah.
”Tim gabungan saat ini masih fokus mengevakuasi warga dan menyalurkan bantuan. Posko-posko dan dapur umum juga terus dibangun,” kata Kepala Bidang Kedaruratan BPBD Samarinda Irfan yang dihubungi dari Balikpapan.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memperkirakan, hujan di Samarinda masih akan terjadi hingga akhir Mei. Kelembapan udara di Samarinda 75-100 persen dan terjadi hujan lokal setiap harinya.
Irfan mengatakan, warga yang pemukimannya terdampak parah masih terus dievakuasi tim gabungan. Mereka diungsikan ke posko-posko yang tersedia di setiap kelurahan.
Kian parah
Banjir kerap terjadi di kawasan itu. Banjir tahun 2019 disebut-sebut paling parah dalam sepuluh tahun terakhir dengan jumlah warga terdampak 56.123 jiwa. Jika banjir terus meluas, banjir tahun ini bisa lebih parah daripada tahun sebelumnya.
Ketua Forum Daerah Aliran Sungai Kalimantan Timur, Mislan, mengatakan, tahun 2018, pihaknya mengkaji restorasi subdaerah aliran sungai (DAS) Karang Mumus dalam perspektif ketahanan air.
Ia mengatakan, terjadi banyak perubahan tutupan lahan di sekitar Sungai Karang Mumus yang membelah Samarinda. Sungai Karang Mumus adalah bagian penting karena air dari pemukiman warga ditampung di sungai ini.
”Penutupan hutan lahan kering sekunder berkurang 46,58 persen atau seluas 17.710,78 hektar. Sungai, rawa, dan sempadan berubah menjadi belukar, lahan terbuka, dan permukiman seluas 298,49 hektar,” kata Mislan.
Banjir tahun 2019 disebut-sebut paling parah dalam sepuluh tahun terakhir dengan jumlah warga terdampak 56.123 jiwa. Jika banjir terus meluas, banjir tahun ini bisa lebih parah daripada tahun sebelumnya.
Hal itu ia bandingkan dengan bentang alam Samarinda tahun 1941 berdasarkan Peta DAS Karang Mumus yang diterbitkan Samarinda Netherlands Borneo Map. Peta itu menunjukkan, hampir 80 persen kondisi awal di DAS Karang Mumus adalah dataran rendah dan rawa.
Mislan mengatakan, saat hujan lebat, air sungai secara alami akan meluap ke daerah rawa di sekitarnya. Ketika permukiman dibangun di daerah rawa, wajar saja jika akhirnya terendam banjir. Hal itu diperparah dengan drainase yang kualitasnya tidak baik sehingga air tidak bergerak dan menggenang berhari-hari.
Sejak tahun 2019, Pemprov Kaltim sudah mulai mengeruk Sungai Karang Mumus. Pemerintah melihat sudah terjadi pendangkalan di Sungai Karang Mumus sehingga tidak bisa menampung air dari pemukiman warga.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, Pradarma Rupang, mengatakan, pemerintah perlu konsisten dan mengambil sikap untuk mengatasi banjir dari hulu. Menurut pengamatannya, penanganan banjir selama ini berorientasi proyek, tidak melihat aspek-aspek pendukung banjir yang kian parah.
”Pengerukan sungai dan bendungan hanya sebatas penanganan di hilir. Banyak permasalahan di hulu, seperti konsesi tambang di dekat sempadan sungai dan yang dekat permukiman,” kata Rupang.
Menurut catatan Jatam, setidaknya terdapat 349 lubang tambang di Kota Samarinda. Menurut Rupang, daerah resapan air yang berkurang akibat aktivitas tambang turut memperparah banjir. Hal itu diperparah dengan banyaknya perusahaan tambang yang tidak mereklamasi lubang tambang setelah aktivitas tambang selesai.