Rencana relaksasi PSBB di Jawa Barat dinilai riskan. Potensi munculnya penularan Covid-19 gelombang kedua perlu diwaspadai. Deteksi dini berdasarkan pelacakan kontak pun mesti ditingkatkan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Rencana pemerintah melonggarkan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB dinilai riskan. Potensi munculnya penularan Covid-19 gelombang kedua perlu diwaspadai. Deteksi dini berdasarkan pelacakan kontak pun mesti ditingkatkan.
Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang berencana melakukan relaksasi PSBB. Namun, protokol kesehatan dan pembatasan jarak fisik tetap diterapkan. PSBB se-Jabar yang dimulai 6 Mei lalu diklaim berhasil karena terjadi penurunan tingkat penularan atau reproduksi (Ro). Namun, data penurunan itu dikhawatirkan tidak menggambarkan kondisi sesungguhnya.
Menurut epidemiolog Universitas Padjadjaran, Dwi Agustian, Selasa (12/5/2020), angka reproduksi dapat diestimasi dengan lebih baik apabila kasus Covid-19 yang dilaporkan menggambarkan kondisi sebenarnya. Tingkat kepercayaan dari hasil analisis data pemerintah akan meningkat jika tes dilakukan secara agresif, cepat, dan tepat sasaran.
Dwi menjelaskan, deteksi dini dapat dilakukan jika sasaran tes merupakan hasil pelacakan kontak pasien Covid-19. Hal ini sebagai fungsi penyelidikan epidemiologi di kabupaten/kota atau bahkan di fasilitas kesehatan primer, seperti puskesmas dan klinik, untuk menyentuh akar rumput populasi yang rentan.
”Kalau indikator kapasitas deteksi dini belum ada, sangat sulit menilai kurva epidemi yang dibuat. Bisa jadi masih banyak kasus positif Covid-19 belum teridentifikasi karena lemahnya pelacakan kontak,” ujar Dwi.
Belajar dari negara lain, sangat riskan melonggarkan PSBB.
Oleh sebab itu, pelonggaran PSBB dinilai berisiko. Dwi mencontohkan, di Kota Wuhan, China, sebagai titik awal pandemi, ditemukan seseorang yang sudah dinyatakan sembuh dapat terinfeksi kembali. Selain itu, terdapat juga peningkatan kasus di Korea Selatan setelah sempat melandai beberapa waktu.
”Belajar dari negara lain, sangat riskan melonggarkan PSBB. PSBB saja sebetulnya tidak cukup jika tidak disertai deteksi dan respons dini,” ujar Dwi.
Respons cepat dari layanan kesehatan sembari mengedukasi masyarakat dalam mencegah penularan Covid-19 sangat dibutuhkan. Kecepatan hasil tes usap segera ditindaklanjuti dengan melakukan karantina terhadap pasien positif dan melacak orang-orang yang pernah kontak dengannya.
”Kondisi ekonomi dapat dipulihkan, tetapi hilangnya nyawa tidak dapat dikembalikan,” ucap Dwi.
PSBB se-Jabar berakhir pada 19 Mei 2020. Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan, pihaknya akan mengevaluasi pelaksanaan PSBB untuk membahas wilayah yang menerapkan relaksasi.
Menurut Kamil, selama penerapan PSBB, tingkat penyebaran Covid-19 dan mobilitas orang yang perlu diwaspadai berada di 37 persen wilayah Jabar. ”Jadi, yang 63 persen wilayah punya potensi dilakukan relaksasi pasca-PSBB,” ujarnya di Gedung Pakuan, Kota Bandung, Selasa.
Kamil menuturkan, setelah mengevaluasi PSBB, pihaknya akan membagi kelurahan dan desa menjadi lima level. Pembagian level itu untuk mengatur tingkat pembatasan sosial yang diterapkan.
PSBB dinilai dapat menekan mobilitas warga sehingga berdampak pada penurunan kasus baru. Kamil menyebutkan, sebelum PSBB, reproduksi penularan Covid-19 di Jabar mencapai indeks 3. Kini, indeksnya menurun menjadi 0,86.
Mantan Wali Kota Bandung itu menambahkan, pada awal hingga pertengahan April, terdapat rata-rata penambahan 40 kasus Covid-19 per hari. ”Jumlahnya menurun menjadi 28 kasus per hari dari pertengahan hingga akhir April. Sepanjang 1-12 Mei turun lagi menjadi 21 kasus per hari,” lanjutnya.
Akan tetapi, pelanggaran PSBB di Jabar masih terus terjadi. Pembatasan jarak fisik dan penerapan protokol kesehatan belum optimal. Di pasar tradisional, misalnya, masih terdapat pedagang dan pembeli tidak memakai masker.
Pemerintah Provinsi Jabar mulai menyebar 15.500 alat tes untuk pemeriksaan metode reaksi rantai polimerase (PCR) ke 10 daerah di Bodebek (Bogor, Depok, Bekasi) dan Bandung Raya. Pergerakan warga yang terbatas akibat PSBB menjadi momentum memetakan persebaran Covid-19.
Berdasarkan data Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 Jabar atau Pikobar, yang diperbarui hingga Selasa pukul 18.43, kasus positif di provinsi itu berjumlah 1.545 orang. Sejumlah 213 orang sembuh dan 98 orang meninggal.