Camat dan Lurah di Surabaya Terus Menekan Penyebaran Virus Korona
Sejak pandemi Covid-19 masuk ke ”Kota Pahlawan”, Pemerintah Kota Surabaya bersama jajaran samping langsung mengambil langkah cepat untuk mencegah dan memutus mata rantai penyebaran virus tersebut.
SURABAYA, KOMPAS — Sejak pandemi Covid-19 masuk ke ”Kota Pahlawan”, Pemerintah Kota Surabaya bersama jajaran samping langsung mengambil langkah cepat untuk mencegah dan memutus mata rantai penyebaran virus tersebut. Bahkan, jajaran di tingkat kecamatan dan kelurahan juga bersinergi dengan kepolisian dan TNI bergerak bersama mengatasi segala hal yang muncul pandemi Covid-19.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya hingga Minggu (24/5/2020) dari 31 kecamatan dan 154 kelurahan di Kota Surabaya, terdapat 10 kecamatan di Surabaya yang mengalami kasus tertinggi Covid-19. Kecamatan itu ialah Kecamatan Rungkut 180 kasus, Krembangan 172, Tambaksari 101, Sawahan 87, Wonokromo 85, Gubeng 76, Bubutan 73, Mulyorejo 58, Tegalsari 55, dan Sukolilo 54.
Adapun di tingkat kelurahan, 10 kasus tertinggi Covid-19 berada di Kelurahan Kemayoran 113, Kalirungkut 75, Kedung Baruk 61, Jepara 40, Ngagel Rejo 39, Banyu Urip 37, Mojo 31, Morokrembangan 27, Mulyorejo 26, dan Ketintang 24.
Petugas dari kelurahan dan kecamatan terus melakukan sosialisasi kepada pemilik warung dan pengusaha terkait aturan apa saja yang boleh dan tidak saat PSBB. Khususnya protokol kesehatan yang harus disiapkan oleh tempat usaha yang boleh buka selama PSBB. (Yanu Mardianto)
Melihat kondisi tersebut, wilayah Rungkut dan Krembangan ditetapkan sebagai dua kecamatan tertinggi kasus penyebaran Covid-19 di Surabaya. Meski realitasnya Forum Pimpinan Kecamatan (Forpimcam) bersama jajaran kelurahan setempat bekerja maksimal, upaya mengendalikan penyebaran virus korona masih mengalami berbagai kendala ketika di lapangan.
Seperti diungkap Camat Rungkut Surabaya, Yanu Mardianto, upaya dan kendala yang selama ini dialaminya dalam memutus mata rantai virus itu. Ketika terjadi pandemi dan bertepatan dengan awal pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Surabaya, pihaknya masif melakukan sosialisasi kepada masyarakat baik di perkampungan, perumahan, pasar, maupun pertokoan.
Baca juga: Makanan untuk ODP dan PDP di Surabaya Diantar ke Rumah
Setiap hari, seluruh kelurahan keluar masuk kampung dan gang di perumahan dengan kendaraan dan menggunakan pelantang suara agar warga tetap di rumah, dan jika keluar rumah wajib menggunakan masker. Jaga jarak di mana pun berada terutama di kerumunan, seperti di toko, swalayan, atau pasar.
”Petugas dari kelurahan dan kecamatan terus sosialisasi kepada pemilik warung dan pengusaha terkait aturan apa saja yang boleh dan tidak saat PSBB. Khususnya, protokol kesehatan yang harus disiapkan oleh tempat usaha yang boleh buka selama PSBB,” kata Yanu Mardianto.
Namun, dalam prosesnya itu, Yanu Mardianto mengaku menemui berbagai kendala di lapangan. Kendala yang ditemui pun bervariatif. Semisal ada warga yang ketika diajak berkomunikasi langsung memahami, tetapi ada pula yang tidak peduli.
Namun, pihaknya tak menyerah untuk tetap disampaikan kewajiban kepada masyarakat. ”Kewajiban petugas menyampaikan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka paham terhadap aturan-aturan PSBB. Ketika ada yang melakukan pelanggaran juga ditindak,” ujarnya.
