Penanganan Covid-19 di Nusa Tenggara Timur Belum Sesuai Prosedur Tetap
Penanganan Covid-19 di Nusa Tenggara Timur dinilai belum sesuai dengan prosedur tetap pemerintah dan badan kesehatan internasional. Orang yang sudah reaktif, sesuai dengan hasil tes cepat, tidak segera diisolasi.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Penanganan Covid-19 di Nusa Tenggara Timur dinilai belum sesuai dengan prosedur tetap pemerintah dan badan kesehatan internasional. Salah satu indikasi adalah orang yang sudah reaktif sesuai dengan hasil tes cepat (rapid test) tidak segera diisolasi, tetapi dibiarkan menunggu sampai hasil spesimen PCR keluar. Saat bersamaan, orang tanpa gejala masih melakukan sejumlah aktivitas di tengah masyarakat sehingga bisa menyebarkan Covid-19.
Direktur Rumah Sakit Kristen Imanuel Waingapu Danny Christian, di Waingapu, Rabu (13/5/2020), mengatakan, penanganan Covid-19 sebaiknya tidak dicampur aduk dengan unsur politik. Covid-19 adalah murni masalah kesehatan. Lembaga yang paling paham adalah dinas kesehatan atau tenaga medis dan paramedis.
”Pemda jangan mengintervensi kebijakan, keputusan, dan pengetahuan tenaga medis. Kalau rapid test itu reaktif, orang itu sudah 50 persen sampai 80 persen positif Covid-19 sehingga perlu segera dikarantina terpusat dan ketat. Apa gunanya rapid test itu diadakan kalau pemprov tidak percaya pada hasilnya,” ujar Christian.
Pemerintah pusat mengirim 7.500 alat tes cepat dan telah didistribusikan ke 22 kabupaten/kota. Pertengahan April, sejumlah bupati mengumumkan hasil tes cepat kepada publik, tetapi dibungkam pemprov dengan menyebut para bupati dan kepala dinas kesehatan yang mengumumkan hasil tes cepat itu ”bodoh”. Ini masalah kesehatan, bukan masalah politik.
Gugus Tugas Provinsi NTT tidak pernah mengumumkan hasil tes cepat ke publik. Hasil tes cepat yang reaktif dari 22 kabupaten/kota di NTT dianggap nihil. Mereka menunggu hasil spesimen PCR, sampai 30 hari kemudian, dan saat bersamaan OTG itu sudah menyebarkan Covid-19 ke mana-mana.
Pemda jangan mengintervensi kebijakan, keputusan, dan pengetahuan tenaga medis. Kalau rapid test itu reaktif, orang itu sudah 50 persen sampai 80 persen positif Covid-19 sehingga perlu segera dikarantina terpusat dan ketat. Apa gunanya rapid test itu diadakan kalau pemprov tidak percaya pada hasilnya. (Christian)
Misalnya, tes cepat terhadap kluster Ijtimak Gowa di Labuan Bajo, Manggarai Barat, 8 April 2020, sebanyak 13 orang reaktif. Namun, fakta itu tidak diakui Pemprov NTT sehingga semua OTG itu melakukan kegiatan berupa syukuran bersama, saling kunjung, menggelar pertemuan keluarga, dan doa bersama.
Ketika pemeriksaan spesimen berlangsung di Jakarta dan Surabaya, hasilnya terungkap 14-30 hari kemudian. Menunggu hasil yang lama, ada anggapan NTT bebas dari Covid-19.
Hari ini diumumkan tambahan sembilan orang dari kluster Gowa di Labuan Bajo positif Covid-19 sesuai hasil PCR, ditambah dua orang sebelumnya sehingga 11 orang. ”Gugus Tugas Pemprov NTT hanya terkejut, kemudian menyurati bupati dan pihak terkait di Labuan Bajo untuk mengisolasi orang-orang itu, sekaligus meminta Gugus Tugas Covid-19 di sana melakukan pelacakan. Ini pekerjaan sia-sia, jauh di luar protap pemerintah pusat dan WHO,” kata Christian.
Pemda menyebutkan mereka itu menjalankan karantina mandiri, tetapi tidak ditaati. Dalam kondisi ini, pemda harus bertindak tegas, siapa pun orangnya, demi kebaikan bersama. Polisi, TNI, dan satpol PP dikerahkan untuk mengisolasi orang-orang itu di kediaman masing-masing.
Karatina seadanya
Selain itu, kluster KM Lambelu, yang dikarantina di Larantuka dan Maumere, pun proses karantinanya hanya seadanya. Mereka digabung dalam satu ruangan, masak bersama, makan bersama, tidur dalam satu bangsal, serta bercerita dan berkumpul bersama.
”Sesuai protap, mereka itu harus tinggal dalam kamar sendiri, makanan disiapkan orang sehat dari luar, kemudian dibagikan di setiap kamar. Masing-masing mereka harus saling menjaga diri agar tidak saling menularkan virus. Bisa saja dari antara mereka itu, masih ada yang negatif Covid-19, itu harus dilindungi,” kata Christian.
Ia mengatakan, dana penanggulangan Covid-19 itu besar. Pemprov Rp 285 miliar, Kota Kupang Rp 45 miliar, dan kabupaten lain berkisar Rp 30 miliar-Rp 70 miliar. Karantina 50-100 orang, sesuai dengan protap Covid-19, tidak mengeluarkan biaya sampai Rp 1 miliar.
Secara terpisah, Jubir Gugus Tugas Pencegahan Covid-19 NTT Marius Jelamu mengatakan, apa yang dilakukan Gugus Tugas Covid-19 di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sudah sesuai dengan protap penanganan Covid-19. Hanya saja penerapan di lapangan berbeda satu dengan yang lain.
Tidak ada intervensi terhadap tenaga kesehatan. Mereka bekerja sesuai dengan keahlian dan pengetahuan yang mereka miliki terkait Covid-19.
Kepala Dinas Kesehatan NTT Dominikus Minggus Mere mengatakan, terdapat tambahan 12 positif Covid-19 sehingga jumlah keseluruhan 30 orang. Dari jumlah ini, dua orang dinyatakan sembuh dan satu orang meninggal dunia, sisa 27 orang. Mereka dirawat di RSUD Komodo, RS Bhayangkara, RSUD Rote Ndao, RSUD Larantuka, RSUD Sumba Timur, RSUD Soe, RSUD Nagekeo, dan RSUD Ende.
”Temuan terakhir hari ini pukul 14.00 Wita 12 orang, tersebar di Manggarai Barat 9 orang dari kluster Gowa, satu hasil rujukan sampel spesimen dari Soe kluster Magetan, satu dari Ende kluster Gowa, dan satu dari Sumba Timur kluster Gowa. Sedang siap diperiksa 85 sampel spesimen dari Maumere, kluster KM Lambelu,” kata Domi Mere.
Sesuai temuan 12 orang positif ini, Gugus Tugas Covid-19 NTT telah menyurati gubernur dan para bupati agar segera mengisolasi mereka di rumah sakit rujukan dan melakukan tracing atau pelacakan. Pasien, keluarga, dan masyarakat diimbau jujur kepada petugas medis.