Rempah Pelecut Asa Warga Borobudur
Di tengah pandemi Covid-19, sebagian warga di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, tetap semangat membangkitkan harapan baru. Dengan rempah, mereka tetap berdaya di tengah wabah.
Kehidupan langsung berubah ketika wabah Covid-19 menerjang Tanah Air. Namun, di tengah muram dan suramnya hari, sebagian warga di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, tetap semangat membangkitkan harapan baru. Dengan rempah, mereka tetap berdaya di tengah wabah.
Bekerja sebagai pemandu wisata dan pengelola paket wisata desa, Fitnasih (29), warga Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jateng, turut merasakan dampak negatif Covid-19. Terbiasa menerima ratusan tamu dari banyak kota dan negara, dia pun termangu saat arus kunjungan wisatawan sama sekali berhenti. Wabah yang meluas membuat banyak orang tiba-tiba membatalkan kunjungan.
Sebagai orang yang terbiasa sibuk melayani tamu, Fitnasih yang lebih akrab disapa Cemplon, memutar otak untuk segera memulai aktivitas baru di luar urusan kunjungan wisatawan. Inspirasi pun muncul ketika kemudian dia mengikuti pembelajaran daring tentang manajemen usaha di tengah krisis. Dari pemaparan narasumber diketahui bahwa sektor usaha yang berpeluang diterjuni pada masa krisis antara lain usaha berbasis pangan, seperti kuliner dan rempah.
Baca juga : Asa Baru Kembali ke Jamu
Saat usaha di bidang pangan sudah terlalu banyak pesaing dan membutuhkan modal besar, Cemplon pun melirik usaha di bidang rempah. Selain karena belum ada banyak pesaing, rempah dinilainya layak untuk digeluti karena potensi tanaman rempah-rempah, yang banyak ditanam warga, belum dimanfaatkan secara optimal. Tidak ingin terlalu repot membuat jamu, dia tertarik membuat racikan minuman tradisional dalam kemasan.
Oleh karena ingin sekadar mencoba dan adanya keterbatasan dana, Cemplon pun hanya mengalokasikan sedikit untuk memulai usaha. ”Saya memulai semuanya hanya dengan uang Rp 100.000,” ujarnya, Selasa (28/4/2020).
Dia pun berbelanja aneka bahan rempah, seperti kapulaga, cengkeh, jahe, dan kunyit, yang kemudian diracik menjadi tiga jenis minuman tradisional, yaitu wedang uwuh, wedang secang, dan wedang rempah. Setiap kemasan berisi irisan bahan rempah-rempah dan gula batu yang siap diseduh air panas dan disajikan.
Baca juga : Demam Korona, Jamu Sutini Jadi Primadona
Dari modal Rp 100.000, Cemplon bisa membuat 100 paket wedang. Hanya dengan mengunggah foto produknya di status media sosial Whatsapp dan Facebook, wedang buatan Cemplon ini laris manis dibeli kenalannya.
Tak disangka, dalam dua minggu, permintaan pun terus meningkat pesat. ”Dalam tiga minggu ini, saya sudah memproduksi dan menjual 7.000 bungkus wedang kemasan,” ujarnya.
Melibatkan warga
Usaha wedang rempah ini dijalankannya dengan melibatkan empat warga sebagai pekerja untuk meracik dan mengemas, satu pekerja khusus memotong bahan rempah. Kini, dia membeli bahan rempah dari Desa Giripurno dan empat petani tetangganya di Desa Karangrejo.
Dengan mengandalkan relasi, wedang buatan Cemplon telah dipasarkan ke kota-kota di Nusantara, seperti Jakarta, Surabaya, Solo, dan Batam. Dalam penjualan ini, Cemplon dibantu lebih dari 15 pedagang ritel, termasuk di antaranya sejumlah dokter di Jakarta dan Solo.
”Ada satu dokter yang dalam satu kali transaksi membeli hingga 400 bungkus wedang,” ujarnya. Satu pak berisi 10 kemasan wedang dijualnya dengan harga Rp 25.000.