Selain masif melakukan sosialisasi langsung bersama jajaran samping, pihaknya bersama puskesmas juga aktif melakukan tracing di lapangan. Ketika diketahui ada warga yang terkonfirmasi Covid-19 dan masih berada di rumah, pihak kecamatan dan kelurahan segera berkolaborasi dengan RT/RW dan Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) untuk menghubungi warga itu agar mau dilakukan penjemputan dan diarahkan ke rumah sakit.
”Keluarga yang ditinggalkan di rumah langsung menjadi tanggungan pemkot untuk mendapatkan permakanan karena dia harus isolasi mandiri. Sebab, begitu ada satu keluarga yang terkonfirmasi, dalam satu keluarga itu masuk orang dalam pemantauan (ODP),” katanya.
Baca juga: Nasi Bungkus yang Dibagikan Langsung ke Penerima Terjamin Kualitasnya
Perhatian Pemkot Surabaya memberikan makanan bagi ODP dan keluarganya bahkan memunculkan keinginan warga tetangga ODP, seperti di Kecamatan Rungkut, agar bisa mendapat fasilitas sama. Ada warga yang sempat menyebutkan bahwa dirinya tidak menerima makanan seperti yang dijanjikan Pemkot Surabaya.
Begitu ditelusuri warga tersebut bukan ODP, tapi rumahnya berada di wilayah warga yang berstatus ODP. Ada juga ODP yang mengeluh karena menu makanan yang diantar oleh petugas dari kelurahan monoton sehingga membosankan.
Padahal, seluruh makanan tersebut dikerjakan dan diolah oleh warga Surabaya, yang mendapat tugas dari Pemkot Surabaya. Setiap hari tak kurang 3.500 bungkus/kotak nasi berikut lauk dan buah serta minuman penambah stamina disediakan pemkot.
Di samping menemui kendala saat memberikan edukasi kepada masyarakat terkait penerapan PSBB, Yanu Mardianto juga mengaku memiliki banyak kisah menarik ketika menangani pasien Covid-19. Hal itu seperti data pasien Covid-19 tidak sesuai dengan data di lapangan hingga pasien itu sudah pindah, tetapi masih terdata tinggal di alamat yang lama.
Baca juga: Berbagi Sebungkus Nasi Melewati Pandemi
”Menyiasati kondisi ini, pemkot melakukan penelusuran atau tracing dari pemilik kos lama. Kalau tidak dicari, potensi penularan semain besar. Dicari sampai ketemu karena potensial menulari yang lain. Jika tak ketemu juga disampaikan bahwa orang itu tidak tinggal di alamat tersebut,” katanya.
Yanu Mardianto juga menyatakan bahwa upaya yang dilakukan ini membutuhkan peran serta tiga pilar, baik di kecamatan maupun kelurahan. Apalagi, ketika menghadapi orang yang susah pemahamannya, peran tiga pilar ini yang akan bekerja untuk meyakinkan orang tersebut. ”Pelaksanaan di lapangan diperkuat di jajaran RT/RW dan PSM,” ujarnya.
Menurut dia, agak dilematis juga ketika menghadapi orang-orang seperti itu. Sebab, di satu sisi, dimungkinkan juga bagi orang tanpa gejala (OTG) melakukan isolasi mandiri di rumah dengan memenuhi syarat tempat tinggal.
Secara persuasif
Jika mereka yang mengajukan isolasi mandiri tetapi tempatnya tidak memungkinkan, dilakukan persuasif agar orang itu mau dirawat di hotel, rumah sakit, atau lokasi isolasi lain yang telah ditentukan.
”Jadi bersama RT/ RW dan PSM yang memberikan edukasi kepada orang tersebut agar mau dirawat di rumah sakit,” katanya.
Baca juga: Tes Cepat Petakan Banyak Kasus Reaktif Covid-19 di Surabaya
Upaya memutus mata penyebaran Covid-19 rupanya juga mendapat dukungan masyarakat. Karena itu, warga di wilayah Kecamatn Rungkut memberlakukan one gate system dan menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran virus itu. Mereka berjaga secara bergiliran dan swadaya di setiap pintu-pintu masuk kampung.
