Menilik Jejak Calon Arang Si Penebar Wabah
Isuk loro sore mati, sore loro isuk mati. Pagi sakit sore meninggal, sore sakit pagi meninggal. Begitu kira-kira gambaran saat Calon Arang menebar teluh berupa penyakit kepada rakyat Kahuripan pada abad XI.
Isuk loro sore mati, sore loro isuk mati. Pagi sakit sore meninggal, sore sakit pagi meninggal. Begitu kira-kira gambaran saat Calon Arang menebar teluh berupa penyakit kepada rakyat Kahuripan pada abad XI. Cerita itu ditulis 300 tahun kemudian pada era Majapahit dalam Serat Calon Arang.
Pandemi Covid-19 seakan kembali mengingatkan sebagian orang pada sosok janda dari Desa Girah itu. Calon Arang akhirnya tewas di tangan Empu Baradah, yang diminta Airlangga mengalahkannya.
Dalam ritual itu, mayat-mayat dihidupkan lagi.
Calon Arang juga dikenal dengan nama Janda Girah karena tinggal di Desa Girah atau Gurah, yang ada di Kediri, Jawa Timur. Ia memiliki anak perempuan cantik bernama Ratna Menggali. Kemampuan sang ibu menguasai ilmu hitam membuat Ratna sulit mendapat jodoh. Tidak ada pemuda yang berani mendekatinya.
Calon Arang yang mengetahui hal itu kemudian marah. Dia pun menyebarkan penyakit dan kutukan hingga membuat banyak warga meninggal. Ritual itu dilakukan si rangda (janda, bahasa Jawa kuno) bersama empat pengikutnya. Ritual dilakukan kala lingsir wengi (antara pukul 02.00 dan 03.00). Lokasinya di pekuburan dan perempatan jalan dekat tempat tinggalnya.
”Ritual itu disertai tarian religius dalam rangka tantra karena Calon Arang memuja Durga. Gerakannya sampai akrobatik. Dalam ritual itu, mayat-mayat dihidupkan lagi,” ujar sejarawan Universitas Negeri Malang, M Dwi Cahyono.
Baca juga: Pembelajaran Karantina dari Kampung Hitu
Menurut Dwi, teluh yang disebar oleh Calon Arang berupa penyakit. Korbannya bukan individu, melainkan jamak. Teluh disebar ke segala penjuru, utamanya pusat pemerintahan di tempat Airlangga memimpin.
Mengenai bagaimana sepak terjang Calon Arang secara utuh, ada sejumlah artikel yang menceritakannya. Ada pula yang mengaitkannya dengan cerita Calon Arang sebagai asal kesenian Rangda dan Leak di Bali.
Legenda ini pun menarik sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang kemudian menulis Cerita Calon Arang tahun 2009. Pramoedya bahkan menggambarkan janda tua ini sebagai pemilik teluh hitam yang mengisap darah manusia. Ia menghabisi semua lawan politiknya. Begitu menariknya kisah ini sampai naskah Calon Arang juga pernah diterjemahkan dari bahasa Jawa ke bahasa Belanda oleh Poerbatjaraka.
Baca juga: Ikhtiar Warga Depok Melawan Pagebluk
Meskipun perlu kajian lebih lanjut apakah legenda itu benar-benar ada, di Desa Sukorejo, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, terdapat situs masa lalu yang dikenal dengan sebutan Situs Calon Arang.
Penyebutan situs dengan nama Calon Arang bukan tanpa sebab. Nama Girah, tempat si janda tinggal (dalam Serat Calon Arang), dinilai identik dengan Gurah. Gurah merupakan salah satu dari 26 kecamatan di Kabupaten Kediri yang kehidupan sebagian besar masyarakatnya agraris.
Ditutup sementara
Sayangnya, untuk sementara waktu, situs yang punya nama lain Nateng Girah itu belum bisa dikunjungi. Sejak pertengahan Maret 2020 sampai batas waktu yang belum ditentukan, akses masuk ke area situs yang berada di ujung desa ditutup pemerintah desa dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19.
Area Situs Calon Arang yang juga dikenal dengan Nateng Girah atau Situs Sukorejo di Desa Sukorejo, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, ditutup sementara oleh pemerintah desa sejak Maret guna memotong penyebaran Covid-19. Di tempat ini, delapan tahun lalu Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur bersama Balai Arkeologi Yogyakarta dan Pemerintah Kabupaten Kediri melakukan ekskavasi. Situs Calon Arang terdiri atas beberapa artefak berbahan batu andesit, seperti umpak, ambang pintu, lumpang, dan arca.
Baca juga: Ibu-ibu Menjahit demi Ibu Pertiwi
”Hasil ekskavasi menemukan struktur diduga permukiman masa Majapahit, bukan Kahuripan. Sisa peninggalan masa lalu itu akhirnya dinamai Situs Sukorejo, menyesuaikan dengan nama desa tempat ia berada,” kata arkeolog BPCB Jawa Timur, Wicaksono Dwi Nugroho, Kamis (30/4/2020). Meski berganti nama, papan Calon Arang masih terpampang di tepi Jalan Raya Pare-Kediri.
Enam tahun pasca-ekskavasi atau pada 2018, BPCB kembali menata situs tersebut. Penataan dilakukan karena saat itu muncul konflik di masyarakat terkait dengan keberadaan bangunan baru (di area situs) yang tidak ada hubungannya dengan situs tersebut.
