Tak Ingin Berkabung, Punakawan Bergabung Melawan Covid-19
Semar, Petruk, dan Gareng akhirnya turun gunung di Cirebon, Jawa Barat. Mereka bukan hendak mencari panggung. Pandemi Covid-19 membuat mereka tak ingin berkabung, tetapi bergabung menanggung dampaknya bersama-sama.
Oleh
abdullah fikri ashri
·5 menit baca
Semar, Petruk, dan Gareng akhirnya turun gunung di Cirebon, Jawa Barat. Mereka bukan hendak mencari panggung. Pandemi Covid-19 membuat mereka tak ingin berkabung, tetapi bergabung menanggung dampaknya bersama-sama.
Di bawah terik matahari, Selasa (12/5/2020), para punakawan itu menyusuri Jalan Kangraksan, Kota Cirebon. Sosok Semar diperankan Agus Badut (61), Ijot (57) sebagai Gareng, dan Ikhwan (48) menjelma Petruk.
Tidak hanya kostum, wajah pegiat seni itu pun dirias dari bibir hingga mata bak punakawan. Agus, misalnya, perutnya dilapisi bantal agar tampak gemuk seperti Semar. Bedanya, mereka mengenakan masker dan sarung tangan sesuai protokol kesehatan. Turun di bumi di tengah pandemi, mereka sadar harus menerapkan standar yang benar.
Berjalan kaki sekitar 1 kilometer, mereka ikut menyosialisasikan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), seperti penutupan toko yang tak berkaitan dengan farmasi dan sembako, 6-19 Mei 2020. ”Tutup dulu tokonya. Kalau tidak, nanti kami kena pentung Satpol PP,” kata Petruk kepada pemilik toko bangunan.
Pemilik dan karyawan toko pun tersenyum. Kapan lagi tokoh wayang yang kerap jadi penasihat, penghibur, dan pengajar nilai kebaikan kena pukul petugas Satpol PP, penegak aturan daerah. Toko pun segera ditutup. Tidak ada debat, apalagi tindakan represif.
Para punakawan tersebut berjalan di depan, diikuti petugas Satpol PP. Petugas juga mengumumkan aturan PSBB melalui pengeras suara di mobil dengan iringan musik ”Kota Cirebon” yang dipopulerkan Diana Sastra, diva tarling (gitar-suling) pantura.
”Kalau Satpol PP di depan, perasaan warga sudah khawatir. Seragam itu memengaruhi. Kalau lihat kami dulu, kan, mereka tertawa. Ha-ha-ha,” ujar Semar. Toko yang dilalui punakawan pun sukarela tutup satu per satu sesuai aturan PSBB.
Memang, ada satu-dua toko yang tidak terima dan harus mendapatkan surat peringatan dari petugas. Namun, hampir seluruh pedagang menyambut baik punakawan. Ada yang berjoget dan foto bareng. Bahkan, punakawan membagikan masker untuk warga. Jadi, mereka tidak sekadar mengimbau warga agar mengenakan masker, tetapi juga memberikan solusi.
Tidak jarang mereka saling lempar humor. Misalnya, Semar bertanya, apakah toko kacamata harus tutup atau buka. ”Nanti, orang nabrak karena enggak ada kacamata,” jawab Petruk, seolah-olah nyaris menabrak tiang listrik di trotoar.
Evy (50), pemilik toko bangunan, mengapresiasi cara sosialisasi PSBB tersebut. Tadinya ia ingin protes, seperti sejumlah pedagang Pasar Grosir Cirebon yang videonya viral di sejumlah media. ”Tetapi, lihat mereka (punakawan), saya enggak jadi marah,” kata Evy yang mengaku tidak tahu kalau toko bangunan dilarang beroperasi selama PSBB. Dia berharap virus korona jenis baru penyebab Covid-19 segera minggat sehingga tokonya bisa kembali buka. Apalagi, empat karyawannya juga butuh penghasilan untuk menyambung hidup.
”Kalau buka sekarang juga sepi. Orang-orang lebih mengutamakan beli bahan pokok dibandingkan bangunan. Omzet saya saja turun lebih dari 50 persen. Bahkan, dalam sehari, enggak ada satu pun pembeli. Kami menganggur,” katanya.