Baru berjalan sekitar tiga minggu, Cemplon juga justru merasa usaha yang dijalankannya sebagai usaha dadakan di tengah wabah menarik untuk terus dijalankan saat kondisi pariwisata sudah kembali pulih.
”Saat kondisi sudah normal, saya pun berencana menjadikan kegiatan bertani empon-empon dan produksi wedang ini sebagai destinasi wisata baru,” ujarnya.
Baca juga : Masker Langka, Warga Minum Jamu
Keberhasilan Cemplon mengembangkan usahanya juga membawa berkah bagi warga lainnya. Bagi Mutibah (37), usaha wedang jamu yang dirintis Cemplon ini menjadi angin segar untuk kehidupan keluarganya yang lesu. Sejak Maret lalu, Mutibah dan suami tidak bisa berdagang di Taman Wisata Candi Borobudur.
”Semua pedagang tidak bisa berdagang karena Candi Borobudur ditutup untuk wisatawan. Sementara di sisi lain, saya pun dihadang berbagai kebutuhan untuk persiapan melahirkan dan untuk merawat suami yang baru sembuh dari DBD (demam berdarah dengue),” ujarnya.
Suami Mutibah menjalani rawat inap selama lima hari di rumah sakit. Sementara, Mutibah sedang hamil tujuh bulan.
Sebelumnya, Mutibah dan suami sehari-hari berjualan kaus dan produk kerajinan di area parkir Taman Wisata Candi Borobudur. Saat itu, mereka bisa mendapatkan omzet masing- masing Rp 100.000-Rp 300.000 per hari.
Namun, begitu kunjungan wisata berhenti, dia pun terpaksa menganggur dan sempat kebingungan mencari pekerjaan. Sejak tiga minggu lalu, Mutibah pun bergabung dengan Cemplon dan digaji Rp 40.000 per hari. Selama seminggu pertama, dia ikut bekerja lembur malam hari dan mendapatkan tambahan upah Rp 10.000 per jam. Dalam sehari bisa lembur hingga empat jam. Dia pun juga berharap agar usaha produksi wedang ini terus berjalan saat kondisi sudah normal.
”Dibandingkan berdagang yang setiap hari membutuhkan modal, saya lebih baik bekerja seperti ini (mengemas racikan wedang) saja,” ujarnya.
Mukayah (28), warga Desa Karangrejo lainnya, juga mengatakan hal serupa. Usaha berbasis rempah juga menyelamatkan dirinya yang sempat kebingungan karena tidak lagi mendapatkan penghasilan dari wisata. Sebelumnya, Mukayah sehari-hari bekerja mengantarkan tamu dari Desa Karangrejo ke obyek wisata Punthuk Setumbu. Pada kondisi normal, dia biasa mengantarkan sedikitnya 10 tamu. Atas jasanya, dia mendapatkan komisi Rp 10.000-Rp 15.000 per tamu dari pengelola Punthuk Setumbu.
Tanaman rempah atau yang biasa disebut sebagai empon-empon juga melecutkan semangat Ismedi (44), seniman yang tergabung dalam Kelompok Seniman Borobudur Indonesia (KSBI) 15, untuk melakukan kreasi baru.
Bahan cat
Terbiasa melukis dengan cat akrilik, Ismedi pun semula kebingungan karena pemerintah menganjurkan tinggal dan beraktivitas di rumah. Padahal, untuk membeli kebutuhan melukis, terutama cat, dia terbiasa membeli dari toko di Yogyakarta.
Perlahan, dia pun tahu juga tidak perlu memaksakan diri keluar membeli cat karena berdasarkan informasi yang diterima, sejumlah toko perlengkapan lukis kehabisan stok cat dan tidak menambah stok karena harganya mulai melejit.
Terdesak kondisi tersebut, dia terinspirasi kembali menggunakan empon-empon. Kebetulan tahun 2002, dia sudah mulai mencoba melukis dengan menggunakan cat air dan empon-empon. Hal itu terus dilakukannya hingga tahun 2004.
