Se’i tengah dirundung rindu. Demam babi afrika hingga pandemi Covid-19 menderanya. Satu per satu pelaku usaha berjatuhan meski sebagian tetap ngotot bertahan demi warisan kuliner khas Nusa Tenggara Timur ini.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
Belasan kursi di restoran se’i ”Aroma” di Kecamatan Oebobo, Kota Kupang, seperti tak bernyawa. Posisinya digantung terbalik di bibir meja makan. Kondisi tempat kuliner ternama itu tak lagi ramai. Sepi. Tidak ada antrean manusia berjubel di depan pintu masuk pada pagi hingga malam hari. Daya tarik makanan khas Nusa Tenggara Timur itu sejenak hilang seperti tanpa jejak.
Semuanya berubah setidaknya sejak empat bulan lalu. Diawali demam babi afrika atau african swine fever (ASF) yang menyerang NTT awal Februari 2020, disusul pandemi Covid-19 sebulan kemudian, keduanya mengempaskan se’i ke titik nadir.
Rina (34), karyawan restoran Aroma, mengatakan, sebelum ada ASF, mereka bisa memotong babi sampai 10 ekor per hari. Ketika ASF merebak, hanya dua ekor per hari. Itu pun tidak habis terjual. Satu ekor babi bobotnya bisa mencapai 200-300 kilogram.
Menurut Rina, ketika Covid-19 muncul, kondisinya kian buruk. Pemerintah melarang kerumunan massa, termasuk warung makan dan restauran. Dalam sehari, hanya 2-3 kg se’i dibeli untuk dibawa pulang. Mayoritas konsumen memilih tinggal di rumah, memasak sendiri.
”Sisa se’i disimpan di freezer dijual esok. Satu ekor habis terjual 3-4 hari,” kata Rina, satu dari 25 karyawan yang masih bertahan. Sebelumnya, ada 30 orang bekerja di sana.
Ny Marciana Dethan, pemilik restoran se’i ”Kasih Sayang”, mengatakan, sulit baginya untuk bertahan. Dia tidak lagi berusaha sejak sebulan terakhir. Marciana memutuskan berhenti menjual se’i setelah tiga ekor babi yang dipanggang pada awal Maret tidak kunjung laku dijual.
Saat itu, Marciana merugi hampir Rp 15 juta. Ia lantas memutuskan hanya menyediakan seekor pada hari berikutnya. Itu pun masih tidak laku. Akhirnya, dia menyerah. Dia memilih menutup usahanya untuk sementara.
”Sebanyak 20 karyawan terpaksa saya rumahkan. Mereka semua di rumah, tidak digaji,” katanya.
Sebanyak 20 karyawan terpaksa saya rumahkan. Mereka semua di rumah, tidak digaji.
Maksi Tallo (45), warga Oesapa, Kota Kupang, kini cemas menyantap makanan kesukaannya itu. Rumor menyebutkan, daging babi sudah tercemar ASF. Harganya murah, Rp 1 juta-Rp 2 juta per ekor. Padahal, sebelumnya bisa sampai 5 juta per ekor.
Agus Bere (54), peternak babi di Kelurahan Penfui, Kota Kupang, mengatakan, 87 babi miliknya mati mendadak. Tidak ada satu ekor pun tersisa. Ia mengaku, saat babi sedang sakit, melapor ke dinas peternakan setempat, tetapi tidak ditindaklanjuti.
”Dulu saya jual babi Rp 3 juta-Rp 5 juta per ekor ke beberapa restoran. Sekarang, saya tidak punya babi. Sumber hidup pun tidak ada. Saya mau usaha sayur-sayuran, tetapi ternyata saingannya sudah banyak,” katanya.
Banyak harapan, kuliner se’i bangkit kembali. Seperti kisah masa lalu yang melatarbelakangi kelahirannya, masakan ini terlalu manis untuk dilupakan.
Agus Gaspers Benu (56), tokoh masyarakat Baun di Kupang, Selasa (12/5/2020), mengisahkan, se’i NTT berawal dari Baun, berjarak sekitar 25 kilometer utara Kota Kupang. Pionirnya mendiang Gaspar Tiran. Dia memulaiya sejak sekitar 45 tahun lalu. Usia nyaris setengah abad menunjukkan ketangguhan se’i melintasi zaman.
Semua bermula saat Tiran dirundung rugi saat berjualan daging babi panggang keliling Kota Kupang. Barang dagangan sebanyak 10 kg tak laku. Dia rugi jutaan rupiah. Saking sedihnya, semuanya terbawa mimpi.
