Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat Papua Harus Diprioritaskan
Program pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat dalam beberapa tahun ke depan diharapkan diprioritaskan untuk peningkatan kualitas masyarakat lokal di kedua provinsi tersebut.
Oleh
FABIO COSTA
·4 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Program pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat dalam beberapa tahun ke depan diharapkan tidak berfokus pada sektor infrastruktur dan ekonomi makro saja. Pembangunan harus diprioritaskan untuk peningkatan kualitas masyarakat lokal di kedua provinsi tersebut.
Demikian benang merah dalam dialog daring yang digelar Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas bertema ”Refleksi Pembangunan Papua”, Kamis (14/5/2020). Direktur Daerah Tertinggal, Transmigrasi, dan Perdesaan Kementerian PPN/Bappenas Velix Vernando Wanggai menjadi moderator dalam dialog ini.
Adapun narasumber dialog ialah peneliti dan dosen Universitas Papua, Agus Sumule, Rektor Universitas Cenderawasih Apolo Safanfo, Sekretaris Dewan Adat Papua John Gobay, Staf Ahli Menteri PPN/Bappenas Oktorialdi, dan Ketua Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada Bambang Purwoko.
Agus memaparkan, Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua dibentuk sejak tahun 2001 dalam rangka memantapkan ketahanan masyarakat lokal Papua di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ketahanan masyarakat meliputi sektor pendidikan, kesehatan, ketersediaan pangan, dan pendapatan asli daerah (PAD).
Faktanya, ujar Agus, ketahanan tersebut belum tercapai hingga kini. Indeks pembangunan manusia (IPM) di Papua dan Papua Barat masih rendah. Dari data hingga tahun 2019, IPM di kedua provinsi itu masih berada di bawah rata-rata angka nasional. IPM di Papua 60,6 dan Papua Barat 63,74. Bahkan, Kabupaten Nduga di Papua menjadi daerah dengan IPM terendah di dunia, yakni 29,42.
Adapun PAD di Papua dan Papua Barat masih sangat rendah. Hal ini menunjukkan daerah belum mampu membiayai kegiatan pembangunannya secara mandiri. Daerah dengan persentase PAD di atas 2 persen di Provinsi Papua Barat hanya 4 dari 12 kabupaten dan 1 kota. Sementara di Provinsi Papua, daerah dengan persentase PAD di atas 2 persen hanya 17 dari 28 kabupaten dan 1 kota.
Penguatan masyarakat hukum adat hanya berarti apabila hak-hak mereka atas sumber daya alam dihargai.
Agus berpendapat, otonomi khusus Papua tidak akan berhasil apabila hanya terbatas pada penguatan pemerintahan. Otonomi yang sebenarnya haruslah berujung pada penguatan masyarakat hukum adat.
”Penguatan masyarakat hukum adat hanya berarti apabila hak-hak mereka atas sumber daya alam dihargai. Masyarakat harus mendapat akses kepada manfaat dari pengelolaan sumber daya alam di wilayah adat mereka sehingga meningkat kesejahteraannya,” papar Agus.
John Gobay mengungkapkan, program pembangunan pemerintah pusat belum memberikan kesempatan bagi masyarakat lokal Papua untuk mengelola sumber daya hutan, perikanan, dan tambang. Ia menilai, pengelolaan sumber daya alam di Papua hanya ditujukan bagi kalangan pemodal yang memiliki izin usaha tambang, perikanan, dan hak pengusahaan hutan (HPH).
”Diperlukan adanya kesepakatan bersama antara perwakilan pemerintah di wilayah Papua dan pemerintah pusat untuk membicarakan revisi otsus. Dalam pertemuan ini harus ada kesepakatan yang berpihak untuk pemberdayaan masyarakat asli Papua,” ujar John.
Sementara Bambang Purwoko menilai, otsus sudah membawa perubahan, tetapi masih memiliki keterbatasan. Selain itu, masalah Papua yang pelik juga membutuhkan penanganan khusus. Ia berpendapat, diperlukan reinstrumentasi otsus Papua dengan strategi adaptif, akomodatif, akseleratif, serta intervensi terhadap sistem, kelembagaan, dan individu.
Langkah-langkah reinstrumentasi otsus Papua meliputi regulasi yang adaptif terhadap kearifan lokal; fokus terhadap pemberdayaan masyarakat; pembangunan yang melibatkan masyarakat lokal; serta adanya keadilan, keseimbangan, dan pemerataan kemampuan. Selain itu, juga penguatan kelembagaan politik seperti DPRD dan Majelis Rakyat Papua serta adanya lembaga negara setingkat kementerian untuk akselerasi pembangunan Papua.
Oktorialdi mengatakan, sesuai arahan Presiden Joko Widodo, diperlukan paradigma dan cara baru untuk membuat lompatan pembangunan Papua. Karena itu, pemerintah akan mengevaluasi secara menyeluruh terkait dengan tata kelola dan efektivitas penyaluran dana otsus.
Adapun desain baru pembangunan Papua meliputi evaluasi dan merumuskan desain baru kebijakan dana otsus, evaluasi dan merumuskan revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otsus bagi Papua, serta merumuskan konsep kebijakan holistik sebagai keberlanjutan Inpres Nomor 9 Tahun 2017. Selain itu, juga menggunakan pendekatan tematik, holistik, integratif, dan spasial (THIS) dalam pengembangan kawasan ekonomi dari hulu ke hilir.
”Salah satu upaya pengembangan kawasan tematik dari hulu ke hilir di wilayah Papua adalah komoditas kopi. Pengembangan kawasan kopi di sejumlah kabupaten, seperti Jayawijaya, Deiyai, Paniai, dan Pegunungan Bintang,” ujar Oktorialdi.