Surat PHK Jadi Tiket Pulang Kampung
Imbauan pemerintah agar warga tidak mudik seolah hanya slogan belaka. Pemerintah tidak tegas dengan memberi celah bagi warga untuk tetap melakukan perjalanan.
Abdussalam (40) dan Yasin (45) kebingungan menata barang bawaan mereka ke atas sepeda motor sesaat setelah mereka melewati bilik pemeriksaan di Pelabuhan Ketapang. Mereka nekat menyeberang dari Bali untuk bisa berlebaran di Banyuwangi bersama keluarga. Kondisi pekerjaan dan rindu berlebaran bersama keluarga mengalahkan kekhawatiran pada penyebaran penyakit Covid-19.
Sejak penyebaran Covid-19 semakin marak, Gubernur Bali dan Bupati Banyuwangi sepakat memperketat penyeberangan. Pintu penyeberangan di Pelabuhan Ketapang dan Pelabuhan Gilimanuk menerapkan protokol kesehatan yang baru ada tahun ini.
Pemeriksaan suhu, penyemprotan disinfektan, pendataan, hingga pelarangan menyeberang bagi kendaraan pengangkut penumpang. Beberapa penumpang ada yang diminta putar balik dan dilarang menyeberang. Namun, tak sedikit yang masih nekat menyeberang dengan berbagai alasan.
Abdussalam dan Yasin merupakan warga Banyuwangi yang sudah enam bulan merantau di Bali. Keduanya bekerja sebagai buruh bangunan di Bali. Namun, Senin (18/5/2020), mereka harus pulang lebih awal sebelum proyek mereka rampung.
Baca juga: Mulai Jumat, Warga Wajib Tunjukkan Surat Izin Keluar-Masuk Jakarta
”Kami di-PHK. Sudah seminggu kami di tempat kos luntang-lantung tidak jelas. Daripada uang habis, mending sekalian pulang kampung, lagian ini sudah mau Lebaran. Nanti ke Bali lagi kalau ada panggilan dari bos,” ujar Abdussalam yang hendak pulang ke Muncar.
Siang itu Abdussalam dan Yasin mengendarai sepeda motor dan menyeberang menggunakan kapal dari Pelabuhan Gilimanuk ke Pelabuhan Ketapang agar bisa kembali ke kampung halaman.
Barang bawaan mereka sangat banyak. Karung plastik, tas ransel dan sebuah tas plastik diletakkan di bagian depan diapit oleh kedua kaki Abdussalam. Sementara Yasin yang membonceng masih harus membawa dua tas besar di pangkuannya juga sebuah tas plastik di tangan kanannya.
Yasin mengatakan, sebagian yang mereka bawa adalah pakaian pribadi dan alat-alat kerja. Ada pula sedikit oleh-oleh yang mereka bawa dari Bali untuk keluarga di kampung. ”Kami punya anak-istri, masak Lebaran tidak pulang. Lagi pula di Bali sudah tidak kerja. Daripada tidak bisa makan, lebih baik pulang,” ujar Yasin.
Baca juga: Jelang Lebaran, 25.000 Kendaraan Masih Melintasi Jalan Tol Cipali
Mereka bersyukur bisa pulang dengan membawa sedikit oleh-oleh untuk keluarga. Abdussalam dan Yasin nyaris tidak bisa pulang dan terpaksa berlebaran di perantauan tanpa memiliki uang untuk bertahan hidup.
Beruntung ada surat PHK yang diberikan tempatnya bekerja. Berbekal surat tersebut mereka memberanikan diri untuk menyeberang ke Jawa. Sesampainya di Gilimanuk, mereka juga harus menjalani tes kesehatan agar dapat menyeberang.
Yasin menceritakan, tes kesehatan dilakukan di sebuah puskesmas di dekat Gilimanuk. Di sana ia hanya diperiksa suhu tubuh, denyut nadi, tinggi badan, dan berat badan. Tidak ada rapid test atau tes-tes yang spesifik yang dapat memantau seseorang terjangkit Covid-19. ”Asal ada surat kesehatan dan surat PHK, aman sudah,” ujar Yasmin sambil menunjukkan surat-surat tersebut.
Surat PHK yang ditunjukkan Yasin berkop surat CV Sasmita Nuansa Mandiri yang beralamat di Denpasar. Di surat tersebut disampaikan bahwa Yasin dan Abdussalam merupakan karyawan CV Sasmita Nuansa Mandiri. Disampaikan pula bahwa keduanya sudah tidak mempunyai pekerjaan akibat tidak ada proyek dan yang bersangkutan ingin pulang kampung.
Baca juga: Larangan Mudik Masih Diabaikan di Jatim
Surat kesehatan yang ia tunjukkan berkop surat Puskesmas Melaya. Selain tertulis data diri pemegang surat, terdapat pula keterangan berat badan, tinggi badan, tekanan darah, nadi ,dan suhu tubuh. Surat tersebut dibubuhi tanda tangan yang terfotokopi tanpa nama terang dan tanggal pembuatan surat.
