Rantai Distribusi Panjang, 300 Ton Gula Menumpuk di Malang
Kementerian Perdagangan menemukan ratusan ton gula pasir yang menumpuk di gudang di Malang, Jawa Timur. Penjualan gula itu diketahui melalui rantai distribusi yang panjang. Akibatnya harga gula menjadi tinggi.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Kementerian Perdagangan menemukan 300 ton gula pasir yang menumpuk di Malang, Jawa Timur. Distribusi gula itu diketahui berantai panjang. Akibatnya, harga gula menjadi tinggi ketika sampai di tangan konsumen.
Gula tersebut didistribusikan secara berantai dari distributor pertama (D1) sampai distributor ke empat (D4) sebelum sampai ke tangan agen dan pengecer. Gula yang masih dititipkan di gudang Pabrik Gula Kebon Agung, Pakisaji, Kabupaten Malang, itu sekarang sudah disegel. Ada dua tumpukan besar yang terdiri atas ribuan karung kemasan 50 kilogram (kg) saat penyegelan dilakukan. Menurut rencananya gula itu akan segera dialihkan untuk operasi pasar sesuai harga eceran tertinggi (HET) Rp 12.500 per kg.
Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, Rabu (20/5/2020), mengatakan rantai distributor yang panjang menjadi salah satu penyebab tingginya harga gula di pasaran dalam beberapa waktu terakhir. ”Akhir-akhir ini harga gula agak tinggi. Kita melihat permasalahan-permasalahan, salah satunya mata rantai distribusi yang panjang. Ada temuan-temuan di beberapa tempat,” ujar Agus saat meninjau gudang gula Kebon Agung.
Menurut Agus, pihaknya bekerja sama dengan Satuan Tugas Pangan tengah mendalami mata rantai distribusi yang berimbas pada tingginya harga gula di pasaran. Distributor diminta tertib, jika tidak mau, akan ditindak tegas.
Rentetan rantai distribusi dari satu distributor ke distributor lain membuat disparitas harga cukup besar. Harga gula di pasaran mencapai Rp 16.000-Rp 17.000 per kg, bahkan lebih. Padahal, distributor (D1) mendapatkan gula dari produsen (pabrik gula) di bawah HET.
”Distributor harusnya melempar ke pengecer atau agen. Tak bisa ke distributor lagi. Apabila pedagang menjual dengan harga tinggi karena mengeluh belinya sudah tinggi, silakan melapor kepada kami supaya kami bisa cek mata rantainya. Karena dari pabrik harganya di bawah Rp 12.000 per kg,” kata Agus.
Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kementerian Pedagangan (Kemendag) Veri Anggrijono mengatakan, distributor yang terlibat dalam kasus ini akan diberi sanksi. Sanksinya bisa berupa administrasi. Pihaknya juga akan mendalami, apakah ada unsur pidana di dalamnya.
Distributor harusnya melempar ke pengecer atau agen. Tak bisa ke distributor lagi.
Menurut Veri, semua distributor yang mengedarkan barang pokok harus terdaftar di Kemendag. ”Nah, ini kita temukan ada beberapa distributor yang tidak tercatat dalam kemendag. Yang kita temukan ada beberapa alur. Dalam pemeriksaan (distributor) di wilayah Malang Raya dan luar kota,” katanya.
Disinggung, apakah ada indikasi penimbunan oleh distributor, Veri mengatakan jika dilihat dari jumlah dan kepemilikannya belum mengarah ke sana. Pihaknya juga sedang mendalami, apakah ada upaya permainan dalam kasus ini.
”(Indikasi penimbunan) kalau melihat jumlahnya tidak karena ini sudah milik distributor. Mestinya, kalau sudah begitu, langsung didistribusikan. Bukan dari D1 (distributor) dilempar ke D2 dan seterusnya. Sehingga harga sampai di masyarakat tidak bisa Rp 12.500 per kg,” ujarnya.
Sementara itu, Bupati Malang M Sanusi yang ikut menyaksikan hal ini berharap Kemendag bisa melakukan pengedropan gula ke wilayahnya sesuai HET. Harapan itu disampaikan Sanusi karena Kabupaten Malang merupakan sentra tebu dan memiliki dua pabrik gula.
”Kebutuhan gula di Kabupaten Malang mencapai 3.300 ton per bulan. Harga pada awal penetapan pandemi Covid-19 di pasaran Rp 18.000-Rp 19.000 per kg. Hari ini rata-rata harga gula masih Rp 15.600 per kg,” katanya.