Kepala Bidang Pengelolaan Komunikasi Publik DKIS Kota Cirebon Ida Kurniasih mengatakan, para punakawan tersebut bakal ikut menegakkan aturan PSBB hingga 19 Mei dengan cara lebih humanis. ”Kami pilih punakawan karena ini kearifan lokal. Maknanya, tetap berkawan setia meskipun dalam kesedihan. Saat pandemi seperti sekarang, mari kita berkawan,” ujarnya.
Meski acap kali menebar senyum, nasib ketiga punakawan tersebut ternyata dibalut sepi. Pandemi Covid-19 telah merenggut panggung mereka. Ikhwan, misalnya, harus kehilangan 30 pekerjaan karena larangan kegiatan yang menciptakan kerumunan. Tidak ada lagi panggilan pentas jadi badut, pesulap, dan pendongeng.
Itu sebabnya, ketika Kepala Dinas Komunikasi Informatika dan Statistik Kota Cirebon Ma’ruf Nuryasa memanggilnya menjadi sosok punakawan, Ikhwan langsung beli kain batik untuk kostum. Ia kemudian mengajak Agus dan Ijot yang cocok sebagai Semar dan Gareng. Sayangnya, ia tidak menemukan orang yang pas untuk sosok Bagong.
Bagi Agus Badut yang kehilangan 27 pekerjaan, panggilan tersebut bak oase di tengah gurun pasir. Bapak 5 anak dan 1 cucu ini sudah sebulan lebih tak punya penghasilan. Padahal, setiap pentas sebagai badut dan pesulap, ia bisa meraup Rp 250.00 hingga lebih dari Rp 1 juta.
Menjadi badut sejak 1975, pandemi kali ini adalah masa tersulit baginya. Ia bangga bisa memerankan sosok Semar. Menurut dia, seperti Semar, orang harus sabar dan lebih bijaksana dalam kondisi krisis seperti saat ini. ”Kami tidak harapkan honor besar. Makanya, kami tidak pakai tarif. Ini bukan bisnis. Bisa makan saja sudah syukur. Utang di warung semoga bisa ditutup,” kata Agus yang mengaku pernah pentas di hadapan Presiden Soeharto. Kesulitan ini pun dialami hampir semua lapisan masyarakat.
Karena itu, tindakan represif terhadap pemilik toko yang melanggar PSBB tidaklah bijak. Katanya, sikap keras ketemu keras bakal melahirkan kehancuran, seperti batu bertubrukan. ”Tetapi, tetes air yang terus-menerus jatuh pasti akan melubangi batu yang keras. Jadi, orang harus diingatkan dengan senyum. Inilah seni,” katanya.
Begitu pun dengan melawan pandemi Covid-19, tidak bisa asal terburu-buru. Harus sabar dan bijak, seperti Semar, dan tidak mencari musuh, seperti Petruk, serta tetap jenaka untuk saling menghibur di tengah kesusahan, seperti sosok Gareng. Bukan malah saling menyalahkan dan pengin instan mengakhiri Covid-19 tanpa data jelas.
”Saya enggak capek keliling karena suka dengan pekerjaan ini. Saya juga masih muda. Gigi saja belum tumbuh,” kata Ijot sambil tersenyum menampakkan giginya yang ompong dimakan usia.
Pengamat budaya Cirebon-Indramayu, Sulistijo, mengatakan, dalam tradisi wayang di pantura, kehadiran Semar diyakini dapat mencegah malapetaka, seperti serangan hama saat bertani. ”Semar memahami apa yang terjadi di dunia sehingga tahu cara mengakhiri pagebluk (wabah penyakit),” katanya.
Itu sebabnya Semar juga dikenal sebagai guru sejati dan penasihat agar seseorang tetap dalam laku tepat dan baik. Wajahnya yang kerap menengadah menandakan pentingnya mengingat Yang Maha Kuasa di atas.
Saking pentingnya kehadiran Semar, jika seseorang, apalagi pemimpin, mengabaikannya, malapetaka seperti pagebluk akan menghampiri. Jangan-jangan wabah Covid-19 belum usai karena kita tidak sabar, bijak, saling menyalahkan, dan enggan mendengar nasihat ahli soal pandemi itu.