Dengan berbekal surat tersebut, mereka bisa melanjutkan perjalanan. Sesampainya di Pelabuhan Ketapang, para penyeberang akan diarahkan ke bilik khusus untuk didata, dicek kesehatannya kembali, dan disemprot disinfektan.
Petugas pendataan
Khusus untuk penyeberang dengan daerah tujuan Banyuwangi, petugas akan mendata mereka lebih detail. Penyeberang diminta menunjukkan KTP dan dicatat nomor teleponnya. Data tersebut nantinya akan disampaikan ke kepala desa masing-masing sebagai informasi bahwa ada pendatang yang harus melakukan karantina pribadi selama 14 hari.
Febrianto, petugas pendataan dari Kecamatan Ketapang, Banyuwangi, mengatakan, sejak Sabtu (16/5/2020) pukul 07.00 hingga Minggu (17/5/2020) pukul 07.00 ada 815 orang menyeberang dengan tujuan Banyuwangi. Sementara pada Minggu hingga Senin (18/5/2020) pukul 07.00 ada 885 orang menyeberang dengan tujuan Banyuwangi.
Baca juga : Dampak Aturan Mudik Tak Jelas, Serba Salah PO Bus Saat Pandemi
”Jumlah itu hanya 35 persen hingga 40 persen dari total penyeberang karena banyak warga yang daerah tujuannya adalah kabupaten lain di sekitar Banyuwangi misalnya, Jember, Situbondo, Bondowoso bahkan Surabaya,” ungkapnya.
Febri mengatakan, penyeberang dengan tujuan Banyuwangi didominasi oleh warga yang beralasan untuk pulang kampung. Hanya sebagian kecil atau 10-15 persen dari total penyeberang tujuan Banyuwangi yang melakukan perjalanan atas alasan pekerjaan atau pengiriman logistik.
Kadang petugas sampai kewalahan mendata warga yang masuk ke Banyuwangi. Belum lagi ancaman terpapar virus Covid-19. Mungkin para penyeberang dalam keadaan sehat, tetapi siapa yang dapat memastikan bahwa mereka tidak membawa virus, terlebih tidak ada pemeriksaan khusus Covid-19 bagi para penyeberang.
”Sak jane yo wedi. Ketar-ketir juga. Awak dewe gak dilengkapi APD lho. Ngadepi wong sak mono akehe (sebenarnya ya takut. Was-was juga. Kami tidak dilengkapi APD. Menghadapi orang sebanyak itu),” ujar Febri.
Saat ditemui Kompas, Febri hanya mengenakan masker kain. Itu pun ia dapatkan secara mandiri, bukan pemberian dari pemerintah daerah yang menugasinya.
Para petugas yang mendata para pendatang biasa bertugas bergantian setiap 8 jam. Dari pukul 07.00 hingga 15.00, lalu dari pukul 15.00 hingga 23.00 dan dari pukul 23.00 hingga pukul 07.00. Dalam sekali jaga, para petugas pendataan mendapat upah Rp 75.000.
Penyebaran virus korona membuat Febri dan rekan-rekannya menghabiskan waktu berpuasa di tempat yang berpotensi terjadi penularan. Tak jarang mereka kewalahan melayani penyeberang yang membeludak pada waktu-waktu tertentu.
”Biasanya para penyeberang tiba di Banyuwangi pada pukul 24.00 hingga pukul 04.00. Itu kan jam sahur. Kadang saya tidak sempat sahur karena harus mendata banyak orang,” ujar Maulana David Sanjaya (18), sukarelawan Kecamatan Ketapang yang ikut membantu proses pendataan bagi warga Banyuwangi.
General Manager PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan Cabang Ketapang Gilimanuk Fahmi Alweni mengatakan, jumlah penyeberang pada H-7 Lebaran 2019 menurun 43 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. ”Sejak Minggu pukul 07.00 hingga Senin pukul 07.00 terdapat 1.233 orang menyeberang dari Bali ke Jawa. Jumlah itu menurun 43 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019 yang mencapai 2.332 orang,” ungkapnya.
Kondisi penyeberangan saat ini memang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Kendati jumlah penyeberang menurun, risiko penyebaran virus korona tidak juga serta- merta ikut menurun.
Imbauan pemerintah agar warga tidak mudik seolah hanya slogan belaka. Pemerintah tidak tegas dengan memberi celah bagi warga untuk tetap melakukan perjalanan. Di sisi lain, perantau terlunta-lunta karena kehilangan pekerjaan. Pulang kampung mungkin menjadi cara terakhir agar tidak hidup susah di ”tanah orang”.
Andai saja pemerintah benar-benar menjamin hidup seluruh warganya, termasuk para perantau seperti Abdussalam dan Yasin, mereka pasti mampu bertahan tanpa harus pulang kampung. Pun demikian dengan Febrianto dan David yang tidak harus menyabung nyawa terpapar virus korona hanya dengan upah Rp 75.000 per 8 jam untuk menjaga perbatasan.