Sebelumnya, situs yang lokasinya berada 13 kilometer di sisi timur laut Kota Kediri itu juga sempat mendapatkan perlakuan jahil dari orang tidak dikenal. Beberapa kali situs ini diwarnai aksi vandalisme hingga membuat pihak berwenang turun tangan.
Keterkaitan Calon Arang dengan Kediri, khususnya Desa Sukorejo, dan kebenaran legendanya ditelisik oleh sejarawan Dwi Cahyono. Dwi menyebutkan, ada dua sumber yang bisa digunakan untuk menganalisis. Pertama, dalam Serat Calon Arang sendiri. Selain ada kesamaan nama Girah dengan Gurah, ada juga jejak Durgapuja (pemuja Durga) di kawasan itu. Tidak jauh dari Situs Calon Arang terdapat Candi Tegowangi. Di candi itu terdapat relief Sudamala, dan Durga sebagai tokoh.
Baca juga: Dukungan Mengalir untuk Atasi Covid-19
Hasil ekskavasi menemukan struktur diduga permukiman masa Majapahit, bukan Kahuripan. ”Kalau begitu, pada masa lalu, di situ terdapat penganut Durgapuja. Boleh jadi di daerah di mana situs Calon Arang dulunya merupakan komunitas yang memuja Durga. Mungkin salah satu pemimpinnya adalah janda yang dikisahkan punya anak cantik itu,” kata Dwi.
Di sisi lain, tambah Dwi, di kawasan itu juga ada situs Buddhisme yang lokasinya tidak jauh dari Arca Totok Kerot (Dwarapala). Hal ini erat kaitannya dengan Empu Baradah yang digambarkan sebagai penganut Buddha Mahayana.
Catatan Kompas, ekskavasi terakhir oleh Pusat Arkeologi Nasional tahun 2019 juga menyimpulkan bahwa Situs Adan-adan (tidak jauh di sisi utara Situs Calon Arang) merupakan kompleks Candi Buddha.
Arca kepala Bodhisatvva yang ditemukan dalam penelitian tahap keempat Pusat Penelitian Arkeologi Nasional di Situs Adan-adan, Desa Adan-adan, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Jatim, Juli 2019. ”Analisis lainnya ada legenda setempat tentang seorang janda jahat yang punya anak cantik. Legenda itu masih ada di masyarakat meski tidak secara eksplisit menyebut nama Calon Arang,” katanya.
Balada Airlangga
Selain Serat Calon Arang, Dwi menyebut ada data tekstual berupa Prasasti Pucangan bertuliskan tahun 1041/1042 yang dikeluarkan Airlangga. Prasasti itu memuat balada Airlangga, salah satunya menyinggung penguasa perempuan yang punya kekuatan seperti raksasa. Perempuan itu berasal dari seberang selatan (kemungkinan Sungai Brantas).
Mengacu pada prasasti itu, perempuan sakti yang dimaksud bisa mengacu pada Calon Arang. Adapun tempatnya yang berada di selatan Brantas bisa berarti Kediri, tetapi juga daerah lain, seperti Tulungagung.
”Di Tulungagung sendiri terdapat sebuah daerah yang memiliki banyak ’orang pintar’. Jadi, selain Kediri, juga ada klaim Tulungagung yang menjadi asal Calon Arang,” katanya.
Baca juga: Ketika Semua Harus Dilakukan di Rumah
Terlepas dari perdebatan yang melingkupinya, legenda itu menunjukkan kepada kita bahwa wabah penyakit sudah ada sejak dulu. Entah itu yang muncul secara wajar ataupun rekayasa seseorang. Di masyarakat Jawa, ritual terkait upaya menolak bala (penyakit) telah lama dilakukan.
Di Kediri, yang wilayahnya masuk kultur Mataraman, sudah mengenal ritual, salah satunya Barikan. Di akhir tahun 1980-an, di salah satu desa, di Kediri utara, masih kerap ditemui ritual Barikan.
Saat itu, warga berbondong membawa nasi atau makanan lain dengan wadah nampan ke tempat tertentu, seperti pinggir desa dan perempatan jalan. Tujuannya, berdoa bersama menghalau wabah yang tengah menimpa desa.
Legenda itu menunjukkan kepada kita bahwa wabah penyakit sudah ada sejak dulu.
Pageblug, begitu warga desa biasa menyebut. Jika dalam satu pekan ada dua-tiga warga, bahkan lebih, meninggal secara berturut-turut, ada kecurigaan ke arah situ. Tanpa melihat hasil diagnosis dokter tentang penyebab kematian warga, mereka langsung menggelar Barikan.
Doa dipimpin oleh salah satu tokoh masyarakat, biasanya seorang modin atau kepala urusan keagamaan di jajaran pamong desa. Seusai ritual, makan bersama dilakukan di lokasi. Tidak sedikit pula yang langsung membawa pulang makanan yang mereka bawa.
Terlepas kemudian ada hasilnya atau tidak, Barikan telah menjadi tradisi masyarakat yang berlangsung puluhan tahun, bahkan ratusan tahun. Masyarakat subsuku Tengger yang bermukim di sekitaran Taman Nasional Bromo Tengger Semeru hingga kini masih menyelenggarakan Barikan saat desa lain mulai meninggalkan.
Sejumlah desa di Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, dan daerah lainnya masih sering menggelar ritual ini secara berkala. Tentu saja, salah satu tujuannya memohon kepada Tuhan agar selalu melindungi mereka dari mara bahaya.