Berisiko, Jabar Bersiap Buka Ekonomi secara Bertahap
Meski belum bisa memastikan kelanjutan dari pembatasan sosial berskala besar se-Jabar, Pemprov Jabar percaya diri bakal membuka kembali roda ekonomi sejumlah sektor dalam waktu dekat. Langkah ini dinilai sangat berisiko.
Oleh
MELATI MEWANGI
·3 menit baca
PURWAKARTA, KOMPAS — Meski belum bisa memastikan kelanjutan dari pembatasan sosial berskala besar se-Jawa Barat, Pemerintah Provinsi Jabar percaya diri bakal membuka kembali roda ekonomi sejumlah sektor dalam waktu dekat. Langkah ini dinilai sebagian kalangan rentan berisiko saat penularan Covid-19 masih terus terjadi.
Pembatasan sosial berskala besar se-Jabar dilakukan pada 6-19 Mei 2020. Hingga kini, belum ada kepastian apakah PSBB itu akan dilanjutkan dengan perpanjangan pertama atau tidak.
Pada Jumat (15/5/2020), jumlah pasien terkonfirmasi Covid-19 di Jabar masih bertambah 31 orang menjadi total 1.596 orang. Penambahan pasien sembuh hari ini 17 orang. Adapun orang dalam pemantauan sebanyak 6.937 orang dan jumlah pasien dalam pengawasan 2.565 orang.
Kepala Biro Perekonomian Pemprov Jawa Barat Rachmat Taufik Garsadi mengatakan, pertumbuhan ekonomi Jabar kondisinya masih di bawah nasional pada tahun 2019. Kondisi ini kian diperparah saat pandemi datang karena sejumlah sektor industri terdampak. Hampir 20 persen industri manufaktur di Indonesia yang berada di Jawa Barat dan dikirim untuk ekspor dihantam pandemi.
Selain industri, sektor wisata, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta pedagang di pasar tradisional juga merasakan dampaknya. Turunnya daya beli masyarakat berefek domino terhadap pasokan pangan yang menumpuk karena tak terserap di pasar.
Saat ini, pihaknya tengah menyiapkan kajian exit strategy untuk membuka kembali ekonomi setelah PSBB berakhir pada Selasa (19/5/2020). Tidak semua akan diberikan kelonggaran, ada kondisi yang harus dipenuhi. Berbagai perlakuan akan disiapkan dengan mempertimbangkan kondisi riil di daerah secara bertahap.
”Pemerintah tidak akan mampu terus menahan kondisi ekonomi ini dengan memberi subsidi dan relaksasi kredit secara terus-menerus kepada masyarakat. Kami mengacu berbagai model dari negara lain yang berhasil menjalankan strategi itu, antara lain Selandia Baru dan Jerman,” kata Taufik dalam konferensi pers bertajuk ”Mitigasi Dampak Covid-19 terhadap Perekonomian Jabar” via daring.
Upaya untuk mencari jalan keluar yang dilakukan sejauh ini antara lain berkoordinasi dengan pemkab/pemkot bersama para pengusaha industri yang tetap beroperasi di tengah pandemi. Beberapa hal yang akan dilakukan adalah mendorong industri beralih ke sektor produksi alat pengaman diri (APD) hingga mengajak UMKM menjadi penggerak ekonomi dan memasarkan produknya secara digital.
Menurut Kepala Group Advisory dan Pengembangan Ekonomi Kantor Perwakilan BI Jabar Pribadi Santoso, menjaga daya beli masyarakat dalam situasi sekarang sangat penting untuk pergerakan roda ekonomi suatu daerah. Adanya penurunan daya beli masyarakat berdampak terhadap penyusutan ekonomi. Angka pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat pada triwulan I sebesar 2,73 persen, angka ini lebih rendah dibandingkan dengan sebelumnya di atas 5 persen.
Pihaknya bersama sejumlah perusahaan teknologi finansial (fintech) mengajak masyarakat agar tetap dapat membeli kebutuhannya secara daring. Ia mencontohkan, Pasar Cikurubuk di Tasikmalaya telah menerapkan transaksi daring antara pedagang dan pembeli. Hal ini dilakukan untuk mendorong perputaran uang sekaligus memutus rantai penyebaran.
Berisiko
Sebelumnya, epidemiolog Universitas Padjajaran, Panji Hadisoemarto, menilai belum waktunya bagi pemerintah membolehkan sejumlah sektor kehidupan berjalan kembali. Hal itu sangat berisiko karena masih banyak kasus aktif dan sumber penularannya.
”Pemerintah tidak bisa dengan aman membuka ekonomi, karena hal itu berarti aktivitas sosial akan berjalan normal, sampai jumlah kasus aktif sangat sedikit,” kata Panji.
Dia mengutip rekomendasi dari Institute for Health Metrics and Evaluation, yakni apabila suatu negara akan membuka aktivitas perekonomiannya, batas aman yang disarankan jika hanya mempunyai satu kasus aktif per satu juta penduduk. Jika diterapkan di Jakarta, setidaknya harus hanya memiliki 10 kasus aktif.
”Di Jakarta masih ada ratusan kasus aktif. Itu untuk jumlah yang ketahuan, ada kemungkinan kasus lain yang tidak terdeteksi karena minimnya alat pengetesan,” ucap Panji.