Tahun 2005-2013, dia beralih menggunakan cat minyak. Tahun 2014, dia kembali melukis menggunakan cairan dari empon-empon sebatas selingan di antara aktivitasnya melukis menggunakan cat minyak dan akrilik.
Tahun ini, di tengah wabah dan kesulitan mendapatkan cat, tanaman rempah pun seolah menjadi harapan baru bagi Ismedi untuk eksis melukis. Jika sebelumnya hanya digunakan sebagai selingan, kini sepenuhnya semua karya dibuatnya dengan menggunakan empon-empon. Ismedi menggunakan delapan jenis empon-empon yang bisa dengan mudah didapatkan karena memang ditanamnya sendiri di halaman rumah.
Lukisan berbahan empon-empon tersebut memiliki keunggulan tersendiri.
Tanaman rempah bukan tanaman yang asing bagi Ismedi. Sejak tahun 2000, keluarganya, termasuk dirinya sendiri, intens menanam dan merawat ratusan jenis tanaman rempah di halaman rumah. Ide melukis menggunakan rempah ketika itu muncul karena Ismedi sering membantu ibunya memanen kunyit. Jari dan telapak tangannya sering terkena warna kuning dari kunyit. Menyadari warna kunyit yang susah hilang tersebut, Ismedi pun berpikir bahwa rempah itu cocok dijadikan sebagai cat.
Melukis menggunakan rempah memang tidak mudah. Untuk mendapatkan cairan sebagai cat, Ismedi harus terlebih dahulu mengupas rempah yang dibutuhkan, memarut, kemudian memerasnya. Dengan proses ini, untuk menyelesaikan lukisan, dia membutuhkan waktu sekitar satu minggu hingga satu bulan, bergantung pada besar kecilnya ukuran kanvas. Durasi melukis menggunakan empon-empon ini dua kali lebih lama dibandingkan melukis menggunakan akrilik.
Namun, di tengah proses yang susah payah tersebut, lukisan berbahan empon-empon tersebut memiliki keunggulan tersendiri. Warna keseluruhan empon-empon yang cenderung gelap, seperti hitam, coklat tua, atau kuning tua, memberi kesan lukisan Ismedi sebagai lukisan peninggalan lama.
Kesan lama ini selaras dan makin menguatkan kesan artistik dari obyek lukisan Ismedi yang kebanyakan adalah kepala Buddha dan relief Candi Borobudur. Empon-empon juga dianggapnya memberi nilai lebih pada lukisannya.
Sejak tahun 2002 hingga 2019, dia sudah membuat lukisan berbahan empon-empon dalam media kertas atau kanvas berbagai ukuran. Sekitar 16 lukisan di antaranya sudah laku dengan harga mulai Rp 5 juta hingga Rp 30 juta.
Memfokuskan diri
Tahun 2020, di tengah masa pandemi, dia pun kembali meneruskan dengan membuat 17 lukisan berbahan empon-empon. Sekalipun banyak yang merespons positif, banyak kolektor memilih menunda membeli lukisan sehingga tidak ada satu pun lukisan berbahan empon-empon terjual.
Kendati demikian, komentar-komentar positif dari sejumlah rekan dan kolektor seni terhadap karyanya membuat Ismedi tetap bersemangat terus berkarya membuat lukisan berbahan empon-empon. Bahkan, setelah wabah berakhir dan situasi kembali normal, dia berencana memfokuskan diri melukis menggunakan empon-empon.
”Sebelumnya, saya dikenal sebagai pelukis spesialis kepala Buddha. Mungkin ke depan, saya bisa dikenal sebagai pelukis kepala Buddha berbahan empon-empon,” ujarnya.
Di masa sulit, dengan berbagai kreativitasnya, warga tetap bisa beranjak bangkit. Dengan memanfaatkan rempah, mereka pun membuktikan masih ada hari cerah di tengah wabah.