Jika ada warga yang datang dan bukan berasal dari wilayah itu, orang tersebut akan ditanya terlebih dahulu keperluannya apa. ”Jadi siapa pun yang masuk harus disemprot, dicek suhu tubuh pake thermo gun, ditanya apa keperluannya. Kalau misalnya keperluannya hanya melintas, diminta untuk memutar tidak lewat jalur itu untuk mencegah penyebaran Covid-19,” tuturnya.
Berbagai kendala itu rupanya tak hanya dialami jajaran di wilayah Kecamatan Rungkut, Surabaya. Camat Krembangan, Agus Tjahyono, juga mengaku mengalami hal serupa. Salah satunya saat pihaknya bersama dinas kesehatan (dinkes) akan menggelar rapid test massal. Saat pelaksanaan rapid test, rupanya banyak warga yang tiba-tiba menghilang dari rumahnya.
”Jadi pada saat rapid test ini banyak yang hari-H itu mereka menghilang dari kampungnya. Ibaratnya sekitar 50 orang di rapid test pada saat itu, yang datang itu hanya sekitar 30 orang. Jadi 20 di antaranya itu ternyata saat kami cari di rumahnya itu tidak ada,” kata Agus.
Informasinya, kata Agus, sepertinya mereka takut di-rapid test. Karena itu, kemudian ia mengambil strategi lain agar warga yang dinilai rentan Covid-19 ini bisa dilakukan pemeriksaan rapid test. Nah, untuk itu ia mengambil langkah door to door dalam pelaksanaan rapid test tersebut. ”Jadi pada saat kami melakukan rapid test, kami langsung melakukan test door to door dengan tidak memberitahukan sebelumnya,” katanya.
Tak hanya menemui kendala saat pelaksanaan rapid test massal, Agus mengakui, saat proses mobilisasi warga ke rumah sakit untuk dilakukan isolasi pun demikian. Meski tak banyak, ada saja warga yang menolak saat dirawat dan diisolasi ke rumah sakit. Alasan mereka pun bervariatif, seperti ingin isolasi mandiri di rumah karena ada anak dan istri sendirian di rumah.
Banyak alasan
”Jadi ada yang mereka ingin isolasi mandiri saja. Kemudian ada alasan keluarga dan anak sendirian di rumah. Akhirnya kami memobilisasi warga yang bersedia. Kemudian besoknya baru kita treatmen orang-orang yang menolak itu akhirnya mereka mau,” ungkapnya.
Bahkan, untuk meyakinkan warga agar mau isolasi di rumah sakit, Camat Krembangan juga melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama setempat. Upaya ini dilakukan sebagai langkah persuasif untuk meyakinkan warga tersebut.
”Otomatis kita membutuhkan bantuan tokoh masyarakat dan warga setempat. Supaya mereka juga memberikan bantuan bahwa apa yang dilakukan ini untuk kebaikan. Kalau misalkan dia terkonfirmasi Covid-19 masih bertahan di rumah, otomatis dia pasti keluar beli kebutuhan apa dan dimungkinan akan menularkan ke yang lain,” ujarnya.
Ketia Pemkot Surabaya menggelar Rapat Koordinasi bertajuk ”Analisa dan Evaluasi Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar di Kota Surabaya” yang dihadiri Kepala Polda Jawa Timur Irjen Mohammad Fadil Imran, Pangdam V Brawijaya Mayjen TNI Widodo Iryansyah beserta Forum Pimpinan Daerah (Forpimda) Kota Surabaya di Graha Sawunggaling Lantai 6, Jumat (22/5/2020), Risma mengungkapkan situasi di lapangan tidak semudah yang dibayangkan oleh masyarakat. Oleh sebab itu, berbagai dukungan yang mengalir itu akan membantu Surabaya dalam memutus mata rantai penyebaran virus tersebut.
”Dengan segala dukungan, saya percaya Surabaya bisa menyelesaikan permasalahan ini dengan tepat meski sering harus negosiasi atau upaya persuasif saat meminta mereka (warga yang terkonfirmasi) untuk ke rumah sakit,” ujar Risma.