Kesunyian Lebaran di Kampung-kampung Warga
Kampung-kampung yang bertahun-tahun ramai saat Lebaran terlihat sunyi. Sebagian warga memilih merayakannya di rumah karena pandemi Covid-19 belum usai. Silaturahmi pun hanya terjalin dari balik pagar atau bilik virtual.
Sebagian warga Kota Padang merasakan kesunyian Idul Fitri di tengah pandemi Covid-19. Silaturahmi hanya terjalin dari balik pagar ataupun bilik virtual. Mereka berharap badai segera berlalu.
Sumarni (57) dan dua tetangganya sedang bercerita di beranda rumahnya. Mereka saling berkeluh-kesah tentang sulitnya kehidupan yang dirasakan akhir-akhir ini. Tak ada yang istimewa pada Idul Fitri hari pertama dan kedua dibandingkan hari-hari lain di masa pandemi Covid-19.
”Kampung Purus Kebun ini biasanya kompleks paling ramai di Kota Padang. Tapi lihatlah sekarang, hari raya ataupun tidak, sama saja,” kata Sumarni di beranda rumahnya yang juga sekaligus warung kebutuhan harian, Kampung Purus Kebun, Kelurahan Ujung Gurun, Padang Barat, Padang, Sumatera Barat, Senin (25/5/2020).
Senin siang itu, gang-gang di Kampung Purus Kebun lengang. Sebagian besar rumah warga tertutup. Beberapa orang saja yang beraktivitas di luar rumah menjaga warung atau berlalu-lalang dengan sepeda motor.
Suasana Lebaran di Purus Kebun hampir sama dengan sebagian besar perumahan di Padang. Hari raya berlangsung sepi. Tidak banyak masjid ataupun lapangan yang mendapat izin untuk melangsungkan shalat Idul Fitri. Kantor Gubernur Sumbar yang biasanya juga menggelar shalat Id untuk semua kalangan tahun ini tak mengadakannya.
Baca juga: Kita Berlebaran dengan Cara Baru
Warga Purus Kebun termasuk beruntung bisa melaksanakan shalat Idul Fitri di Masjid Quwwatul Ummah di kompleks itu. Pengurus masjid berhasil mendapatkan rekomendasi camat untuk menggelar shalat hari raya. Syaratnya, protokol kesehatan harus dilaksanakan.
Shalat Id hanya boleh diikuti warga sekitar, orang dari luar kampung dilarang ikut serta. Jemaah harus menggunakan masker, membawa sajadah sendiri, mencuci tangan, mengikuti pemeriksaan suhu tubuh, dan sebagainya. Sehabis shalat, jemaah langsung pulang tanpa bersalam-salaman.
Meskipun demikian, tidak semua warga ikut shalat Id di masjid itu, Minggu (24/5) pagi. Dua saf di antara tujuh saf yang dipersiapkan hingga ke jalan depan masjid tak terpakai. Jumlah jemaah yang ikut shalat Id berkisar 100-200 orang.
Sumarni bercerita, seusai shalat Id, jemaah langsung pulang ke rumah masing-masing. Hampir tidak ada aktivitas berkunjung ke rumah tertangga untuk bersalaman dan makan-makan. Sebagian pintu rumah di kampung itu ditutup oleh penghuninya. Tiga-empat kawan terdekat saja yang masih saling berkunjung.
”Hendak silaturahmi ke rumah tetangga, tapi pintunya ditutup. Mungkin takut juga menerima tamu. Beberapa tetangga bersorak saja dari balik pagar untuk mohon maaf lahir batin,” kata Sumarni.
Baca juga : Merayakan Lebaran dengan Kebersamaan Baru
Tak hanya tetangga, sanak-saudara Sumarni tak pula dapat berkunjung. Lebaran tahun ini, Sumarni hanya berlima di rumah dengan suami dan anak-anaknya. Saudara Sumarni di Pekanbaru tak bisa pulang karena adanya larangan mudik.
Bahkan, dengan saudaranya di Kelurahan Seberang Palinggam, Padang Selatan, Sumarni tak bisa ataupun enggan saling berkunjung. Kompleks rumah mereka sama-sama tertutup bagi orang luar. Portal dijaga dan setiap orang masuk ditanyakan keperluannya.
Panggilan suara menjadi jalan bagi Sumarni dan sanak saudara saling berkomunikasi. Sumarni tak punya telepon pintar untuk panggilan video sebagaimana tren di masa pandemi Covid-19. ”HP punya saya hanya HP odong-odong (murah/butut),” ujar Sumarni.
Menurut Sumarni, tahun ini Lebaran paling sunyi dan sulit selama ia hidup. Hari raya di masa krisis moneter tahun 1997 jauh lebih baik dibandingkan hari raya tahun ini meskipun kondisi hidup sama-sama sulit.
Baca juga: Lebaran Korona di Desa
Saat krisis moneter, masih ada orang keluar rumah untuk berbelanja sehingga roda perekonomian tetap jalan. Saat ini hampir tak ada orang berbelanja dan tak ada penghasilan. Penghasilan tambahan Sumarni dari mencuci pakaian di tiga rumah tetangga juga terhenti karena ia diistirahatkan.
