Menjaga Khusyuk di Tengah Segala Keterbatasan Pandemi Covid-19
Dampak pandemi Covid-19 menusuk segala sektor kehidupan. Tahun ini, perayaan Idul Fitri dilakukan berbeda di daerah-daerah di Indonesia. Namun, semuanya tak mengurangi semangat besar hari raya bagi semua umat manusia.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
Dampak pandemi Covid-19 menusuk segala sektor kehidupan. Tahun ini, perayaan Idul Fitri dilakukan berbeda di daerah-daerah di Indonesia. Namun, semuanya tak mengurangi semangat besar hari raya ini bagi semua umat manusia.
Matahari belum lama datang saat 10 orang duduk beralaskan sajadah di bagian garasi dan teras sebuah rumah di RT 016 RW 004, Desa Banyuraden, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu (24/5/2020). Semuanya memakai masker pelindung wajah. Jarak duduknya diatur. Mereka tengah bersiap melaksanakan shalat Id.
Garasi dan teras itu milik Miswan Suharyanto (78). Kebetulan garasi dan teras rumahnya cukup luas sehingga bisa digunakan shalat bersama beberapa tetangga. Muhammad Syis (57), tetangga Miswan, jadi imam dalam shalat kali itu.
”Ini sudah rembuk bersama warga. Banyak yang sudah sepuh juga. Jadi, bagaimana kami mencoba tetap menyelenggarakan shalat Id dengan cara yang relatif aman. Karena, yang sepuh-sepuh ini termasuk rentan,” ujar Syis, seusai shalat.
Syis menyatakan, tak memungkiri apabila ada satu atau dua warga yang kecewa karena shalat tidak bisa digelar di tempat terbuka seperti lapangan. Namun, warga mau memahami kondisi itu guna menghindari risiko tertular penyakit.
”Memang, ada sebagian yang berangan-angan shalat di lapangan-lapangan. Maka, kami memutuskan shalat di garasi dan teras ini agar seolah-olah kita juga sedang di luar,” kata Syis.
Protokol kesehatan coba dijaga. Mereka shalat berjarak. Wudu sudah dilakukan sejak di dalam rumah. Seusai shalat, cara mengucapkan selamat juga tanpa berjabat tangan. Cukup mengatupkan tangan di dada sambil saling mengucapkan selamat hari raya serta memohon maaf lahir dan batin.
Sebelumnya, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama DIY Edhi Gunawan mengungkapkan, Lebaran tahun ini berbeda dibandingkan sebelumnya. Pihaknya menginginkan agar umat Islam ikut berpartisipasi mencegah penularan dengan melaksanakan ibadah shalat Id di rumah.
”Saya melihat dalam sudut pandang lain. Ini (ibadah) diharapkan bisa khusyuk, ikhlas, dan tenang karena tidak ada kekhawatiran tertular Covid-19,” ujar Edhi.
Memang, ada sebagian yang berangan-angan shalat di lapangan-lapangan. Maka, kami memutuskan shalat di garasi dan teras ini agar seolah-olah kita juga sedang di luar.
Tepat di seberang rumah Miswan, sejumlah warga juga mengadakan shalat Id secara terbatas. Di Perumahan Kanoman, Dusun Banyumeneng, Desa Banyuraden, Kecamatan Gamping, shalat Id hanya boleh diikuti warga perumahan itu. Pesertanya 20-30 orang.
Sagoro Wedi (71), warga Perumahan Kanoman, menyatakan, pembatasan itu sengaja dilakukan guna mencegah penyebaran penularan. Memang, ada sejumlah masjid dari dusun di sekitar perumahan tersebut yang mengadakan shalat Id. Namun, warga sepakat menggelarnya terbatas daripada mengalami hal-hal yang tak diinginkan di kemudian hari.
Wedi menambahkan, khawatir tertular bukan satu-satunya alasan warga untuk mengadakan shalat Id sendiri. Tetapi, warga juga tidak ingin menjadi orang yang menularkan ke orang lain. Sebab, tidak ada yang tahu siapa yang membawa virus penular penyakit tersebut.
”Bukan kami khawatir di sana ada wabah. Yang kami khawatirkan, jangan-jangan kami malah jadi pembawa. Maka, kami bersepakat, jangan sampai kami jadi penyebab,” kata Wedi.
Bukan kami khawatir di sana ada wabah. Yang kami khawatirkan, jangan-jangan kami malah jadi pembawa. Maka, kami bersepakat, jangan sampai kami jadi penyebab.
Setiap anggota jemaah peserta shalat Id juga menjaga jarak. Setidaknya, jarak satu dengan lainnya 1 meter. Saling berjabat tangan ditiadakan seusai shalat. Mereka hanya bermaaf-maafan dengan jarak aman. Sementara lokasi pelaksanaan shalat itu di sepanjang jalan perumahan yang lebarnya sekitar 6 meter.
Menurut Wedi, walaupun tidak digelar di lapangan luas dengan jumlah jemaah yang sangat besar, esensi shalat Id itu tidak hilang. Hal yang terpenting adalah ibadah yang digelar tetap memberikan manfaat bagi banyak orang.
”Tidak pernah berubah (esensinya). Kita melihat kemaslahatannya. Misalkan, kita berkumpul di lapangan lalu jadi penyebab penyebaran penyakit. Itu tidak ada asas manfaatnya,” tutur Wedi.