Dari rumor yang beredar, jawaban atas kegundahan itu justru muncul dalam mimpi. Tiran bertemu dengan orang tua yang memintanya berinovasi. Agus mengatakan, Tiran diminta merendam daging dalam air bercampur bawang putih dan garam selama 2 jam.
Setelahnya, daging diasapi daun dan kayu bakar kosambi (Schleichera oleosa). Jarak daging dengan bara api sekitar 1 meter. Kosambi banyak ditemukan di daerah kering seperti NTT. Selain akarnya kuat menyimpan air, kayu dan daunnya dikenal harum saat dibakar.
Bangun dari tidurnya, Tiran cepat mempraktekkan ilmu baru yang didapat dari mimpinya. Hasilnya mengejutkan. Daging asapnya lebih kenyal. harum, dan gurih saat disantap. Sejak itu, daging asap buatan Tiran melegenda. Namanya tenar ke seantero NTT.
Daging diasapi daun dan kayu bakar kosambi. Jarak daging dengan bara api sekitar 1 meter.
Warga Kupang pun berdatangan ingin mencicipi rasanya. Menunya dinamakan se’i babi baun om ba’i. Ba’i dalam bahasa Timor artinya nenek atau leluhur. Sementara se’i dalam bahasa Kupang artinya panggang.
Tak butuh waktu lama, se’i lantas menjadi mata pencarian banyak orang. Tak ada saling klaim. Semua saling menghidupi. Restoran besar hingga kecil bermunculan. Di Kupang, beberapa yang terkenal adalah Aroma, Bambu Kuning, Kasih Sayang, Maranatha, Flobamora, dan Sasando.
Tidak hanya di Kupang, sebarannya meluas di NTT hingga ke Atambua, Soe, Kefamenanu, Ende, Maumere, dan Labuan Bajo. Kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung hingga Surabaya, juga kepincut. Bahkan, ada pengusaha Kupang mengembangkan se’i di Singapura.
Kini, bisnis yang jadi tumpuan banyak orang itu tengah lesu. Tak hanya di NTT, tetapi juga daerah bahkan negara lain. Wabah ASF dan pandemi Covid-19 kali ini masih terlalu kuat untuk dilawan. Satu per satu pelaku usahanya berguguran meski sebagian masih ngotot bertahan.
Kepala Dinas Peternakan NTT Danny Suhadi mengatakan, sebelum kasus ASF, setiap hari rumah potong hewan Oeba, Kupang, menjagal sekitar 100 babi dengan bobot 200-500 kg per ekor. Sebanyak 60 ekor untuk kebutuhan restoran dan warung makan. Sebanyak 40 ekor lainnya dijual di pasar-pasar tradisional. Jumlah ini tidak termasuk babi yang dijagal sendiri oleh warga hingga urusan adat.
Ada juga penjualan dengan cara leis. Dalam leis, pemilik babi menghubungi 30 orang yang bersedia mengambil daging babi. Setelah mencapai jumlah tersebut, babi dijagal kemudian daging babi dibagi-bagi kepada orang-orang itu. Masing-masing orang mendapat 2 kg, dengan harga Rp 100.000-Rp 150.000 per kumpul.
Dinas peternakan mencatat sekitar 6.987 ternak babi mati di daratan Timor, dari total 955.000 ekor popluasi babi Timor. Belum termasuk data populasi Sumba, Flores, Sabu, Rote, Lembata, dan Alor. Kebanyakan warga tidak melapor kematian babi-babi itu ke petugas penyuluh peternakan atau dinas peternakan.
Suhadi mengatakan, pandemi Covid-19 kian membuat peternak terpuruk. Hanya saja, di sisi lain, pandemi berpotensi memutus penularan ASF. Alasannya, ada larangan penerbangan pesawat dan pengoperasian kapal feri di NTT. Namun, Suhadi tidak bisa memungkiri potensi penularan tetap ada karena hingga 24 April 2020 lalu lintas masih terjadi di NTB.
”Kini, ASF masih menyerang babi di Sumba dan di beberapa tempat di daratan Flores dan Timor, tetapi tidak separah dulu. Hal ini sedikit memberi napas karena kami tengah fokus mencegah penularan Covid-19. Namun, kami tetap berkomitmen menyelesaikannya. Tidak hanya sekadar kuliner berefek ekonomi, se’i menyimpan warisan sosial budaya masyarakat yang harus dipertahankan,” tuturnya.
Untuk sementara, nikmat se’i mungkin harus mengalah di tengah gempuran ASF dan pandemi Covid-19. Namun, seperti kisah kuliner ini diciptakan pertama kali, selalu ada jalan dan harap bagi yang tak pernah berhenti berusaha.