Hari raya dijalani ala kadarnya. Kue-kue yang dihidangkan di rumah Sumarni hanya pemberian dari tetangga. Ia tak mendapat bantuan sosial tunai karena suaminya pensiunan pegawai negeri sipil. Namun, menurut dia, dampak pandemi Covid-19 tak memandang status sosial. Lebaran sunyi juga dijalani oleh Ruslieti (60), warga Kelurahan Anduriang, Kuranji. Shalat Idul Fitri hanya bisa dilangsungkan dari rumah bersama suami, tiga anak dan tiga menantu, serta cucu-cucu.
Ruslieti tak lagi mendapati momen hari raya yang sarat dengan berkumpulnya anggota keluarga besar. Anak, adik, cucu, dan para sepupu yang tersebar di Jakarta, Tanah Datar, Solok, Mentawai, dan Pekanbaru tak bisa pulang.
”Hari raya sekarang sepi sebenarnya. Biasanya rimbun, tak putus-putus orang naik ke rumah. Sekarang, langau hijau saja tidak naik ke rumah,” kata Ruslieti sembari menjaga lapak es tebak milik anaknya di depan rumah, Senin (25/5).
Silaturahmi dengan sanak saudara hanya berlangsung dengan panggilan suara dan panggilan video. Meskipun tak dapat menggantikan kehadiran keluarga secara fisik, setidaknya itu dapat menjadi obat penawar rindu.
Silaturahmi dengan para tetangga juga tak berjalan dengan semestinya. Sebagian besar tetangga Ruslieti menutup pintu rumah dan enggan keluar rumah, bahkan semenjak Ramadhan. Orang-orang terdekat saja yang berkunjung dan dapat dikunjungi.
Lebaran Ruslieti makin sendu karena perekonomian keluarga kian sulit. Usaha organ tunggal milik keluarganya sudah tak berjalan sejak adanya larangan berkumpul dan hajatan. Usaha rumah makan ampera di sekitar rumah juga terhenti karena mahasiswa sebagai pelanggan terbanyak sudah berbulan-bulan diliburkan.
”Tidak ada masak-masak hari raya ini. Lontong saja yang dapat dibuat. Biasanya masak rendang, kue, lontong, pokoknya lengkap. Jangankan kue, dapat saja makan untuk mengisi perut sudah mujur,” ujar Ruslieti.
Menurut Ruslieti, keluarganya memang mendapat bantuan sosial tunai Rp 600.000 per bulan. Namun, pada pencairan bulan pertama, sebagian besar habis untuk membayar tagihan listrik yang sudah dua bulan menunggak. Sementara itu, untuk tagihan kredit bank, tak tahu ke mana akan ia adukan. Ruslieti berharap wabah Covid-19 segera lenyap dari muka bumi. Ia ingin menjalani masa tua dengan tenang, bahagia, dan bersukacita.
Di lain tempat, Rizka (24), pekerja swasta, melalui momen Idul Fitri di indekosnya di Kelurahan Pasar Ambacang, Kuranji. Rizka tak dapat pulang ke Kabupaten Sijunjung untuk berkumpul bersama orangtua dan sanak-saudaranya.
Perusahaan tempat bekerja Rizka sebenarnya tak melarang ia untuk pulang kampung. Ia diberi kelonggaran untuk mengerjakan tugasnya dari rumah. Namun, Rizka khawatir kepulangannya membawa penyakit ke rumahnya, terutama kepada ibunya yang sedang demam dan batuk.
Rizka pun menahan diri untuk pulang kampung. Apalagi, Kota Padang, tempat ia bekerja selama ini, merupakan zona merah Covid-19 dengan jumlah kasus 300 orang lebih. Ia tidak mau menjadi orang yang pertama menularkan Covid-19 di Sijunjung, yang sejauh ini belum ada temuan kasus.
”Saya ragu apakah saya sehat atau tidak. Memang sih sudah ikut tes cepat dan negatif, tetapi itu sudah lama. Bisa jadi setelah itu saya kontak dengan orang dalam pemantauan atau orang tanpa gejala. Di rumah, tidak mungkin isolasi mandiri di kamar, pasti ada interaksi dengan keluarga,” kata Rizka.
Rizka mengaku, Lebaran tahun ini yang paling sunyi semasa hidupnya. Ia merasa tidak sedang berhari raya karena sama saja dengan hari-hari biasa. Biasanya, kenang Rizka, H-2 Idul Fitri ia sudah bersih-bersih di rumah untuk persiapan. Kue-kue sudah ditata di atas meja dan minuman sudah dibeli. H-1, malamnya, ia memasak soto untuk keluarga dan tamu-tamu yang datang untuk bersilaturahmi.
”Ketika pagi hari H shalat Idul Fitri di lapangan Sijunjung. Sesudahnya, saya sibuk dengan anggota keluarga yang berkunjung. Bercengkerama dengan mereka. Sekarang hanya bisa melepas rindu dengan menelepon keluarga,” ujarnya.
Walaupun merasa sedih, Rizka berupaya memaknainya secara positif. Bagaimanapun badai pasti akan berhenti. Jika pandemi Covid-19 berlalu, ia bakal segera membayar rindu.